Dipeluk Gumuk Hidup-hidup
Mengenang Pameran Arsip Batuan Berkisah 2023
FIRMAN Sauqi Nur Sabila adalah seorang geolog lulusan ITB dan telah bergelar doktor sejak sebelas bulan lalu. Suatu hari di pemula bulan Mei 2023, Firman Sauqi datang berkunjung ke rumah kami di Kalisat, ditemani oleh Holidi beserta istri dan buah hatinya. Itu adalah kali pertama saya jumpa dengan Firman Sauqi. Rupanya dia kelahiran Wuluhan, Jember. Dia masih muda, lahir pada 15 Maret 1997 ketika hari-hari Anang Hermansyah dan Krisdayanti masih berwarna pink.
Sungguh perjumpaan yang baik. Saat itu saya bilang ke Firman Sauqi, "Anak-anak muda Sudut Kalisat sedang proses belajar batuan dan mineral, untuk kebutuhan pameran indie tahunan, Kalisat Tempo Dulu 8. Mereka kasih judul, 'Batuan Berkisah.' Apakah memungkinkan jika Mas Firman menemani mereka dari sisi akademisi?"
Gayung bersambut. Kami jadi lebih sering bermain di aliran sungai purba di Jember, dan tentu saja gumuk.
Ketika 'Kalisat Tempo Dulu (KTD) 8 Batuan Berkisah' digelar pada Oktober 2023, Sudut Kalisat menyediakan waktu khusus bagi Firman Sauqi Nur Sabila untuk tampil di atas pentas. Dia kami sandingkan dengan Kiai Ahmad Badrus Sholihin dari Ponpes Miftahul Ulum Kalisat. Tampil sebagai moderator adalah Etty Dharmiyatie Zuydewijn. Orang mengenal Mbak Etty sebagai penyiar RRI bersuara 'Butir-butir pasir di laut.' Saat itu mereka bicara tentang batuan dan mineral di Jember dilihat dari sudut pandang ilmu geologi dan dari perspektif Islam.
Kolektif Sudut Kalisat menyebut pembuka rangkaian pameran arsip batuan berkisah itu sebagai diskusi publik, tapi warga kampung Lorstkal lebih suka mengenangnya sebagai pengajian akbar.
Lama tak jumpa dengan Firman Sauqi, seusai dia merampungkan sidang doktoralnya pada 19 Desember 2024. Kemudian kami ditakdirkan jumpa pada 28 Februari 2025. Rupanya dia sedang mengampu sebuah diskusi berjudul 'Seribu Gumuk Warisan Alam.' Firman banyak bercerita tentang jejak collapse Gunung Raung Purba dan potensi geowisata masa depan.
"Saya nggak sengaja jumpa Bapak-bapak itu Mas, waktu jalan-jalan ke Kawah Wurung. Terus ada ajakan diskusi. Lha kok menarik."
Setelahnya kami tak jumpa lagi. Baru sembilan bulan kemudian kami bikin janji temu. Akhirnya kami jumpa di kedai WTC, 12 November 2025 ba'da Isya. Syukurlah dia tampak sehat dan segar. Kini semisal harus menulis namanya, akan menjadi Dr. Firman Sauqi Nur Sabila S.T., M.T. Alangkah panjangnya.
Foto perjumpaan terbaru kami dengan Firman Sauqi Nur Sabila pernah saya tampilkan di artikel berjudul, GUMUK Berbisik: Jika Kamu Mencintai Kami, Selamatkan Kami.
Perbincangan di kedai WTC dimulai dari sejarah sungai-sungai di Jember. Firman Sauqi ingin tahu tentang itu. Apakah pernah ada campur tangan Belanda tentang irigasi sungai-sungai di Jember?
"Aku tidak tahu sejarah sungai-sungai kita di sini. Apakah pernah terjadi perubahan seperti dibelokkan, disudet, atau apalah, beberapa sungai-sungai di Jember. Aku ingin mengkonfirmasi itu, Mas."
Saya menjawabnya dengan contoh kasus perubahan irigasi sungai Bedadung di masa Gerhard David Birnie. Mulanya bendungan sungai tersebut ditempatkan di dusun Kotok di desa Gumuksari, Kalisat. Lalu Gerhard David Birnie memindahkannya di desa sebelahnya yang kini dikenal bernama desa Bedadung.
Firman bercerita, selesai meraih gelar doktoralnya, dia memilih istirahat. Hampir setahun penuh dia istirahat. Selain urusan domestik, hari-harinya ia isi dengan belajar berkebun ala permakultur, juga mempelajari konsep aforestasi dari pemikiran Profesor Akira Miyawaki.
Sekilas perbincangan saya dengan Firman Sauqi Nur Sabila.
GUMUK adalah BRAND ILMU VULKANOLOGI yang BARU
"Aku baru fokus belajar (gumuk) ini sejak bulan sembilan sampai sekarang. Itu hampir tiga hari sekali aku keliling Jember. Aku sampai menemukan endapan paling jauh ada di sungai Keting (kecamatan Jombang) di Jember. Gumuk. Satu meter. Nah terus setelah keliling-keliling, secara geologi ternyata dia tidak hanya gumuk, fitur-fitur menariknya.
"Si debris itu membawa banyak hal.
"Aku kemarin nemu di Rowosari, kayu. Fosil. Jadi kayu yang terbawa (debris avalanches). Terkubur di tiga meter. Ada orang gali pasir tak tanyain, lalu diikutin. Awalnya kecil, cuma ranting gitu. Tak suruh ngikutin. Digali."
Kini sampel fosil kayu itu berada di kediaman Firman Sauqi Nur Sabila.
"Terus ketemu juga tanah yang terangkat. Jadi kalau sampeyan ke desa Sumberkalong dekat beringin, itu dia melengkung itu. Dari pertigaan beringin ke jembatan Sukowiryo itu melengkung. Jadi si topografinya begitu, karena didorong. Ditekan oleh si debrisnya. Jadi perbukitan-perbukitan atau gumuknya di sekitar Sukowiryo itu berbeda. Dia kayak membentuk lipatan-lipatan gitu.
"Nah itu sebelumnya belum terdeskripsi Mas, di beberapa riset-riset gumuk sebelumnya. Orang hanya meneliti gumuknya. Lebih besar dari itu, dia (debris avalanches) merubah bentang alam di Jember.
"Nah yang aku curiga, di selatan itu, sungai Bedadung yang selatan dari Rowotamtu. Setelah bendungan ke selatan, terus ke barat itu sungai Kasian, ke selatan sungai Tanggul, itu dia lurus terus Mas. Seperti dibuat. Aku melihatnya secara geologi itu nggak alami nih. Jadi dia modelnya seperti parit. Jadi simetri tanggul-tanggulnya, terus lurus. Nah, aku makin curiga. Secara instingku sebagai geolog, itu nggak alami. Tapi aku butuh data sejarah. Apakah benar memang ada proses manusia di situ, dalam hal mungkin mengalirkan sampai ke laut, atau memang secara alami seperti itu. Khususnya di Cangaan ke selatan."
Kecurigaan Firman Sauqi tentang bentang alam berupa sungai di hilir Bedadung tentu menarik untuk dikaji ulang. Memang sifatnya masih hipotesis, tapi saya berpikir itu penting.
Saya bilang ke Firman, bahwa intervensi terakhir datang dari PT. Semen Imasco Asiatic, saat hilir sungai Bedadung dibelokkan.
Dilanjutkan oleh Firman Sauqi, "Kalau feelingku sih, gitu. Karena di banyak kasus gitu. Membendung, membentuk sungai-sungai yang tidak langsung ke laut, menghasilkan daerah berawa-rawa. Berair. Ini di beberapa kasus di tempat lain ya."
Firman Sauqi mengkorelasikan itu dengan tulisan saya di blog ini, berjudul, Jember: Tanah Basah yang Ditaburi Gumuk.
"Jadi tanah berair itu, tanah basah itu, mungkin ada pengaruhnya dari si proses debris tadi. Membawa material yang mengubur, membendung beberapa aliran, sehingga dia jemek tadi itu. Kemudian mungkin ada proses manusia dalam merubah gumuk-gumuk tadi, sehingga sekarang sudah nggak kelihatan. Kalau bahasanya sampeyan kan, justru perkebunan tadi menutupi citra dari Jember yang aslinya, gitu."
Lalu kami lanjutkan perbincangan hingga sampai toponimi.
"Oke Mas. Rowo, cora, gumuk. Akeh, nama-nama kayak itu. Sumber."
Saya suka ketika Firman Sauqi menceritakan komunikasinya di email dengan seorang ilmuwan geologi bernama Lee Siebert.
LEE SIEBERT.
Dia adalah peneliti pertama debris avalanches yang juga memasukkan Jember di catatan hasil surveynya. Dia pula yang pertama bikin kartografi sebaran gumuk di kabupaten Jember tahun 1995, namun baru ditulis dan diterbitkan pada tujuh tahun kemudian
"Sekarang usianya sudah 85 tahun. Sudah pensiun. Dia yang pertama bikin peta debris avalanches gumuk di Jember. Bukan jurnal, tapi lebih ke akademik artikel.
"Tidak spesifik ke Jember cuma dia main regional. Kebetulan nemu yang (bagian) Jember. Jadi si Siebert itu.. Jadi gini Mas. Sejarah yo.
"Sebelum tahun 1980, peneliti-peneliti geologi itu nggak tahu proses pembentukan hummock atau gumuk-gumuk itu. Banyak, di seluruh dunia itu banyak. Mereka itu nggak tahu kenapa bisa ada sebuah daerah yang berbukit-bukit seperti itu di dekat gunung berapi. Ada yang bilang karena magma naik ke atas, misalnya. Banyak teorinya, tapi belum bisa menjelaskan secara teori lah. Kayak banyak hipotesis aja.
"Sampai tahun 1980, pada 18 Mei, ada gunung namanya Saint Helens di USA, dia meletus. Tapi letusannya nggak dari atas tapi dari samping. Itu direkam, karena sudah ada kamera kan. Direkam, menghasilkan letusan.. Awalnya biasa saja. Ketika sudah selesai letusannya, hasilnya berbukit-bukit.
"Setelah itu langsung revolusioner. Jadi ada istilah debris avalanches. Sebelum itu nggak ada (istilah tersebut). Ya itu orang-orang bilangnya hillock, hummcok. Setelah kasusnya Saint Helens, muncullah teori karena proses debris avalanches tadi. Setelah itu para peneliti tadi, termasuk Lee Siebert, itu keliling dunia. Mencari model-model lain yang mirip kasus Gunung Saint Helens di Amerika Serikat. Sampailah dia ke Jember. Salah satunya. Tulisan Lee Siebert bukan paper tapi lebih ke hasil survey banyak tempat di dunia, tapi di sini ada chapter yang khusus membahas tentang Jember. Bahkan dia bikin peta.
"Iki lho, iki singkapane di Jember," kata Firman Sauqi sambil menunjukkan sebuah foto hitam putih ke saya, dari catatan Lee Siebert. Tidak diketahui lokasinya di Jember bagian mana.
"Tapi sudah ditambang Mas, tahun sakmono." Dia tertawa ketika mengatakannya. Saya juga.
Ditunjukkan juga sebuah peta oleh Firman Sauqi, masih dari sumber yang sama.
"Jadi ini peta visual pertama yang menggambarkan estimasi sebaran si gumuk-gumuk. Yang tanda x itu gumuk-gumuk. Dan aku kemarin me-resurvey lagi, itu 90 persen lah, bener. Jadi di titik-titik ini aku cek, hampir semuanya ada gumuknya. Dan ada juga gumuk yang belum masuk ke sini. Jadi lebih banyak harusnya. Dia itu 905 lah kira-kira, total yang di peta, tahun 1995.
"Ini jurnalnya 2002 Mas. Aku email beliau akhirnya kemarin, coba membuka diskusi. Ternyata surveynya 1995. Ditulis tahun 2002. Dua minggu dia stay di Jember. Nggak tahu, dua minggu itu dia keliling ke mana saja. Tapi dapat peta ini. Ini peta visual pertama dan sampai sekarang masih satu-satunya. Belum ada yang ngupdate. Ini kalau tak overlay ke peta Jember sekarang, hanya tiga kecamatan yang nggak ada gumuknya. Tanggul, Sumberbaru, sama Panti. Sisanya ada semua. Ya Panti kan agak ke atas, di Argopuro. Tanggul di barat. Tanggul mungkin masih ada kemungkinan. Aku pingin cari di Tanggul. Sumberbaru.itu sudah di baliknya. Argopuro juga. Tapi sisanya, seluruh kecamatan ada gumuknya. Hampir menutupi seluruh kawasan Jember. Dan sangat spesifik di Jember. Ini nggak cuma bentuk panjangnya atau nggak. Dia bener-bener ke arah sini, gitu.
"Terus, dia sempat ngitung volumenya Mas. Nah, ngitung volume dibandingkan di tempat lain, itu nomor empat kita.
"Kalau waktu itu kita diskusinya kan cuma Tasikmalaya sama Bandai-san ya.
"Jadi aku juga baru tahu setelah eksplor ini ya Mas ya. Memang harus kayak gini, memang harus diriset khusus ya. Datanya ini nomor empat kita. Dan yang nomor satu dua tiga itu di (benua) Amerika. Nomor satu itu di USA, nomor dua di Meksiko, dan nomor tiga di Chili. Dan itu ada di belahan bumi utara dan selatan. Kita satu-satunya yang di Asia dan di tropis, kalau pakai data ini.
"25 kilometer kubik itu gede banget Mas.Isinya batu itu, 25 kilometer kubik. Dihamparkan ke Jember.
"Aku kemarin sempat ngitung. Tak cobak modelin ya, itu mirip. Aku ketemu 27 kilometer kubik. Dengan ketebalan yang tak itung di lapangan. Jadi, oke gitu. Galunggung saja nomor berapa, nomor enam. Bandai? Nggak ada kayaknya Bandai. Ini kan yang larts ya. Larts. Jadi, lebih dari 5 kilometer kubik. Yang mega avalanches. Nggak masuk malahan (Bandai). Jadi kita nomor satu di Indonesia.
"Jadi kita kan mau nggambarin kejadian yang luar biasanya lah. Kasus yang paling ekstrem."
Saya menyela, "Di seluruh dunia."
"He'em. Jadi ya, kalau mau diklaim se-Asia bahkan bisa. Kalau pakai data ini ya.
"Jadi akhirnya bukan hanya masalah jumlahnya nih. Proses behind itu juga luar biasa."
PERKARA NAMA GUMUK
Kepada Firman Sauqi Nur Sabila, saya bilang seperti berikut ini, tentang betapa kita butuh satu kesepemahaman nama ilmiah dan nama populer untuk menyebut hasil debris avalanches dari collapse Gunung Gadung atau yang lazim ditulis sebagai Raung Purba ini.
"Aku tetap berpikir seperti obrolan kita dua tahun yang lalu. Batuan Berkisah. Bahwa harus ada nama lain, pengganti dari gumuk, dan harus kita sepakati dari Jember. Harus satu. Yang menjelaskan ini output dari proses debris ini namanya ini. Kalau pakai nama adopsi Jawa, gumuk, di Madura menjadi gumok, eeeh, itu.. Orang Jawa, ada gundukan sedikit meskipun sampah, disebut gumuk. Kita harus satu kesepakatan dulu, namanya apa ini. Apakah hummock? Kalau hummock, hummock aja dulu lah. Kita propagandakan itu secara akademis maupun secara hura-hura di tiktok, di mana. Di medsos maksudnya. Tapi dari akademis harus ada ini. Dan itu harus dari Firman aku kira."
Firman tertawa mendengarnya. Ia segera menjawabnya.
"Jadi gini Mas. Itu juga jadi perdebatan. Karena ini termasuk ilmu yang baru ya. Brands ilmu vulkanologi yang baru lah, baru 45 tahun lah (bila dihitung dari letusan Saint Helens pada 18 Mei 1980). Itu juga orang-orang di akademis juga belum sepakat. Ada yang bilang hillock. Tapi karena main frekuensi, lebih banyak yang pakai hummock. Kayaknya sekarang diarahkan ke arah hummock. Meskipun itu nggak ada yang mengatakan kalau nggak pakai hummock salah.
"Kalau di kasus gumuk, ini agak problematis sebenarnya. Kalau bahasa Indonesianya ya. Karena terminologi gumuk itu sudah secara resmi dipakai, dalam menggambarkan pusat erupsi gunung berapi."
"Kalau pakai gumuk garis miring hummock, gimana?"
Kata Firman, nggak masalah.
"Galunggung aja orang nggak pakai gumuk, nyebut bukit itu. Ya bukit aja. Di Cianjur itu juga ada. Itu juga bukit aja. Jadi 'gumuk' itu sepertinya lokal ya, di Jawa. Tapi kalau di bahasa Indonesia, di vulkanologi, istilah gumuk itu merujuk pada kayak kawah itu, gumuk malahan. Kawah Ijen, itu sebutannya gumuk. Kayak puncak dari gunung. Kayak tonjolan gunung itu (disebut) gumuk. Dan itu sudah masuk ke sandi stratigrafi. Sandi untuk menamakan itu. Cuma juga aplikasinya sebenarnya itu nggak rijit Mas, nggak harus pakai itu.
"Orang kalau dalam penulisan akademis di ilmu geologi, itu yang penting konsisten, biasanya. Kalau gumuk, gumuk semua, kalau hummock hummock semua. Jadi ya nggak apa-apa kalau kita mau mengkampanyekan istilah itu.
Sedikit tentang desa Sumberkalong di kecamatan Kalisat.
Sumberkalong memang desa yang ada di ujung paling utara, bila dilihat dari kecamatan Kalisat. Ke utara ia berbatasan langsung dengan desa Sumberwringin di kecamatan Sukowono. Ke arah barat langsung berbatasan dengan desa Sukowiryo di kecamatan Jelbuk. Desa Sumberkalong juga dekat dengan kecamatan Arjasa. Dia menarik bila dilihat dari ilmu geologi. Sebuah desa yang lanskapnya melengkung sebab pernah ditekan secara luar biasa oleh debris avalanches.
"... kan kalau di google maps itu munculnya kan Sumberkalong. Menjadi tempat yang anu berarti kan, kalau di sistemnya maps. Nah ini lho. Jadi ini kan gumuk-gumuknya ya. Ini kan sumbernya di gunung ini, di Gadung.
"Yang namain Gadung itu juga Lee Siebert. Tapi ternyata dia me-reverted peta Belanda. Gadung, yang anaknya ini, yang tengah ini Pajungan. Aku juga ketemu lagi di peta Belanda kuno. Pajungan. Kalau orang lokal malah nggak kasih nama itu. Mereka tahunya raung aja. Satu ini Mas (kelompok) itu disebut raung. Kayak Argopuro itu kan, tahunya Argopuro, gitu. Padahal puncak-puncaknya ada namanya.
"Nah nanti ke barat, nah ini, Sumberkalong ada di sini. Sampeyan coba sekilas lihat yang sebelah sini. Baratnya Sumberkalong atau timurnya. Itu ada kerutan. Arahnya agak miring barat daya timur laut. Ada tiga. Terakhir di jalan raya, jalan Bondowoso - Jember. Jadi tanahnya itu kayak terdorong, ini ada Argopuro, dia melipat-lipat. Kayak kerutan, kayak tangan kita, kerut. Batas timur kerutannya di jalan Sumberkalong itu Mas. Jalan Sumberwringin - Sumberkalong. Batas baratnya, sungai. Sungai jembatan Sukowiryo kecil itu. Batas baratnya lagi jalan raya.
"Mungkin Belanda juga bikin akses itu lagi, sungai, jalan. Itu mengikuti pola-pola kontur si lanskapnya. Kerutannya berhenti di sini. Di Biting.
"Aku kemarin sempat lewat arah terminal Arjasa. Itu masuk ke timur, ada gang kecil di sana. Nanti, masuknya ke balai desa Biting. Kayak ada tanjakan gitu Mas. Ada bukit (terus) turun. Nah itu ujung dari kerutannya. Jadi bukit itu, yang di Biting itu, terangkat. Dia ada di bawah (lalu) terangkat, karena didorong oleh aliran debris tadi."
"Biting sebelah endi?"
"Ngarepe balai desa, Mas. Pertigaan ya, enek anu, ayam. Kalau dari Kalisat, pertigaan Biting itu, balai desa, nanti baratnya balai desa ada gang kecil, sampeyan masuk ke arah Arjasa, ke barat, itu nanti langsung naik."
Apa yang dimaksud oleh Firman Sauqi Nur Sabila tentu yang oleh warga setempat disebut Tenggir. Sebuah gumuk besar di desa Biting. Namanya sama seperti nama dusun di Jelbuk, dusun Tenggir.
Selesai berbincang batas kerutan geologi di desa Biting, kami bicara tentang irigasi di masa Belanda. Mengingat negara yang sangat lama mengisap Indonesia ini punya kecerdasan di bidang irigasi, pembangunan jalan dan jembatan, juga perkebunan.
"...Mutakhir lah waktu itu, Belanda. Karena mereka pemain air. Tapi ternyata kalau aku melihatnya dari sisi geologi, ya kita bisa menagih hutang bahwa pemikiran Belanda, evolusi mereka dalam membuat irigasi itu juga ada dampaknya dari challenge atau tantangan bentang alam di Indonesia. Salah satunya di Jember ini mungkin.
"Jadi kan kalau dari narasi populernya adalah sistem irigasi Indonesia itu berhutang kepada Belanda, karena Belanda dinilai yang bisa membuat (sesuatu) yang bisa kita lihat sekarang. Itu kan yang kita lihat sekarang ya. Populernya lah. Sementara ketika aku belajar mekanisme debris avalanches, terus aku lihat pengaruhnya terhadap bentang alam asli dari Jember itu, harusnya Belanda membangun semua itu, eh karya mereka itu, ada campur tangan alam Jember dalam mengkreasi pemikiran mereka. Alam yang otentik tadi. Karena itu sudah terbentuk sebelum ada Belanda. Si debris itu. Ketika mereka datang, mau nggak mau mereka harus merubah pola pikir mereka kan? Apa yang mereka bisa terapkan di daerah long land kayak di Amsterdam, di Batavia, datang ke sini (Jember) mungkin daerah yang berbukit-bukit, gimana caranya saya meng-engineer atau merekayasa si sistem irigasi di daerah seperti itu. Harusnya itu dikulik. Bahwa suksesnya pembangunan irigasi di Jember yang nanti menciptakan perkebunan segala macam, ada dampak langsung dari otentitas alam Jember (yang) berupa gumuk-gumuk itu. Sehingga mereka sampai di limit itu Belandanya. Sehingga tadi kalau kita ngomong kita berutang kepada Belanda, harusnya kita bisa juga menagih hutang.
"Kayak misalkan, di selatan itu banyak namanya.. Aku nggak tahu ya nama Belandanya, ada sungai yang masuk ke bawah jalan. Terus ada DAM yang dia dicabangkan menjadi tiga. Itu banyak elemen-elemen konstruksi yang kayaknya menyesuaikan bentang alamnya. Lanskapnya. Jadi itu sih Mas. Aku melihatnya begitu. Jadi, kita bisa menjual itu. Narasi itu. Itu nggak ada di Belanda, gumuk. Bentang alam seperti ini."
Saya menaggapi Firman, begini.
"Kalau mau ngomong gumuk, komparasi Belanda, aku harus ngomong hutan dulu." Saya mencoba menjelaskan bab ini kepada Firman, dengan pelan dan diselingi canda.
Ditambahkan oleh Muhammad Iqbal dari Sudut Kalisat, dia bilang, "Tapi itu yang tadi itu kayak Belanda itu mirip-mirip, mungkin kasusnya kayak mirip waktu 65, terus Jakarta itu jadi metode gitu (Metode Jakarta). Mirip-mirip gitu mungkin ya, konsepnya ya."
"Ya, ya." Kata Firman. "Gini aja Mas. Kayak misalkan aku ya, aku sekolah di ITB ya. Ya aku berhutang kepada ITB, karena bukan masalah gelarnya tapi aku menemukan alat, sampel-sampel, yang bisa aku uji, yang kemudian (aku bisa) mengembangkan pemikiranku kan, untuk mensintesakan disertasiku, misalkan.
"Sama. Belanda itu datang ke sini, mungkin dengan pemikiran sederhana tentang irigasi. Tapi mereka berevolusi pemikirannya. Karena mereka mendapatkan challance yang justru membuat ia berhasil dihadapi, yang di situ membuat mereka menemukan hal-hal baru. Tadi. Sistem-sistem yang coba aku jelasin tadi."
"Jadi, Metode Jakarta kan dipakai di Chili ya." Ujar Iqbal.
"Betul," jawab Firman Sauqi. "Jadi ada sisi hutang, apa ya. Belanda berhutang kepada kita tapi bukan manusianya tapi ke alamnya. Ke alam Jember ini. Itu maksudnya. Itu kan bisa 'dijual' narasinya. Bahwa tanpa gumuk-gumuk di Jember mungkin sistem irigasi modern nggak akan pernah secepat ini perkembangannya. Nah, gitu lah, kalau ditarik.. Misalkan Jember ini datar dan nggak ada bentang alam otentik tadi. Mungkin dunia dalam melihat irigasi nggak kayak sekarang. Dan itu menjadi elemen di dalam sejarah. Pernah terjadi, maksudnya.
"ya kenapa sekarang salah satu brand Jember perkebunan kan. Berarti kan, di balik majornya perkebunan di Jember, ada pengorbanan R & D lah, kalau bahasa sekarang. Research and Development. Berdarah-darah mungkin sebelumnya. Karena diniatkan menjadi perkebunan.
"Misalkan negara Indonesia bikin IKN gitu ya. Itu kan nggak simpel langsung jadi. Ada banyak pengorbanan di situ. Nah ini, di balik perkebunan yang banyak di Jember, menjadi icon, ada proses yang terjadi sebelumnya. Ya kayak challance tadi. Yang mana sekarang si otentik lanskap tadi, atau yang kemudian menjadi pemicu utama evolusi itu terjadi, itu terancam sekarang. Nah pesannya di situ.
"Aku sempat ini, kepikiran nih Mas Hakim. Banyak orang yang, nggak tahu ya kalau di Jember sekarang gimana. Banyak orang yang pingin menyelamatkan gumuk. Nggak pingin gumuk itu hilang. Cuma mungkin tidak banyak yang paham secara kolektif kenapa kok gumuk nggak boleh hilang?
"Padahal kalau mereka tahu bahwa ada dampak ke perspektif budaya, ke perspektif ekologi, perspektif irigasi, dan lain-lain, ada banyak alasan akhirnya. Ada banyak alasan untuk menyelamatkan gumuk daripada alasan untuk menghilangkan gumuk.
"Kalau sekarang sama, fifty-fifty kan. Alasannya orang yang menyelamatkan itu karena konservasi, yang menambang karena ekonomi. Fifty-fifty. Tapi kalau kita mencari lebih banyak alasan untuk menyelamatkan, bukan hanya konservasi tapi dia punya banyak peran, menawarkan ekonomi yang lain, atau (menawarkan) pemikiran, bahkan, mungkin hasilnya akan berbeda."
_____
Poin perjumpaan malam itu bersama Dr. Firman Sauqi Nur Sabila S.T., M.T. bila direspon secara kolektif oleh Sudut Kalisat, ia menghasilkan hal-hal sebagai berikut.
1. Mengulang perbincangan di Kedai WTC pada 12 November 2025 tersebut dalam forum kecil di ruang ingatan, Kalisat. Maka lahirlah rencana diskusi yang kemudian diberi nama 'Dipeluk Gumuk Hidup-hidup.' Ia menjadi bagian dari series membaca kenangan. Dilaksanakan pada Rabu malam, 19 November 2025
2. Menyelipkan ide gumuk pada Olby Gigs di Sudut Kalisat, 14 November 2025 dalam bentuk pembacaan teks 'Manifesto Gumuk.'
Selanjutnya, poin tiga, empat, dan lima akan dibicarakan pada series membaca kenangan 'Dipeluk Gumuk Hidup-hidup' yaitu sebagai berikut.
3. Menawarkan narasi baru bahwa teori gumuk hanya ada di tiga tempat di dunia, hasil collapse Gadung atau Raung Purba, Galunggung Purba, dan Bandai, terpatahkan oleh hipotesis hasil survey dari Lee Siebert. Itu berpijak pada peristiwa letusan Gunung Saint Helens di Skamania County, Washington, Amerika Serikat pada 45 tahun yang lalu.
Dengan demikian, ada hal-hal yang harus saya perbaharui seusai diskusi, termasuk membincang ulang lirik lagu tamasya band yang berjudul GMK. Di sana ada lirik 'hanya ada tiga di dunia.'
4. Dari poin nomor empat, narasi yang kita tawarkan kepada publik kemudian sebagai berikut ini.
a. Dari segi volume material longsoran purba di Jember, mencapai kurang lebih 25 kilometer kubik. Menempatkan Jember secara geologi menjadi nomor empat terbesar di dunia, setelah Gunung Shasta di Amerika Serikat, Nevado de Colima di Meksiko, dan Socompa di Chili. Ada di urutan keempat dunia dalam hal peristiwa akbar fenomena debris avalanche, sama artinya Jember adalah satu-satunya di Indonesia dan satu-satunya di Asia, di urusan fenomena longsoran vulkanik
b. Bila dilihat dari segi luasan sebaran gumuk di Jember yang mencakup kurang lebih 1045 kilometer persegi, kita berada di posisi kedua dunia, kalah dari Socompa di Chili.
5. Gumuk sebagai bentang alam asli Jember, bersifat otentik, tidak hanya membentuk dan mempengaruhi pemikiran dan hasil budaya masyarakatnya, melainkan ia juga pernah menjadi pemicu utama keberadaan perkebunan swasta di Jember hingga pernah menjadikan kota ini sebagai icon kota metropolitan perkebunan Indonesia hingga pemula 1930an. Selain itu, ia adalah pemicu modernisasi Belanda di bidang irigasi.
Lain-lain. Di poin lain-lain, masih ada dua poin. Sebut saja poin enam dan tujuh.
6. Mengikuti hasil manifesto gumuk di poin nomor dua, yang salah satu isinya berbunyi, "Mengistirahatkan proses 'Macan Ingatan' hingga hanya menjadi sebuah unit narasi, dan menghidupkan kembali cita-cita pameran berjudul, Angin kan membawamu pulang." Maka dengan ini rencana tahunan Kalisat tempo Dulu 11 membawa tema gumuk sebagai pemecah angin dan lain sebagainya, dalam tagline 'Angin kan Membawamu Pulang.'
7. Selesai diskusi 'Dipeluk Gumuk Hidup-hidup,' segera memproduksi tulisan, lagu, dsb, juga memulai riset yang berhubungan dengan gumuk, dan bila perlu merancang kehadiran sebuah buku yang dapat menjelaskan secara mudah.
Sekian catatan blog tamasja di hari ini. Terima kasih.

0 comments