Roti dan Sirkus dan Gelar Pahlawan Nasional yang Sebaiknya Dihapus Saja

by - November 10, 2025


Give them bread and circuses, and they will never revolt

Mens sana in corpore sano. Itu bukan satu-satunya kalimat yang bisa dikutip dari seorang penulis dan penyair di masa Romawi bernama Decimus Iunius Juvenalis alias Juvenal. Masih ada lagi kutipan yang tak kalah masyhur darinya, yaitu penem et circenes. Roti dan sirkus. 

Dalam syairnya, Juvenal menulis kisah tentang rakyat Roma yang diberi roti secara gratis. Mereka juga disuguhi pertunjukan sirkus yang begitu menghibur. Siapa pemberi roti dan sirkus-sirkus itu? tentu pemerintah setempat. Juvenal begitu deskriptif dalam menggambarkan rakyat Roma yang tenggelam di dunia hiburan. Mereka juga hanyut menikmati makanan bergizi gratis sehingga mulai acuh terhadap kehidupan politik dan militer di masa pemerintah saat itu yang sebenarnya kejam.

Boleh jadi Juvenal bermaksud satire. Namun kita tahu, roti dan sirkus adalah sebuah cara untuk mencegah lahirnya revolusi dan sebuah metode untuk mempertahankan rezim otoriter. Roti dan hiburan massal adalah solusi jarak pendek. Ia ibarat obat bius. Massa dibikin tenang. Roti dan hiburan mencegah mereka melakukan tugas kewarganegaraan. Juvenal hidup di rentang waktu 55 hingga 128 Masehi. Dia lahir 1414 tahun lebih dahulu dibandingkan dengan Niccolò Machiavelli. Juvenal tentu saja adalah orang yang memahami perubahan Romawi, dari Republik Romawi yang demokratis, lalu runtuh, hingga berganti menjadi Kekaisaran Romawi yang otoriter dan keras kepala. 

Di Indonesia, kita dengan mudah mendapati praktik roti dan sirkus. Dimana-mana. Dari tingkat desa, kabupaten, regional, apalagi tingkat nasional. Tony Q Rastafara bilang di sebuah lirik lagunya, republik ini adalah Republik Sulap. Apa saja bisa disulap, bahkan Suharto pun dapat disulap dengan diberi gelar pahlawan nasional. 

Akan lebih baik bila gelar pahlawan nasional yang muncul setahun sekali ini dihapus saja. Hari Pahlawan sebaiknya diperingati dengan konsep lain, misalnya, penghapusan kebodohan. 

Gagasan bahwa massa dapat ditenangkan dengan makanan gratis dan hiburan, padahal mereka seharusnya menjalankan kewajiban sipil, itu juga terjadi di wilayah konflik. Saya bisa melihat strategi panem et circenses di kota tambang emas Banyuwangi dalam sepuluh tahun terakhir. 

Tidak ada yang salah dengan roti dan sirkus. Tidak salah pula makanan gratis dan hiburan. Tapi bila itu dilakukan secara manipulatif oleh penyelenggara negara, ia hanya mengingatkan saya pada kota kelahiran saya sendiri. Jember. Mereka bikin sebuah acara berjudul konser kebangsaan dengan menghadirkan Deni Caknan dan Gus Miftah. Apa sebaiknya Jember kita beri gelar kota panem et circenses? 


_____


FOTO ilustrasi saya pinjamkan dari KITLV. Lembaga kerajaan Belanda tersebut menyimpan dua versi, dengan foto yang sama namun berbeda keterangan..Foto satu menyebut Blitar sebagai lokasinya, di sekitar tahun 1890. Versi kedua menyertakan keterangan 'Rampokpartij in Kediri' circa 1895. Kiranya 'rampogan macan' pernah dijadikan semacam strategi roti dan sirkus di masa perkebunan Hindia Belanda.

Kini konsep hiburan massa yang manipulatif banyak sekali, bukan hanya naturalisasi atlit sepak bola saja. Bila dulu bikin konser musik sendiri dan makan bersama-sama adalah hal yang biasa saja, kini saya pikir, makan bersama dan gigs adalah sebuah perlawanan. 

Jadi ketika ada yang mengutip Juvenal dengan berkata, "Berikan mereka roti dan sirkus, dan mereka tidak akan pernah memberontak!," maka mari kita memasak bersama di dapur ruang ingatan dan menyambut Olby Gigs dengan riang gembira. 

TAMASJA NET

0 comments