Sebelas Tahun Kedai Doeloe Kalisat

by - November 15, 2025

Sebelum menjadi Kedai Doeloe Kalisat, 14 Juni 2014


Satu di antara sekian penjaga identitas Kalisat adalah Kedai Doeloe. Di kecamatan yang sejak 1917 telah berganti nama dari distrik Sukakerta menjadi distrik Kalisat ini, muncul sebuah kedai sejak 15 November 2014. Dalam satu tahun pertama, dia berdiri tanpa nama. Sebutannya hanya kedai. Tidak ada embel-embel 'doeloe' di belakangnya. Saya turut bangga dengan kehadirannya. Apalagi ia terbukti dapat bertahan hingga hari ini, tepat sebelas tahun lamanya Kedai Doeloe Kalisat mewarnai hari-hari gen Z di Jember wilayah utara dan timur. Lihatlah foto di atas, hasil bidikan Mohamat Solihin, lima bulan sebelum kedai yang diinisiasi oleh Frans Sandi Maulana itu resmi dibuka. Dapat kita lihat, bangunan kedai tersebut masih terlihat singup dan sedikit rombuh. Ia belum tersentuh oleh ide-ide dan gagasan kreatif. 

Catatan: Perubahan nama distrik Sukakerta menjadi Kalisat bisa ditengok di staatsblad 1013 no. 104 tahun 1917

Sesungguhnya aset PT. KAI Daop 9 Jember itu menyimpan kisah bersejarah di tahun 1947, ketika terjadi perang yang paling berdarah-darah dan paling emosional antara Indonesia melawan Belanda. Jajaran kedai doeloe, pujasera dan Sarkawi biliar, ia adalah kisah kunci bagi sejarawan dunia yang ingin memahami apa dan bagaimana Agresi Militer Belanda 1947 - 1949. Tak heran bila selama ini kedai doeloe dan deretannya itu banyak dikunjungi oleh jurnalis dan sejarawan Eropa. 

Mengapa Kedai Doeloe menjadi penting? 

Tidak mungkin sebuah daerah bisa maju jika tidak ada pemikiran. Tanpa pemikiran, dia akan sendat. Jalan di tempat. Sibuk membangga-banggakan masa lalu yang telah lewat tanpa mengambil pelajaran apapun darinya. Tentu kebanggaan berlebihan pada masa lalu dapat memutus kita dari realitas hari ini, disorientasi, dan menghambat pertumbuhan diri. Bila sudah terjebak genangan air yang seperti itu, tanpa diorganisir dan disandingkan dengan kebanggaan-kebanggaan baru yang terukur, bahkan kenakalan pun bisa dijadikan simbol kebanggaan. 

Tanpa ruang tumbuh pemikiran, orang akan mencari sisi kebanggaan yang lain. Misal, bangga akan masa lalu yang kelam, tingginya tingkat kejahatan, dan atau hal-hal lain yang bisa ditonjolkan. Beruntung kecamatan Kalisat bisa bicara di bidang olahraga seperti sepak bola, punya naluri kolektif karnaval jauh sebelum JFC ada, bangga menjadi wilayah pertanian dan perkebunan, serta memiliki pesantren-pesantren dan dua sekolah tingkat atas. SMA 10 Nopember dan SMA Negeri Kalisat. 

Kedai Doeloe adalah ruang nongkrong bagi muda-mudi gen Z dari berbagai desa. Kadang mereka datang dari kecamatan lain, kadang ada juga mahasiswa Jember asal luar kota yang sengaja nongkrong di sana. Padahal mereka tahu, kedai itu tak berkenan memasang wi-fi untuk pengunjungnya, hanya agar mereka dapat bercakap-cakap secara fisik. Semakin hari, kedai doeloe melakukan perjalanan evolusi menjadi sebentuk ruang jumpa, ruang berkisah, ruang untuk mendengarkan lagu-lagu dari berbagai genre, penanda lokasi, spot foto dan video, dan ruang istirahat bagi mereka yang baru turun dari kereta api di stasiun Kalisat. Kita tahu, lokasi kedai ada tepat di seberang stasiun yang berdiri sejak 1897 itu. 

Peran kedai mungkin tak bisa dilihat secara besar-besaran. Namun ia adalah daya ungkit. Pemicu. Pintu masuk menuju pemikiran-pemikiran segar dari anak-anak muda yang a long polong di sana. Mulanya mungkin hanya secangkir kopi, game, dan celoteh tak jelas. Tapi bila ada satu pemicu, lahirlah pemikiran.

Catatan ini tak bermaksud meniadakan peran warung-warung kopi di berbagai sudut kecamatan Kalisat, di sudut pasar tradisional, di dalam terminal, dan di manapun. Tidak seperti itu. Saya bahkan menaruh rasa hormat yang tinggi pada semua itu. Bagi saya, kios seperti milik Yu Su adalah pusat peradaban dalam skala kecil. Kedai Doeloe datang sebagai warna baru, menjadi penyeimbang atas menjamurnya cafe di jantung kota. Dia adalah jujugan pilihan, juga harapan atas pemikiran-pemikiran orisinil gen Z di desa-desa. 

Atas nama rasa hormat pada warung-warung kopi klasik itu, kedai doeloe pun mengadopsi cara-cara mereka. Ia tidak menyediakan barista pada umumnya, memulai usaha dengan bubuk kopi ala masyarakat yang dapat dibeli di pasar, dan hal lain yang masih bisa dikombinasikan dengan cita-cita kedai doeloe. 


Bila kolektif Sudut Kalisat kedatangan tamu baik domestik maupun mancanegara, mereka sering mengajak para tamu itu ke beberapa titik nongkrong di Kalisat, satu di antara yang paling sering adalah kedai doeloe. Saya juga begitu. Bahkan di mula-mula kami tinggal di Kalisat, ketika sedang tak pegang uang, Frans Sandi Maulana adalah tempat sambat yang akurat. Saya tak sungkan bila ke Frans, Bapaknya Oxy. Mungkin karena saya menganggap hubungan kami dekat, sejak mengenalnya di kampus, ketika Frans masih tercatat sebagai mahasiswa PSTF angkatan pertama di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember. 

Sebagai penutup catatan ala kadar ini, akan saya sertakan story whatsapp milik Zuhana AZ tertanggal 15 November 2020, di tahun pertama pandemi. 

"Tempat pertama kali jatuh cinta sama Kalisat. Sebuah kedai, di dekat stasiun kecil. Menanti hujan reda, menikmati nyanyian air. Happy ultah Kedai Doeloe Kalisat. Banyak kisah lahir dari tempat ini. Semoga terus ada dan tetap kuat." 

Kedai Doeloe, terima kasih telah bersedia bertahan hingga hari ini. Itu sangat berarti. Terlebih, suatu hari pada 8 Januari 2017, saya pernah foto bersama Almarhum Bapak saya di pelataran kedai yang pernah dibikin drawing oleh seniman besar Jember, Yudhi 'Gundul' Susanto. 

TAMASJA NET

0 comments