Sroedji dan Perkara Gelar Pahlawan Nasional
Pudji Redjeki Irawati, putri bungsu Letkol Moch. Sroedji menerima penghargaan Bintang Mahaputera Utama dari Presiden RI saat itu. Foto saya ambilkan dari akun resmi Joko Widodo, 9 November 2016.
Gelar pahlawan nasional tentu saja politis. Ia menjadi urusan kekuasaan dibanding urusan kebangsaan. Dari sisi daerah tempat dimana pahlawan itu berasal, dan atau tempat ia memperjuangkan sesuatu, terkadang urusan gelar pahlawan nasional ini juga dijadikan semacam ajang proyek daerah, Ia dianggap dapat mengangkat identitas dan harga diri kedaerahan. Saya melihat kabupaten Jember juga menuju ke arah itu, terlebih sejak masa kepemimpinan Bupati MZA. Djalal, dr. Faida, Hendy Siswanto, hingga Bupati Jember yang sekarang yaitu Muhammad Fawait. Mereka suka membicarakan ketokohan Moch. Sroedji, apalagi ketika musim gelar pengangkatan pahlawan nasional telah tiba.
Di bulan November 2025 ini, nama Moch. Sroedji kembali masuk ke daftar calon penerima gelar pahlawan nasional. Namanya ada di urutan keenam di kolom usulan tunda 2024, sejajar dengan usulan gelar untuk Jenderal TNI Ali Sadikin, Syaikhona Muhammad Kholil, Abdurrahman Wahid, hingga Suharto. Di usulan gelar tahun 2025 sendiri ada empat nama, di antaranya Marsinah.
Saya sependapat ketika pada 1 November 2025 lalu jurnalis Indonesia Andreas Harsono menulis catatan pendek di group Keluarga Besar Yayasan Pantau, sebagai berikut.
Pahlawan adalah ranah masyarakat, bukan ranah negara. Banyak negara tak punya 'pahlawan nasional' misalnya Amerika Serikat. Kalau ada nama dijadikan hari nasional, Martin Luther King misalnya, ia keputusan parlemen.
Pemerintah Filipina, contoh lain, tak punya wewenang menyatakan seseorang pahlawan. Jose Rizal, yang dianggap banyak berjasa buat identitas kefilipinaan, dianggap pahlawan oleh banyak warga Filipina. Sejarahwan banyak menulis soal Rizal. Ini penghargaan masyarakat. Bukan negara. Gelar pahlawan nasional di Indonesia sebaiknya dihapus.
Sembilan tahun lalu, pihak keluarga Moch. Sroedji di Jakarta, juga Dinas Sosial Jember yang urus gelar pengangkatan pahlawan nasional diberitahu bahwa proposal pemberian gelar Sroedji menjadi pahlawan nasional sudah ada di meja kepresidenan. Mereka yakin betul akan informasi itu. Namun arah angin tak selalu sama. Mendekati peringatan Hari Pahlawan 2016, Joko Widodo dan gerbong politiknya sedang butuh citra baik di depan kalangan warga Nahdliyin. Maka gelar pahlawan nasional segera disematkan pada tokoh NU Alm. K.H.R. As'ad Syamsul Arifin. Sedangkan Sroedji dianugerahi Bintang Mahaputera Utama.
Berikut urutan anugerah gelar kepahlawanan di bulan November 2016.
1. Pahlawan nasional: Alm. K.H.R. As'ad Syamsul Arifin
2. Bintang Mahaputera Utama:
a. Alm. Mayjen TNI (Purn) Andi Mattalatta
b. Alm. Letkol inf. (Anumerta) Mohammad Sroedji
Bagi masyarakat Jember, Kiai As'ad adalah pahlawan yang selalu ada di hati, baik dengan gelar maupun tidak. Masyarakat tidak butuh validasi apapun. Saya suka jalan-jalan ke pelosok Jember hingga di ruang-ruang perceel perkebunan, dan begitu sering menjumpai foto Kiai As'ad di ruang tamu seseorang yang saya kunjungi.
Sembilan tahun lalu, pihak keluarga Moch. Sroedji di Jakarta, juga Dinas Sosial Jember yang urus gelar pengangkatan pahlawan nasional diberitahu bahwa proposal pemberian gelar Sroedji menjadi pahlawan nasional sudah ada di meja kepresidenan. Mereka yakin betul akan informasi itu. Namun arah angin tak selalu sama. Mendekati peringatan Hari Pahlawan 2016, Joko Widodo dan gerbong politiknya sedang butuh citra baik di depan kalangan warga Nahdliyin. Maka gelar pahlawan nasional segera disematkan pada tokoh NU Alm. K.H.R. As'ad Syamsul Arifin. Sedangkan Sroedji dianugerahi Bintang Mahaputera Utama.
Berikut urutan anugerah gelar kepahlawanan di bulan November 2016.
1. Pahlawan nasional: Alm. K.H.R. As'ad Syamsul Arifin
2. Bintang Mahaputera Utama:
a. Alm. Mayjen TNI (Purn) Andi Mattalatta
b. Alm. Letkol inf. (Anumerta) Mohammad Sroedji
Bagi masyarakat Jember, Kiai As'ad adalah pahlawan yang selalu ada di hati, baik dengan gelar maupun tidak. Masyarakat tidak butuh validasi apapun. Saya suka jalan-jalan ke pelosok Jember hingga di ruang-ruang perceel perkebunan, dan begitu sering menjumpai foto Kiai As'ad di ruang tamu seseorang yang saya kunjungi.
KLIK: Petite Histoire Sroedji
Jember sendiri punya sekian pahlawan dari berbagai zaman. Kisah perjalanan hidup dan semangat juang para pahlawan setempat itu diawetkan melalui cerita tutur, dari generasi ke generasi. Satu di antara pahlawan Jember itu adalah Moch. Sroedji. Biasanya dipasangkan dengan rekan seperjuangannya yang seorang dokter tentara, dr. Soebandi. Namanya bahkan diabadikan menjadi nama rumah sakit daerah, yaitu RSUD dr. Soebandi. Lalu menyusul menjadi nama sebuah universitas di Jember yaitu Universitas dr. Soebandi. Ada juga nama ruas jalan di Jember bernama JL. dr. Soebandi. Sroedji juga memiliki nasib yang sama seperti sahabatnya. Namanya dijadikan nama jalan, nama sebuah universitas swasta di Jember, nama sekolah SMP dan SMK, nama sebuah lapangan tembak, hingga diabadikan menjadi nama gedung di Bakorwil Jember.
Kota Situbondo memiliki sebuah ruas jalan di dekat Kodim 0823 bernama JL. Moch. Sroedji. Di Kediri, Lumajang, Malang, juga ada nama ruas jalan yang mengabadikan namanya. Semuanya ada di keramaian kota. Bila di Malang, ditambah lagi nama sebuah kampung, yaitu Kampung Sroedji, dengan ejaan Soeroedji. Ada juga yang mengejanya dengan ejaan Suruji. Ejaan paling lazim dijumpai di tengah masyarakat adalah Seruji.
Monumen Sroedji ada juga yang dibangun di Sidoarjo, tepatnya di kelurahan Karangbong, kecamatan Gedangan, Waru. Monumen itu untuk mengenang kisah pertempuran di bulan Januari 1946 antara Batalyon Sroedji dengan pihak musuh. Dalam peristiwa itu, gugur limabelas prajurit dari Kompi Alap-alap Jember yang dipimpin oleh Sersan Suherlan. Di Sidoarjo, ejaan untuk Sroedji adalah Suruji. Moch. Sroedji memang punya peran di pertempuran panjang yang kini kita kenal sebagai Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Namun dia diusulkan menjadi pahlawan nasional bukan karena pertempuran heroik itu saja. Bukan itu titik tekannya, melainkan tentang perjalanan Wingate-action Brigade III/Divisi I Damarwulan pimpinan Letkol Moch. Sroedji, 1948 - 1949. Dia juga menjadi satu-satunya perwira berpangkat Letnan Kolonel di masa revolusi itu yang gugur di medan perang.
Kemudian ada campur tangan negara perkara hierarki kepahlawanan.
Nama JL. Moch. Sroedji di jantung kota Jember pernah diperpendek agar bisa dijadikan dua nama jalan. Ruas jalan yang mendekati alun-alun kota Jember diberi nama JL. PB. Sudirman. Sementara JL. Moch. Sroedji hanya dari SDN Patrang 1 Jember di pertigaan RSUD dr. Soebandi hingga Pagah. Negara juga merasa perlu hadir untuk gelar pahlawan nasional.
Semakin negara hadir, semakin Moch. Sroedji dipandang secara militer saja. Mereka suka bertanya kepada saya perihal jabatan Moch. Sroedji sebagai Komandan SGAP alias Staff Gabungan Angkatan Perang di masa Peristiwa PKI 1948 di Madiun dan sekitarnya.
Tidak ada cerita menonjol tentang Sroedji sebagai suami yang baik untuk istrinya, Mas Roro Roekmini. Kisah tentang Sroedji sebagai sosok Ayah bagi keempat buah hatinya juga hanya ada di novel garapan cucunya, Irma Devita Purnamasari. Padahal Sroedji adalah tokoh pergerakan kepemudaan 'Indonesia Moeda' di masa sebelum Indonesia merdeka. Selain mantri kesehatan di Jember, dia juga tercatat aktif di Muhammadiyah Cabang Jember. di organisasi masyarakat itu dia pernah menjabat selaku sekretaris. Sroedji juga pelopor keberadaan kesebelasan sepakbola di Jember, yang waktu itu bernama Persibeda. Persatoean Sepakraga Indonesia Besoeki dan daerahnja. Persibeda tentu kelak menjadi embrio keberadaan kesebelasan Persid, Persatuan Sepakbola Indonesia di Djember.
Petite Histoire Sroedji menjadi tertutup oleh sosok dirinya sebagai seorang perwira menengah di Angkatan Darat. Narasi menjadi lebih lengket pada Letkol Moch. Sroedji selaku Komandan Brigade III Damarwulan, cikal bakal keberadaan Brigade Infanteri 9/Dharaka Yudha alias Brigif 9 Jember. Orang menjadi tak tahu bila di masa remajanya, Sroedji pernah bolak-balik Malang - Surabaya untuk menuntaskan pendidikannya di sekolah kejuruan. Saat itu, selain aktif menjadi atlit korfball, Sroedji juga aktif di Hizbul Wathan Malang. Dia mengenal organisasi kepemudaan Muhammadiyah ini tentu sejak di Kediri, ketika Sroedji menuntaskan sekolah dasarnya di HIS Muhammadiyah Kediri.
Masih banyak narasi-narasi kecil tentang kehidupan Moch. Sroedji yang kurang populer di ingatan masyarakat Jember. Secuil kisah persahabatannya dengan Njoto juga tak terpindai sejarah.
Sroedji dan Njoto pernah ada di satu organisasi pemuda yang sama di Jember, yaitu IM atau Indonesia Moeda. Seperti yang ditulis oleh De Indische courant, hingga 15 Januari 1942 Njoto masih menjadi pengurus IM. Sroedji bersama Sri Moeljatno sebagai pimpinan olahraga.
Njoto duabelas tahun lebih muda dari Sroedji. Kelak, di sebuah suratkabar Njoto mengabadikan rekan intelektualnya semasa berproses di Jember. Pada 28 Agustus 1965 ketika jurnalis De Volkskrant bertanya kepada Njoto mengenai apa pekerjaannya, Njoto menjawab, “Saya berprofesi sebagai seorang revolusioner, sejak saya berusia 14 tahun.”
Rupanya ingatan Njoto pada rekan intelektualnya di Jember era 1941 - 1942 begitu melekat. Cerita ini tidak masyhur di Jember, barangkali karena ada campur tangan politik dan kuasa media. Bisa pula sebaliknya.
Jember sendiri punya sekian pahlawan dari berbagai zaman. Kisah perjalanan hidup dan semangat juang para pahlawan setempat itu diawetkan melalui cerita tutur, dari generasi ke generasi. Satu di antara pahlawan Jember itu adalah Moch. Sroedji. Biasanya dipasangkan dengan rekan seperjuangannya yang seorang dokter tentara, dr. Soebandi. Namanya bahkan diabadikan menjadi nama rumah sakit daerah, yaitu RSUD dr. Soebandi. Lalu menyusul menjadi nama sebuah universitas di Jember yaitu Universitas dr. Soebandi. Ada juga nama ruas jalan di Jember bernama JL. dr. Soebandi. Sroedji juga memiliki nasib yang sama seperti sahabatnya. Namanya dijadikan nama jalan, nama sebuah universitas swasta di Jember, nama sekolah SMP dan SMK, nama sebuah lapangan tembak, hingga diabadikan menjadi nama gedung di Bakorwil Jember.
Kota Situbondo memiliki sebuah ruas jalan di dekat Kodim 0823 bernama JL. Moch. Sroedji. Di Kediri, Lumajang, Malang, juga ada nama ruas jalan yang mengabadikan namanya. Semuanya ada di keramaian kota. Bila di Malang, ditambah lagi nama sebuah kampung, yaitu Kampung Sroedji, dengan ejaan Soeroedji. Ada juga yang mengejanya dengan ejaan Suruji. Ejaan paling lazim dijumpai di tengah masyarakat adalah Seruji.
Monumen Sroedji ada juga yang dibangun di Sidoarjo, tepatnya di kelurahan Karangbong, kecamatan Gedangan, Waru. Monumen itu untuk mengenang kisah pertempuran di bulan Januari 1946 antara Batalyon Sroedji dengan pihak musuh. Dalam peristiwa itu, gugur limabelas prajurit dari Kompi Alap-alap Jember yang dipimpin oleh Sersan Suherlan. Di Sidoarjo, ejaan untuk Sroedji adalah Suruji. Moch. Sroedji memang punya peran di pertempuran panjang yang kini kita kenal sebagai Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Namun dia diusulkan menjadi pahlawan nasional bukan karena pertempuran heroik itu saja. Bukan itu titik tekannya, melainkan tentang perjalanan Wingate-action Brigade III/Divisi I Damarwulan pimpinan Letkol Moch. Sroedji, 1948 - 1949. Dia juga menjadi satu-satunya perwira berpangkat Letnan Kolonel di masa revolusi itu yang gugur di medan perang.
Kemudian ada campur tangan negara perkara hierarki kepahlawanan.
Nama JL. Moch. Sroedji di jantung kota Jember pernah diperpendek agar bisa dijadikan dua nama jalan. Ruas jalan yang mendekati alun-alun kota Jember diberi nama JL. PB. Sudirman. Sementara JL. Moch. Sroedji hanya dari SDN Patrang 1 Jember di pertigaan RSUD dr. Soebandi hingga Pagah. Negara juga merasa perlu hadir untuk gelar pahlawan nasional.
Semakin negara hadir, semakin Moch. Sroedji dipandang secara militer saja. Mereka suka bertanya kepada saya perihal jabatan Moch. Sroedji sebagai Komandan SGAP alias Staff Gabungan Angkatan Perang di masa Peristiwa PKI 1948 di Madiun dan sekitarnya.
Tidak ada cerita menonjol tentang Sroedji sebagai suami yang baik untuk istrinya, Mas Roro Roekmini. Kisah tentang Sroedji sebagai sosok Ayah bagi keempat buah hatinya juga hanya ada di novel garapan cucunya, Irma Devita Purnamasari. Padahal Sroedji adalah tokoh pergerakan kepemudaan 'Indonesia Moeda' di masa sebelum Indonesia merdeka. Selain mantri kesehatan di Jember, dia juga tercatat aktif di Muhammadiyah Cabang Jember. di organisasi masyarakat itu dia pernah menjabat selaku sekretaris. Sroedji juga pelopor keberadaan kesebelasan sepakbola di Jember, yang waktu itu bernama Persibeda. Persatoean Sepakraga Indonesia Besoeki dan daerahnja. Persibeda tentu kelak menjadi embrio keberadaan kesebelasan Persid, Persatuan Sepakbola Indonesia di Djember.
Petite Histoire Sroedji menjadi tertutup oleh sosok dirinya sebagai seorang perwira menengah di Angkatan Darat. Narasi menjadi lebih lengket pada Letkol Moch. Sroedji selaku Komandan Brigade III Damarwulan, cikal bakal keberadaan Brigade Infanteri 9/Dharaka Yudha alias Brigif 9 Jember. Orang menjadi tak tahu bila di masa remajanya, Sroedji pernah bolak-balik Malang - Surabaya untuk menuntaskan pendidikannya di sekolah kejuruan. Saat itu, selain aktif menjadi atlit korfball, Sroedji juga aktif di Hizbul Wathan Malang. Dia mengenal organisasi kepemudaan Muhammadiyah ini tentu sejak di Kediri, ketika Sroedji menuntaskan sekolah dasarnya di HIS Muhammadiyah Kediri.
Masih banyak narasi-narasi kecil tentang kehidupan Moch. Sroedji yang kurang populer di ingatan masyarakat Jember. Secuil kisah persahabatannya dengan Njoto juga tak terpindai sejarah.
Sroedji dan Njoto pernah ada di satu organisasi pemuda yang sama di Jember, yaitu IM atau Indonesia Moeda. Seperti yang ditulis oleh De Indische courant, hingga 15 Januari 1942 Njoto masih menjadi pengurus IM. Sroedji bersama Sri Moeljatno sebagai pimpinan olahraga.
Njoto duabelas tahun lebih muda dari Sroedji. Kelak, di sebuah suratkabar Njoto mengabadikan rekan intelektualnya semasa berproses di Jember. Pada 28 Agustus 1965 ketika jurnalis De Volkskrant bertanya kepada Njoto mengenai apa pekerjaannya, Njoto menjawab, “Saya berprofesi sebagai seorang revolusioner, sejak saya berusia 14 tahun.”
Rupanya ingatan Njoto pada rekan intelektualnya di Jember era 1941 - 1942 begitu melekat. Cerita ini tidak masyhur di Jember, barangkali karena ada campur tangan politik dan kuasa media. Bisa pula sebaliknya.
Saya memiliki pengalaman dalam memperhatikan proses gelar pahlawan nasional, pada 2019 dan pada 2024. Akan saya ceritakan mengapa saya memiliki pengalaman itu, di kesempatan yang berbeda. Bermodalkan dua pengalaman itu, saya semakin memahami bila urusan gelar pahlawan nasional ini memang butuh dipikirkan ulang.

0 comments