Miniatur Gumuk Hasil Rancangan Sendiri Kini Hampir Berumur Delapan tahun
Miniatur gumuk di halaman belakang, 30 November 2025
Bersyukurlah mereka yang memiliki gumuk dari berbagai sebab, entah melalui warisan entah karena hal lain. Saya tidak punya peluang untuk memiliki hummock yang menjadi salah satu pembentuk peradaban Jember itu. Maka saya berinisiatif untuk bikin gumuk buatan, dengan bahan-bahan alami yang memang diambilkan dari material gumuk. Rancangan sederhananya sudah saya gambar sejak 23 Maret 2018, malam hari, sepulang dari rumah Pak Rasi Wibowo di desa Sumberkalong, Kalisat. Namun ia baru terwujud di bulan berikutnya, April minggu pertama, tentu atas bantuan Pak Rasi, penambang batuan gumuk.
Foto di atas saya abadikan hari ini menjelang Maghrib. Di balik tumpukan kayu-kayu itu, dibatasi oleh batuan gumuk dan dibatasi bantalan rel besi milik Kereta Api Indonesia, di sanalah letak miniatur gumuk yang saya rancang. Atas beberapa pertimbangan, di antaranya karena kami tinggal di sebuah rumah berarsitektur Eropa yang merupakan aset PT. KAI DAOP 9 Jember wilayah Kalisat, saya tidak bisa bikin miniatur gumuk yang lebih besar dari itu. Sejak enam bulan lalu, Mas Budi Prasetyo menanaminya ketela pohon. Katanya, ketela pohon ini sebaiknya dipanen menjelang malam tahun baru Masehi, sebentar lagi. Bisa Anda lihat, tanaman yang sudah ada sejak zaman para pertapa Jawa namun secara Fitogeografi disebutkan berasal dari Amerika Selatan ini, ia tumbuh subur di atas miniatur gumuk.
Bagaimana cara saya menyusun itu?
Ada saya baca di sebuah literatur bahwa saya butuh belajar tentang prinsip-prinsip lanskap dan ekologi. Maka dua kata kunci itu saya gunakan untuk menelusur dan membaca literatur yang lain, juga bertanya pada teman yang lebih memahami poin ini.
Saya ingat, hal pertama yang saya urus waktu itu adalah tentang proses pemindahan material gumuk dari desa Sumberkalong ke kampung Lorstkal di desa Kalisat kecamatan Kalisat. Pakai truk muatan penuh, material itu diparkir di pelataran rumah kontrakan kami. Materialnya sudah bercampur antara tanah, pasir, pecahan-pecahan batu piring, dan batuan ikutan lainnya yang juga berasal dari gumuk di Sumberkalong namun tidak berupa pecahan batu piring. Pak Rasi menyebut pecahan-pecahan itu sebagai limbah. Biasanya hanya digunakan untuk urukan.
Dari pelataran rumah kontrakan, kami masih harus memindahkannya secara manual menuju halaman belakang.
Dalam catatan saya di akun Facebook tertanggal 22 April 2022, ada penggalan seperti berikut.
"Gumuk buatan di sisi timur hutan kecil yang dibangun sejak April 2018, kini sudah tak mengalami ambles. Ia adalah miniatur gumuk tanpa puncak."
Setelah tepat berumur empat tahun, miniatur gumuk yang saya rancang itu menjadi kokoh, tanaman bisa tumbuh meskipun ia didominasi batuan vulkanik hasil longsoran raksasa Gunung Gadung di sisi barat Raung. Gadung kerap ditulis sebagai Raung Purba. Karena penasaran dengan peristiwa amblesan, maka saya baca-baca lagi hasil catatan saya mengenai perkembangan miniatur gumuk. Rupanya miniatur gumuk ini pernah direlokasi sekira lima meter lebih ke utara, ketika dia sudah berumur satu tahun lewat dua bulan.
Catatan tertanggal 17 Juni 2019 itu cukup panjang. Berikut di bawah ini adalah potongannya.
Semalam, kami memindah miniatur gumuk itu, agak bergeser ke utara. Hanya bergeser sekitar lima meter saja. Ternyata membongkar gumuk tidak mudah, meskipun ini hanya miniaturnya. Apalagi gumuk yang hasil fenomena alam. Meskipun miniatur, ia dirancang dengan baik. Kami memindah material gumuk beneran, untuk dijadikan miniatur gumuk. Di atasnya tumbuh tanaman, rumput yang sengaja ditanam, dan semak. Ada sebuah papan kayu kecil yang disangga oleh tiang, bertuliskan 'Gumuk.'
Mengapa miniatur gumuk tsb dipindahkan?
Kami sedang merancang sebuah greenhouse untuk tanaman anggrek. Tapi karena kami tak punya uang, bentuknya nanti bukan rumah kaca melainkan lebih sederhana lagi. Yaitu sebuah tenda besi milik Fanggi yang atap dan sisi-sisinya akan kami balut dengan paranet alias waring. Kami memlih lokasi di 'bekas' berdirinya miniatur gumuk bukan tanpa sebab. Ia adalah yang paling sesuai dengan kriteria, mulai dari kelembaban udara yang tinggi, suhu yang baik di bawah pohon mangga, cahaya, aliran udara, dan angin semilir dari arah selatan.
Kelak kalau greenhouse yang direncanakan sudah berdiri, di sekitarnya akan kami tata batu-batu gumuk hasil koleksi sendiri. Sebagai ruang belajar bersama, juga sebagai ruang jumpa di halaman belakang ruang ingatan.
Itulah potongan dari catatan saya sendiri. Berikut di bawah ini adalah foto greenhouse yang saya dokumentasikan hari ini juga, menjelang Maghrib.
Greenhouse Anggrek dan Kolam Koi, 30 November 2025
Jika memperhatikan agak pojok kiri bawah, ada lonjoran kayu di sana, maka Anda akan tahu jarak antara greenhouse (posisi miniatur gumuk yang lama) dengan titik miniatur gumuk memang dekat. Kini paranet greenhouse tertutup oleh labu kuning atau waluh atau labu halloween. Mulanya hanya ditanam dua bibit, hasil pembenihan sendiri. Tapi dari dua bibit itu sudah semerambat ini. Ia mengalami intervensi manusia beberapa kali, hanya agar tidak terlalu rombuh.
Ada satu catatan penting lagi setelah catatan tertanggal 17 Juni 2019 di atas, yaitu catatan tertanggal 14 Desember 2020. Catatan tanpa judul itu disertai foto.
Miniatur Gumuk Tanpa Puncak, 14 Desember 2020
Catatan perkembangan miniatur gumuk setelah berumur dua tahun delapan bulan. Senin Wage, 14 Desember 2020.
Saya pernah membuat miniatur gumuk di halaman belakang rumah kontrakan, pada 33 bulan yang lalu. Ia memiliki ketinggian 120 sentimeter—lalu pada satu tahun kemudian menyusut sampai 45 sentimeter, hingga hanya memiliki ketinggian 75 sentimeter saja. Untuk mengimbangi penyusutan itu, saya tambahkan tanah humus di sela-sela miniatur gumuk, bikin kompos, mikro bakteri serta cacing tanah.
Saya pernah membuat miniatur gumuk di halaman belakang rumah kontrakan, pada 33 bulan yang lalu. Ia memiliki ketinggian 120 sentimeter—lalu pada satu tahun kemudian menyusut sampai 45 sentimeter, hingga hanya memiliki ketinggian 75 sentimeter saja. Untuk mengimbangi penyusutan itu, saya tambahkan tanah humus di sela-sela miniatur gumuk, bikin kompos, mikro bakteri serta cacing tanah.
Di saat senggang, saya bikin catatan sederhana terkait perkembangannya. Tidak mudah membangun gumuk dari hasil rekayasa ekologi.
Material gumuk kecil itu saya dapat dari desa Sumberkalong, Kalisat. Waktu itu pemilik gumuk hanya meminta biaya kendaraan saja. Truk. Dia bilang, material yang saya ambil adalah limbah dari pengolahan batu piring. Ia berupa tanah kering bercampur pasir, serta pecahan-pecahan batu.
Suatu hari di bulan Juni 2019, istri saya minta dibuatkan greenhouse untuk anggrek-anggreknya. Sedangkan tempat yang paling memungkinkan, bertepatan dengan lokasi miniatur gumuk. Maka gumuk kecil itu saya pindah ke sudut halaman, seperti tampak pada foto. Ia tak lagi menjulang, melainkan rata. Untuk membuatnya kembali subur, saya memulai proses dari awal. Memberi 'makanan' pada tanah, memikirkan potensi vegetasi alami, memikirkan pula retensi air pada tanah yang sudah mengalami pembalikan—hingga membuatnya kembali tandus. Selanjutnya adalah perawatan sederhana.
Kini tanah tandus itu sudah pulih dan otonom. Ia hanya butuh perawatan dan pengendalian sewaktu-waktu saja.
Di penghujung tahun ini, saya memiliki keisengan baru, yaitu bikin aforestasi di skala yang sangat kecil. Saya memulainya sejak pertengahan November 2020. Lokasinya di samping kiri lahan urukan miniatur gumuk. Dalam proses pembuatan aforestasi mini tersebut, saya mencoba mempelajari metode dari Prof. Akira Miyawaki. Mumpung musim hujan.
_____
Sejak kapan saya berpikir untuk bikin gumuk buatan yang besarannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat kami tinggal? Apakah sejak malam tanggal 23 Maret 2018 sepulang dari rumah Pak Rasi di Sumberkalong? Atau bagaimana? Sebuah update status Facebook menjawabnya dengan mudah sekali.
Dokumentasi pribadi ini saya unggah pada 23 Maret 2018
Foto unggahan itu disertai dengan keterangan sebagai berikut.
"Museum Kampung Lorstkal dan arsip batu gumuk. Menyicil, perlahan, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi 'heuvel-gevield,' sembari memanfaatkan waktu senggang."
Dialah cikal bakal keberadaan Studi Arsip Sroedji. Mulanya adalah 'Museum kampung Lorstkal dan arsip batu gumuk.'
Syukurlah kemudian ada catatan lain tentang sejak kapan saya tertarik bikin arsip batu gumuk. Ia terjadi sepulang saya dan Hana dari pemutaran film karya tugas akhir milik Frans Sandi Maulana. Ujian skripsi ala Program Studi Televisi dan Film (PSTF) Fakultas Ilmu Budaya itu dilakukan di Home Teater milik mereka pada 8 Juni 2017. Sejak hari itulah terbersit ide gengguk untuk melirik batuan gumuk sebagai arsip. Terima kasih Frans Sandi Maulana atas karya dokumenternya yang berjudul 'Seibu Benteng.' Ia merupakan film dokumenter yang berkisah tentang gumuk-gumuk di Kabupaten Jember.
Oiya, Frans tidak 'bekerja' sendirian. Dia dibantu oleh teman-temannya, di antaranya adalah Bung Tado Kalisat. Terima kasih ya Bung.
Ada banyak hal yang ingin saya bagikan terkait miniatur gumuk, tentang bagaimana kekurangan dan kelebihannya, namun saya rasa tulisan ini sudah cukup memberi gambaran, sekaligus cukup royal menyematkan foto-foto ilustrasi. Misalnya ada di antara teman-teman yang tertarik merancang gumuk buatan, saya kira selain urusan prinsip-prinsip lanskap dan geologi, dia hanya membutuhkan tiga hal.
1. Proses pemindahan material gumuk dari satu titik ke titik tujuan
2. Belajar merancang bagaimana sebaiknya pembentukan kontur, dengan setidaknya memahami bagaimana gumuk-gumuk di Jember tercipta pada sekira 2100 tahun yang lalu. Dibandingkan Meru Betiri, hamparan gumuk di Jember belum berumur tua jika pakai waktu geologi
3. Merancang ulang vegetasi atau lazim disebut revegetasi. Ini yang butuh riset panjang, sebab kita sedang revegetasi miniatur gumuk agar mendekati keadaan sebenarnya. Setidaknya kita harus belajar tanaman-tanaman khas gumuk, dari mulai semak, perdu, hingga pohon. Bila ada yang endemik, tulis endemik. Bila ada yang bukan endemik tapi lazim dijumpai di gumuk, tulis juga begitu. Itu juga berlaku sama pada tanaman introduksi dan kemudian menjadi invasif di lanskap gumuk.
Penting untuk belajar tentang sejarah lingkungan, kehutanan, dan hal-hal yang bisa kita jangkau. Penting pula mendelegasikan kepada ahlinya bila kita butuh perspektif sains dari saintis yang menggeluti bidang khusus seperti teknik tata ruang, arsitektur, engineer, geografi, geologi, dan perkakas ilmu pengetahuan lain yang kita butuhkan.
Terlepas dari semuanya, mimpi saya sebenarnya bukan bikin miniatur gumuk. Mimpi saya adalah terjaminnya rasa aman bagi keberadaan hamparan gumuk di Jember, dan para pengambil kebijakan memiliki peluang untuk melakukannya. Jika ada jaminan rasa aman terhadap lanskap, maka terjamin pula rasa aman pada para penghuninya termasuk kepada queq, jenis burung hantu bertubuh kecil penghuni gumuk-gumuk di Jember.
Salam saya untuk Presiden Indonesia yang terhormat. "Bapak, peradaban negeri ini akan hancur bila lingkungannya hancur. Ayo Bapak Presiden, lakukan sesuatu. Anda bisa!"
Terima kasih.




0 comments