GUMUK Berbisik: Jika Kamu Mencintai Kami, Selamatkan Kami

by - November 12, 2025

Seminar Nasional Konsentrasi Hukum Tata Negara dengan tema "Lanskap Bercakap. Tilikan dari Perspektif Lokal Hingga Internasional Terhadap Hukum Lingkungan Hidup."


Ketika seminar dimulai, moderator memperkenalkan saya sebagai seorang sejarawan. Namun saya masih ingat perbincangan dengan dosen tampan Rian Adhivira Prabowo, S.Psi., SH, MHMA ketika dia dan rombongan kecil dari Fakultas Hukum Universitas Jember datang ke Kalisat, dua hari sebelum seminar diselenggarakan. Pesan tersirat dari perjumpaan di ruang ingatan malam itu, saya juga akan membicarakan ciri khas lanskap Jember bernama gumuk. 

Ada tiga pembicara di peristiwa seminar yang penting itu. Saya sebagai pembicara pertama, lalu ada Syahwal dari Universitas Negeri Semarang. Dia membicarakan 'Hak atas Lingkungan Hidup dalam ICESCR. Berikutnya adalah Eddy Mulyono, S.H., M.Hum. dari Fakultas Hukum Universitas Jember. 

Tertera dalam undangan, materi yang harus saya sampaikan berjudul, "Situasi Lingkungan dari Aras Kolektif." 

Pagi sebelum berangkat ke lokasi seminar di Ruang Soemarsono Fakultas Hukum, ba'da Subuh, saya bikin catatan di blog tamasja.net berjudul, JEMBER: Tanah Basah yang Ditaburi Gumuk. Ia saya unggah pada 11 November 2025 pukul 06.15 pagi. Kurang tiga jam kemudian, saya sudah ada di Ruang Soemarsono. Lalu tiba waktunya bagi saya memegang mikrofon. Memperhatikan situasi, mengingat saya diperkenalkan sebagai sejarawan sekaligus membawa nama kolektif Sudut Kalisat, maka narasi yang saya sampaikan tidak jauh dari catatan di blog tamasja. Jember secara toponimi, masa perkebunan swasta di Jember sejak pertengahan abad ke-19, gumuk dan hutan purba sebagai pembentuk lanskap Jember, dan hal-hal lain seputar sejarah Jember serta printilan-printilan tentang gumuk sebagai situs ekologi dunia yang ditakdir ada di kota ini. 


Poster Seminar Lanskap Bercakap


Disclaimer: Judul "Lanskap Bercakap" dalam seminar ini adalah mengambil dari ikhtiar yang dilakukan oleh kolektif Sudut Kalisat dalam perhelatan Kalisat Tempo Dulu dengan judul yang persis sama. Kami jujur mengakui bahwa pemilihan judul ini dilakukan semata-mata karena kami tersentuh dan terinspirasi atas perhelatan tersebut. Pada tahun 2022, Prof. Andri Gunawan Wibisanamenyampaikan pidato pengukuhan guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia berjudul "Antroposen dan Hukum: Hukum Lingkungan dalam Masa-masa Penuh Bahaya." Pidato tersebut menyoal pergeseran paradigmatik dari cara pandang antroposen kepada ekosentrisme. 

Dan seterusnya.  

Disclaimer tersebut disematkan oleh penyelenggara seminar di undangan, tepatnya pada lembar TOR di bagian pertama. Ia justru bikin teman-teman kolektif Sudut Kalisat merasa tersentuh. Kami kecil. Secara fisik, antara 'ruang ingatan' dengan Fakultas Hukum Universitas Jember terbentang jarak 16 kilometer. Kami merasa memiliki teman dan merasa dicintai. Terima kasih Rian Adhivira Prabowo, terima kasih Sofyan Maulana 'Raung' IMPA Akasia, Syahrin Shafa dan kolektif Ajegeh Gumuk. Juga tentu saja saya, Zuhana AZ, dan Sudut Kalisat menghaturkan terima kasih setulus hati kepada penyelenggara acara; Fakultas Hukum Universitas Jember, International Conference on Law and Society (ICLS), dan Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI). 

Acara berlangsung selama tiga hari, sejak 11 November 2025, dibuka oleh Seminar Lanskap Bercakap. 

Tamu undangan datang dari berbagai wilayah, dan panitia penyelenggara telah menyediakan penginapan bagi mereka di sekian hotel yang ada di Jember wilayah kota. Saya dan Hana datang dari arah Kalisat dengan menunggang Supra X 125 keluaran tahun 2012. Teman-teman Sudut Kalisat lainnya datang menyusul. Mereka ada Nur Riyono, Sherin Fardarisa, Rama, Muhammad Iqbal, dan Dani. 


Panel 3a Filsafat Hukum dan Akses ke Keadilan: Tentang Lingkungan Hidup

Kami datang lagi di hari kedua, dengan formasi; RZ Hakim, Zuhana AZ, Muhammad Iqbal, Sherin Fardarisa, dan Karina Putri Yuni Kuswanto. Acara terbagi dengan banyak majelis ilmiah atau panel. Sudut Kalisat masuk ke panel 3a di Ruang Purnomo. Bersama perwakilan dari Greenpeace, Sudut Kalisat didapuk sebagai reviewer. Kami mengomentari setiap makalah yang dipresentasikan oleh masing-masing penyaji. Syahrin Shafa adalah satu dari sekian penyaji. Dia melakukan presentasi terkait hamparan gumuk di Jember, dikomparasikan dengan kelalaian penyelenggara negara tingkat daerah dalam melindunginya secara ekologi, dan tentang aturan hukum yang tumpang tindih dengan status kepemilikan gumuk. 

Syahrin menjadi satu-satunya penyaji dari Jember. Penyaji lainnya ada yang dari Propinsi Sumatra Selatan, Jakarta, Surabaya, dan lainnya. Tampak dalam foto di atas, Syahrin dari kolektif Ajegeh Gumuk sedang memaparkan makalah gumuk. 


Makan bersama di Warung Sulastri di Jalan Sumatra dekat kampus ITS Mandala

Sekira pukul setengah lima sore, rangkaian acara yang digelar sejak pagi itu usai. Kami tak segera pulang melainkan masih numpang nongkrong di sekretariat IMPA Akasia, sebuah unit kegiatan mahasiswa pencinta alam di bawah naungan Fakultas Hukum Universitas Jember. Kami duduk-duduk di sana sambil menunggu Karina mencari kontak motor yang kesingsal. Syukurlah kontak motor itu diamankan oleh pihak keamanan Universitas Jember. Saat kami di Akasia, Hamdan Tamimi datang menyusul. Dia datang bersama Tatag alias Mohammad Fitra Ramadhan. Dia anggota unit kegiatan mahasiswa pencinta alam di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Jember yang punya nomor induk anggota XXXVIII-22.31.371-SWP. Tentu senang jumpa dengan Tatag. Sudah lama dia di Jogja, magang di Ravacana Films. 

Setelah Karina selesai urus kontak motor, kami pun pamit undur diri ke teman-teman Akasia, lalu bergeser ke Warung Sulastri. Tentu untuk makan bersama-sama, seperti tampak dalam foto.

Masih ada satu agenda lagi, ngopi bareng di Kedai WTC di Jalan Belitung. Kebetulan saya ada janji temu dengan Firman Sauqi Nur Sabila. Dia seorang Doktor Teknik Geologi sekarang, tepatnya sejak sebelas bulan yang lalu, 19 Desember 2024. Rasanya sangat lama kami tak jumpa. Terakhir jumpa di sebuah diskusi berjudul 'Seribu Gumuk untuk Bumi' pada 28 Februari 2025, dan itu sudah sembilan bulan yang lalu. 


Kedai WTC, 12 November 2025. Dokumentasi oleh Nur Hasanudin Haqi

Akhirnya kami jumpa di kedai yang sejak kemarin sedang melakukan renovasi ruang bar itu. Tampak dalam foto, Firman Sauqi Nur Sabila paling kanan, kedua tangannya bersedekap. Dia adalah seorang geolog asal Wuluhan dan kini memiliki rumah di dekat Universitas Terbuka Jember. Anaknya yang nomor satu telah sekolah di Taman Kanak-kanak, sedangkan si bungsu baru awal November lalu berumur satu tahun. Laki-laki dan perempuan. kami menjadi akrab sebab Firman menemani proses Kalisat Tempo Dulu 8 di tahun 2023, mengusung tema Batuan Berkisah. Saat itu kolektif Sudut Kalisat sedang mempelajari lanskap Jember dari sisi mineral dan batuannya. Meskipun prosesnya panjang dan berbulan-bulan, Firman Sauqi Nur Sabila menemani kami dari sisi akademis. Sungguh menarik memperhatikan Jember dari sudut pandang geologi. 

Jember punya gumuk, dan itu indah sekali. 

Ada hal-hal segar dari geolog muda ini terkait gumuk. Dia bilang, usai mendapat gelar doktor, dia sengaja melakukan istirahat panjang. Firman jadi punya waktu untuk belajar permakultur dan belajar pula tentang teori aforestasi dari Almarhum Prof. Akira Miyawaki.

"Baru dua bulan terakhir ini aku menyentuh lagi bab gumuk, Mas." 

Matanya berbinar saat menjelaskan tentang keberadaan gumuk di Jember. Dengan bersemangat dia tunjukkan kepada saya temuannya tentang lukisan alami rumput yang mengecap di sebuah singkapan gumuk. Stigma rumput itu menurut Firman adalah karena rumput-rumput tersebut mengalami tekanan. Temuannya yang lain adalah fosil. 

Obrolan kami cukup padat, sedari pukul 18.35 hingga hampir dua jam kemudian. Bagi saya, percakapan itu adalah sebuah peristiwa penting. kami mencapai satu kesepakatan baru bahwa harus sangsi pada teori 'Gumuk hanya ada di tiga tempat di dunia, yaitu di Jember, Tasikmalaya, dan Bandai-san Jepang.' 

"Baiklah kalau data-data kita kuat, ayo kita tandingi itu." 

Saya lanjutkan, "Padahal antara 34 sampai 35 jam yang lalu aku sik membicarakan teori itu di Seminar Nasional Konsentrasi Hukum Tata Negara, sik tak ceritakne gektasan." 

Kami saling pandang lalu sama-sama tertawa. Menurut saya ini lucu. Bila data-data baru itu benar, maka saya akan melawan pemikiran saya sebelumnya, melakukan kritik atas lagu Tamasya Band berjudul GMK alias Gumuk yang itu juga saya ciptakan sendiri meskipun berdasarkan coretan kata-kata dari aktivis lingkungan Jember bernama Wahyu Giri. Tapi itu adalah hal yang lumrah di domain yang saya pelajari, ilmu sejarah. 

Sejarah bukan fiksi dan bukan ilmu pasti. Kebenaran dari peristiwa sejarah bersifat sementara. Jika ditemukan data baru yang lebih kuat, maka sejarah usang akan bergeser.

Terinspirasi oleh rangkaian acara yang disuguhkan oleh Fakultas Hukum Universitas Jember, International Conference on Law and Society (ICLS), dan Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), juga diskusi bergizi bersama geolog Jember yang lama menempa dirinya di ITB, saya merasa perlu untuk bikin perjumpaan lain bersama Firman Sauqi Nur Sabila. Maka sampailah kami pada gagasan bikin diskusi gumuk di ruang ingatan pada Rabu Kliwon, 19 November 2025. Ini penting bagi Jember dan bagi dunia keilmuan. Sebuah kabar baik meskipun sepintas terdengar pesimis sebab kami berencana hendak menggugurkan teori gumuk 'hanya ada tiga di dunia.' Namun di balik itu terdapat sebuah narasi paling dasar mengapa Jember menjadi unik seperti sekarang ini.

Setelah 'Diskusi Gumuk 19 November' yang direncanakan itu, tentu lahir gagasan lain. Kami akan melakukannya secara kolektif dan partisipatif. Juga butuh multidisiplin keilmuan. Saya kira ia akan bisa dilakukan bersama-sama oleh seluruh warga dunia di sudut negeri mana pun. Kita hanya perlu memikirkan bagaimana cara terbaik untuk melakukannya. 

GUMUK berbisik, "Si nos amas, serva nos." Jika kamu mencintai kami, selamatkan kami. 

Lestari. 

TAMASJA NET

0 comments