Melihat Pegunungan Hyang Argopuro dari Kalisat
Pegunungan Hyang - Argopuro dari balik jendela kereta api Pandanwangi pagi ini
HYANG tampak indah dalam foto ini, hasil jepretan Zuhana AZ pagi ini tepat pukul 06.00 WIB. Selembar foto tersebut seolah menghapus cerita sebelumnya, tentang bagaimana Hana tergopoh-gopoh mempersiapkan diri untuk segera berangkat ke stasiun. Belum lagi dia masih harus membangunkan Qorry 'Aina Damayanti yang tidur di ruang mural yang posisinya ada di antara kamar cewek dan kamar mandi ruang ingatan. Bersyukur kami tiba di stasiun Kalisat di waktu yang tepat, tigapuluh detik sebelum kereta api berangkat. Saya membonceng Hana pakai Supra X 125, sedangkan 'Aina diantarkan oleh Hamdan Tamimi, pakai motor matic.
Hana dan 'Aina butuh ke Banyuwangi untuk menghadiri resepsi pernikahan sejawat mereka sesama jurnalis yang tergabung dalam AJI Jember.
Argopuro mengingatkan saya pada catatan Franz Wilhelm Junghuhn bagian dua, yang terbit antara 1853 - 1854, berjudul, Java, zijne gedaante, zijn plantentooi en inwendige bouw. Ia tentang Jawa, penampakannya, vegetasinya, dan struktur internalnya.
"Di puncak Argopoero, yang mencapai ketinggian 9000 kaki, saya telah menemukan reruntuhan kuil Siwa yang besar..."
Pendakian Junghuhn (November 1844) kelak terbukti menginspirasi para pengusaha perkebunan di Jember yang hendak bikin kota mandiri di Cikasur, yang katanya memiliki iklim seperti iklim Eropa. Catatannya dibicarakan di akhir abad ke-19 dan cita-citanya mulai dirintis antara 1895 - 1900. Itulah mengapa di Cikasur ada jejak landasan pesawat terbang perintis. Jejak landasan itu tampak seperti dua garis sejajar. Kali pertama saya ke Cikasur pada 2001, bekas landasan pacu tersebut sudah tertutup savana.
Dulu ketika Jember dipimpin oleh bupati MZA Djalal, 2005 - 2015, di akhir masa jabatannya ia semakin sering blusukan ke sudut-sudut Jember pakai motor trail. Rombongan. Di masa itu pernah dibuka jalur trail untuk kebutuhan lomba, hingga menembus Cikasur. Jalur itu dibuka oleh bupati Jember MZA Djalal dan ditutup kembali begitu even selesai. Namun rupanya jalur tersebut dibuka kembali oleh warga. Mereka memanfaatkan jalur motor tersebut untuk berburu dan untuk mengambil bunga angin yang ada di sekitar sabana Cikasur. Sejak saat itulah jalur pendakian di sana menjadi tak sama lagi. Calon pendaki bisa naik ojek dari Baderan ke Cikasur, meskipun mereka juga bisa memilih untuk tetap berjalan kaki.
Sebenarnya pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur tak menyarankan untuk melakukan pendakian di jalur Pegunungan Hyang - Argopuro. Ia adalah Suaka Margasatwa, bukan Taman Nasional. Sedangkan kita tahu, fungsi utama Suaka Margasatwa adalah untuk melindungi hewan langka dan terancam punah dengan menyediakan habitat yang aman, tempat berkembang biak, serta mencegah perburuan liar.
Saya jadi teringat sebuah perbincangan di rumah saya di Kalisat, suatu hari pada Agustus 2024, tiga bulan sebelum coblosan Pilkada Jember. Obrolan kecil bersama Mas Hanan Kukuh Ratmono dan Mas Gogot Cahyo Baskoro itu sampai juga ke perkara jalur hiking Argopuro.
"Saiki nang sepanjang jalur iku, dimulai teko Baderan Situbondo sampai nang nduwur Panti Jember kono, kabeh ditanduri kopi. Ada cukong di balik itu." Begitu kata Mas Hanan.
Suaka Margasatwa Pegunungan Hyang menjadi tidak aman karena ada intervensi manusia, setidaknya sejak sepuluh tahun ke belakang. Saya kira, sudah waktunya negara hadir untuk memberikan perlindungan pada Hyang. Indonesia adalah negara megabiodiversitas terbesar kedua di dunia setelah Brasil karena kekayaan hayatinya yang melimpah di berbagai ekosistem, seperti laut dan hutan tropis. Satu di antara penyumbang megabiodiversitas itu tentu saja Pegunungan Hyang yang terdiri atas banyak gunung-gunung di tanah Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Probolinggo, yang puncak tertingginya dipegang oleh Gunung Argopuro.
Kabar sedih datang seminggu yang lalu dari Rama, putra sulung Lek Amek di kampung Lorstkal. Dia bilang, "Kamera trap yang kami pasang di titik-titik strategis di sepanjang jalur Pegunungan Hyang belum berhasil menangkap satu pun predator besar seperti macan kumbang dan tutul Jawa."
Maka segera diadakan rapat khusus dengan para pihak, terkait masa depan status Suaka Margasatwa. Masihkah relevan? Haruskah statusnya diturunkan menjadi Taman Wisata Alam atau status lain? Ini sungguh masalah serius, apalagi bila status Hyang sebagai Suaka Margasatwa turun derajatnya. Masyarakat semakin susah melakukan kontrol kolektif.
Teman-teman Mapala di Jember seperti Rama, Charlowyk Nicolas Kaluara, Hamdi, Sholehudin Ayubie, dan lainnya, mereka memang melakukan fokus penelitian pada flora-fauna, terutama flora langka dan juga predator puncak di Jawa dan Sumatera. Mereka adalah partner dari Yayasan Save the Indonesian Nature and Threatened Species (SINTAS) Indonesia. Latar belakang kepencintaalaman mereka juga tak sama. Rama menempa diri di pencinta alam Mapensa Fakultas Pertanian Universitas Jember, Charlowyk dari Mahapala D3 Fakultas Ekonomi Universitas Jember. Belum lagi yang dari Mapala Palmstar UIN Khas Jember seperti Adam Azizi Yudhistyana Soemarsono. Lelaki kelahiran 23 Maret 2001 ini bila di Palmstar punya nama lapang, Bakir. Rama juga begitu, bila di Mapensa dia dipanggil Kencur. Susah bagi saya untuk menyebut mereka satu per satu, sebab seringkali saya lebih hapal nama lapang mereka dibanding nama lahir. Charlowyk Nicolas Kaluara bila di Mahapala dipanggil Pak Raden. Hamdi punya nama lapang, Colmot.
Anak-anak muda Mapala Jember seperti Bakir, Kencur, Pak Raden, Colmot, dan semuanya, mereka adalah garda terdepan Indonesia dalam menggali ulang sejarah negeri ini, dimulai dari akarnya. Dari lanskap, dari keanekaragaman hayati yang mewarnai lanskap itu. Dan mereka memulainya dari Eks-Karesidenan Besuki; Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi.
Mereka adalah Junghuhn-Junghuhn yang lain, naturalis saat ini dan naturalis masa depan Indonesia yang tentu saja enggan terjebak dalam bias kolonial. Mereka enggan mewarisi mental penjajahan Eropa, bahwa para peneliti Barat selalu ada di puncak hierarki sebagai pengendali intelektual dunia, sementara warga setempat yang hidup di batas hutan dan pegunungan hanyalah jongos. Paling banter hanya dijadikan porter, obyek, pemandu lokal. Bersama Kencur dan kawan-kawan, saya percaya bahwa tak ada hierarki seperti itu dalam sebuah riset. Apapun warna kulit kita, seharusnya kita bisa berdiri setara dalam upaya kolaboratif membangun sebuah penelitian. Dalam riset, tidak ada bos apalagi jongos, yang dibedakan menurut dari negara mana dia berasal.
Sambil menanti kedatangan Zuhana AZ dan Qorry 'Aina Damayanti yang seharusnya turun di stasiun Kalisat pukul 21.00 WIB malam ini, saya biarkan catatan ini mengalir kemana-mana, tanpa 'selokan belakang' yang memberi arah grafitasi. Saya tahu struktur itu penting, tapi khusus malam ini, biarlah ia mengalir apa adanya.
HYANG tak hanya tentang kisah Ledebour bersaudara, pemburu predator besar paling terkenal di masa itu. Cikasur juga bukan hanya tentang ide sanatorium di dataran tinggi Hjang. Ide itu gagal sebab mengalami banyak kendala. Kelak gagasan itu diwujudkan, memang, tapo lokasi sanatorium dipindahkan ke Kalisat.
Gagasan tentang sanatorium besar di Cikasur menjadi terkendala sebab hasil riset menyebutkan bahwa di sana, di sekitar dataran tinggi, di bagian yang lebih tinggi dari Hertendal, terdapat sumber hidrogen sulfida.
Berpindahnya gagasan sanatorium itu ke Kalisat, tepatnya di desa Plalangan, di antaranya karena Kalisat memiliki udara yang bagus. Sebab Kalisat adalah pemilik hummock (gumuk) terbanyak. Hummock adalah pemecah angin alami, sumber resapan air raksasa, dan keberadaannya menghasilkan udara yang bagus bagi masyarakat Jember. Kini masyarakat Kalisat mengenang 'reruntuhan' sanatorium yang ada di puncak hummock itu sebagai 'Marsakek Rosak.' Rumah sakit rusak.
Saya pernah menuliskan gagasan tentang sanatorium ini di akun Facebook pada 31 Juli 2018, berjudul; Sanatorium di Dataran Tinggi Hjang.
Sekian catatan malam ini. Saya sudahi sebab sudah waktunya ke stasiun Kalisat, jumpa dengan Zuhana dan 'Aina.

0 comments