Ngobrol Karo Menungso Juga Literasi
LITERASI. Mulanya adalah literatus. Dia berasal dari bahasa Latin, bahasa utama Kekaisaran Romawi. Orang-orang berbahasa Latin di masa itu memberi label pada 'orang yang belajar' dengan sebutan literatus. Orang yang terpelajar disebut juga literatus. Sederhananya, orang yang mengenal huruf, dialah litaratus.
Lalu bahasa Indonesia menyerap diksi ini menjadi literatur dan literasi. Kalau literatur artinya begitu, kalau literasi artinya begini. Lalu dunia semakin berkembang pesat, sepesat perkembangan orang dalam menyematkan definisi pada literasi. Ia menjadi kompleks, tak lagi sederhana. Rasanya semakin jauh dari akar katanya, literatus. Orang yang belajar, orang yang terpelajar, orang yang mengenal huruf. Berbeda dengan literatus, literasi tak lagi digunakan untuk gelar yang disematkan pada pembelajar, tapi menjadi wadah belajar itu sendiri. Literasi adalah sebuah mandala kedewaguruan.
Sejauh yang saya ingat, sejak saya sekolah dasar hingga tamat dari sekolah menengah atas, orang tak lazim ngomong tentang literasi. Tapi sejak sekolah dasar saya sudah tahu apa itu literatur, gara-gara orang Jember penutur bahasa Madura suka bercanda. Misalnya ada teman yang sedang ngibul, bicara tak tentu arah, lainnya akan menimpali, "Dimmah bukunah?" Mana bukunya? Itu adalah saat dimana lawan bicara bertanya tentang literatur. Siapa saja bila bicara tanpa sanad yang jelas, akan ditimpali dengan 'dimmah bukunah' alias urusan literatur. Jika si penutur tak bisa memberi rujukan sumber, entah primer atau sumber lemah, maka biasanya dia akan digolongkan sebagai orang yang suka ngocol. Acaca Cenah. Orang yang mendapat stigma ngocol biasanya hanya tertawa, meskipun tak sedikit yang memilih mencari validasi.
"Tanyakan si A jika kamu tidak percaya."
Sangat Jember, sangat masyarakat Indonesia.
Mereka yang hidup di awal Indonesia merdeka pun lebih mengenal istilah semacam 'memberantas buta huruf' dan yang serupa itu, dibandingkan literasi.
Jika tak keliru ingat, kata literasi menjadi populer saat masyarakat Indonesia mulai mengenal Saur Marlina Manurung alias Butet Manurung, perintis Sokola Rimba. Saya sendiri mengenal Antropolog yang juga seorang pencinta alam ini melalui sebuah iklan layanan masyarakat di Televisi Metro. Saya lupa, rasanya antara 2003 - 2005. Butet Manurung adalah Kartini masa kini, yang percaya bahwa pendidikan adalah kunci bagi masyarakat adat untuk melindungi ruang hidupnya.
Dari Butet Manurung beserta Sokola Rimba, populer istilah literasi.
Lalu ada novel laris berjudul Laskar Pelangi. Ia bahkan dipindahkan ke layar lebar tiga tahun kemudian. Semakin bersinarlah literasi. Belum lagi sekira tahun 2010 ada Gerakan Indonesia Mengajar. Semakin tahun, kata literasi semakin berkembang, dan semakin ribet definisinya.
Saya masih ingat perbincangan dengan tetangga di Kalisat, Rast Idur, saat pameran foto Kalisat Tempo Dulu yang pertama berlangsung. Sebagai pedagang bensin eceran di Kampung Templek, Idur bertanya begini.
"Yo Mas, literasi iku artine opo? Aku kok ngertine liter karo asi. Nek liter iku jelas urusan bensin iku Mas. Bahan bakar. Tapi mosok bensin dicampur ASI?" Kami pun tertawa bersama.
Saya bilang ke Rast Idur bahwa itu sudah benar.
"Iku ae wes artine Mas. Sepakat aku. Literasi iku perkoro bahan bakar ben awak dewe iso urip, karo perkoro bahan bakar paling dasar sing membentuk awak dewe." Lagi, kami tertawa riang.
Memang seperti itu gaya percakapan manusia Indonesia di dunia kenyataan. Harus gampang, harus riang gembira. Tidak lazim dalam sebuah perjumpaan antar tetangga, misalnya kita bicara begini.
Menurutku yo Mas Idur, literasi adalah tentang kemampuan kita dalam membaca teks. Agar dapat menambah kejelasan makna, ia butuh pula kemampuan membaca konteks."
Lalu misalnya saya lanjutkan begini.
"Memang, literasi mulanya sederhana. Tapi kini ia telah berkembang menjadi kemampuan membaca, menulis, berhitung, berbicara, kemampuan memahami informasi, melakukan tafsir, dan segala hal tentang kecakapan hidup. Poin terakhir tersebut Mas Idur, yang tentang kecakapan hidup, masih dipilah-pilah lagi menjadi literasi sains, keuangan, literasi numerasi, dan sebagainya. Belum lagi dengan literasi digital, tentang kemampuan adaptasi kita terhadap ledakan teknologi. Gitu Mas Idur. Jadi, kemampuan membaca teks tersebut terbagi-bagi menjadi kemampuan numerik, sains, informatika, ekonomi, kebudayaan, dan hingga urusan kewarganegaraan."
Pingin tahu saya, apa ada percakapan seperti itu di keseharian, di sebuah kampung di tepian kota. Di jantung kota rah wes. Ayolah, ojok guyon.
Terserah kita mau mengartikan literasi seperti kata Rast Idur, liter dan asi, atau cari guyonan lain seperti liter dan terasi. Intinya, ia tentang kecakapan hidup di hari ini. Dalam kecakapan hidup, butuh perkakas. Nama-nama perkakas itu adalah kemampuan membaca, menulis, berhitung, berbicara, menejemen keuangan, melek teknologi, dan sesekali meletakkan buku agar bisa kumpul menungso.
Literasi sebagai kecakapan hidup itu lebih mudah diterima, daripada kita selalu berbelit-belit dalam menjelaskan apa itu literasi. Atau kembalikan saja definisinya sesuai etimologi, yaitu literatus. Orang yang belajar. Orang yang terpelajar. Orang yang mengenal huruf.
NGOBROL iku kecakapan hidup, rek.
Ya kalau kemampuannya masih ngobrol dengan sesama manusia, jangan memaksakan diri ngobrol sama batu, air, gunung-gunung, merpati getakan, dan ikan koi. Tahap ilmu pengetahuan dan amalan kita tentu berbeda dengan Almarhum Kiai Musikan, pendiri Pondok Pesantren Taman di desa Glagahwero, Kalisat. Di masa hidupnya, beliau bisa mendengar pohon-pohon bicara. Kelas kita tidak setinggi itu, jadi ngobrol sing umum-umum ae, sesuai dengan tahapan dan bahasa yang kita pahami.
Membaca buku itu penting. Sungguh. Saya tak pernah sangsi atas itu. Tapi saya juga percaya, salah satu tolok ukur keberhasilan literasi yang seperti itu adalah dengan berbicara. Ngobrol karo menungso. Belajar menjelaskan hal-hal rumit dengan sederhana. Belajar menemukan sejarah, sastra, dan filsafat pada diri lawan bicara. Percayalah, hasil belajarmu selama membaca wacana (buku) akan semakin terasah ketika kumpul karo menungso. Di dalam mereka akan kamu jumpai romantisme masa muda, penderitaan, pilihan-pilihan hidup, dan masih banyak lagi kejutan lainnya. Kisah yang kamu temukan itu bisa saja dijadikan bahan tulisan. Entah jurnal harian entah dirancang menjadi buku. Maka kelak bukan hanya kamu yang membaca buku karya orang lain. Orang lain pun punya peluang untuk membaca pikiran dan mengalaman-pengalaman yang kamu jumpai dalam hidup. Itulah hasil dari membaca fenomena.
Orang-orang yang hidup sebelum kita, mereka juga melakukannya. Membaca wacana dan membaca fenomena.
Ada sebuah dogma di agama yang saya anut, bahwa huruf bukan hanya yang tersurat. Huruf-huruf yang tersirat jauh lebih banyak lagi.
Masyarakat Indonesia yang disusun secara bersuku-suku, masing-masing dari leluhurnya bisa membaca tanda-tanda. Jawa mengenal ilmu titen. Hasil dari membaca tanda-tanda itulah yang kemudian membuat mereka dapat memproduksi huruf, membaca bintang-bintang, bikin catatan dari deluwang, lontar, atau mengukirnya di batu piring hasil gumuk, di batu andesit, dan sebagainya. Mereka produsen dan konsumen. Kita yang hari ini suka bicara literasi kadang malah malas membaca buku dan lebih sering kumpul menungso. Akhirnya tidak berdampak apa-apa.
Maksud dari judul di atas semoga tidak dimaknai secara tekstual saja. Ia butuh sedikit sentuhan semiotik. Bacalah buku, tempa dengan literasi yang seperti itu, lalu ada kalanya kamu butuh menutup buku dan kumpul menungso.
Buku adalah renungan dan pengalaman hidup yang dipenjara oleh teks, lalu dicetak. Begitu kira-kira gambaran mudahnya. Sebelum ada buku, orang punya waktu khusus di senja hingga malam hari untuk duduk melingkar memutari api unggun. Lalu mereka saling berbagi cerita tentang pengalaman mereka di hari itu. Entah tentang berburu sarang walet di dalam goa, tentang menombak ikan di tepi sungai, mengejar predator besar hingga di balik punggungan gunung, dan sebagainya. Kadang mereka terlibat debat demi mencari formula yang lebih baik, untuk kebutuhan berburu esok harinya. Itu semua tentang renungan, tentang transfer pengalaman di masa sebelum ada buku. Itulah literasi paling dasar, sebelum dan (apalagi) setelah ditemukan cara membuat api. Itulah kecakapan hidup.
Literasi boleh berkembang pesat seperti hari ini, tapi kita butuh menjelaskannya dengan sederhana. Tidak ribet. Kedua, apa artinya fungsi literasi sebagai sebuah kecakapan hidup bila ia justru membuat kita jauh dari dunia sehari-hari? Apa?
Semisal literasi menjauhkanmu dari Gumuk, dari Tesso Nilo, dari kabar selokan di dekat rumah, mungkin bukan literatur buku-bukunya yang salah. Tapi memang ada yang kurang tepat. Dan kita tahu mengapa bisa begitu.
0 comments