Luka Mereka Luka Kita Semua

by - November 30, 2025

Saya bangun pukul tiga dini hari. Hana juga. Itulah kenapa kami kemudian memutuskan untuk belanja ke Pasar Tradisional Kalisat. Motor supra saya parkir di halaman rumah pasutri Ahmad Hafid Hidayaturrahman dan Novia Suryandari di timur kawedanan. Sebagaimana salah satu fungsi pasar tradisional, di sana kami berdua terlibat interaksi sosial. Saling menyapa, saling bercakap-cakap sejenak, bahkan meskipun sebenarnya kami hanya kenal wajah, atau justru tidak kenal. Memang seperti itu pasar tradisional, ruang publik dan ruang jumpa bagi produsen dan konsumen, tanpa perantara tengkulak. Konsep ini kini dipakai juga oleh pasar modern di dunia maya, semacam shopee. 

Hana hanya beli serabi asin, mangga gadung, dan alpukat. Lebih lama jalan-jalannya daripada memutuskan untuk beli apa. 

Ada sesuatu yang baik yang saya dengar dari sekian celotehan di pasar. Di antaranya tentang peristiwa bencana Sumatera, yaitu di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Peristiwa pilu itu dibicarakan juga di pasar ini, diungkapkan dalam bahasa Madura logat kalisatan yang sangat fasih. Bermodal apa yang mereka lihat di media sosial, mereka peduli. Dengan segala keterbatasannya, mereka ingin turut berbagi.

Tepat pukul 04.00 WIB, sudah banyak pedagang di pasar kaget (mereka yang tumpah ruah di tepi JL. dr. Wahidin Kalisat) yang pamit pulang. Ada yang terburu untuk subuhan, ada yang siap-siap menjajakan kembali dagangannya di kampung-kampung dan perumahan, ada yang memang harus segera pulang untuk urus masalah domestik. Sebagai konsumen, saya dan Hana juga pulang pada pukul empat. Ketika parkir motor di ruang ingatan, rupanya anak-anak belum tidur. Kami ngobrol sejenak, lalu kembali pulang ke rumah agar mereka punya waktu untuk istirahat.

Setelah beres-beres, saya buka laptop. Duduk. Minum kopi. Saya terngiang dengan celotehan-celotehan itu. 

"Dekremmah pemerintah reh. Ding la bencana engak riah, apalpal colok'en. Se begini se begitu. Tapeh mon aberik izin ka reng gi-sogi se arosak alas, mak gempang gelluh." 

Mereka tentu sudah melihatnya di medsos, entah di YouTube entah di Tiktok atau melalui aplikasi lain, tentang kayu-kayu log dari hasil menggunduli hutan untuk perluasan lahan perkebunan dan atau tambang, Mereka tentu juga mengerti tentang apa itu siklon tropis, penyebab keadaan cuaca yang sangat ekstrem, terutama di tiga provinsi di Indonesia barat, yaitu di Provinsi Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Ia adalah sebuah fenomena alam di atmosfer yang membentuk pola spiral yang begitu kencang. Meski demikian, tepat di tengah pola spiral itu tekanan udaranya justru rendah. Dia ibarat medan magnet bagi sekumpulan awan. Bisa dibayangkan bila sekumpulan awan itu kemudian menghasilkan hujan berhari-hari. Itu masih satu siklon. Sedangkan yang terjadi di Indonesia barat itu adalah bertemunya dua siklon.

Ada saya baca di BMKG, ia terdiri atas siklon tropis senyar dan siklon tropis koto. Dua siklon itu tampak mengepung utara Pulau Sumatera.

Jika melihat dua siklon tropis tersebut, sudah sepantasnya ia disebut sebagai bencana alam. Namun ia juga tentang kelalaian negara yang tak serius urus deforestasi, pembukaan lahan dan illegal logging. Sebaliknya, penyelenggara negeri ini justru memberi kemudahan pada izin-izin pertambangan dan pembukaan lahan hutan untuk dijadikan perkebunan. Terutama perkebunan kelapa sawit. Ia membuat ekosistem rusak, dan masyarakat tak punya kuasa atas ruang hidupnya sendiri. Hukum tidak sedang memayungi mereka. 

Semua yang terjadi di negeri ini, segala akrobat politik yang ditunjukkan oleh para pemimpin kita dari semua level, mengingatkan saya pada ucapan seorang penambang gumuk asal desa Sumberkalong, Kalisat. Rasi Wibowo namanya. Saat itu Jumat malam, 23 Maret 2018, hari pertama perkenalan kami. Dikenalkan oleh Mas Nur Riyono. Di perkenalan perdana itu Pak Rasi bilang kepada kami, kira-kira seperti ini

"Kalau menambang gumuk asal menambang, tidak dipilah dan dipilih, tidak melibatkan masyarakat setempat, hanya yang penting mendapatkan hasil, wah bisa punah gumuk-gumuk di Jember. Ketika itu terjadi, tunggulah. Bencana pasti akan datang. Entah berupa badai, entah banjir." 

Di bawah ini adalah foto ketika kali pertama berjumpa dengan Pak Rasi Wibowo. Gambar agak buram karena pakai kamera depan. 


Foto lama, 23 Maret 2018


Mulanya sulit bagi saya untuk mencerna kata-kata dari pelaku pertambangan gumuk itu. Tapi kemudian dia buka suara. "Saya ini sekolahnya tidak tinggi. Apa-apa saya pelajari secara otodidak. Kenapa kemudian saya terjun di dunia tambang? Dulu saya berpikir, kalau bukan saya sendiri yang beli alat berat dan menjadi penambang, akan datang orang lain entah dari mana yang menambang gumuk-gumuk di sini. Mereka tentu bisa dari Jakarta, bisa dari Surabaya, bisa dari Tasikmalaya dan sekitarnya, bisa dari Pulau Bali, bisa dari kota sebelah, yang tidak punya ikatan emosional dengan gumuk-gumuk di sini. Bisa pukul rata itu nanti."

Sejak hari itu, saya dan para gen-z Sudut Kalisat kerap silaturahmi ke rumahnya dan melakukan diskusi tentang lanskap Jember, mulai dari puncak gunung, gumuk-gumuk, aliran sungai, hingga wilayah pesisir di Jember selatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. 

Fungsi gumuk menurut Rasi Wibowo. 

1. Punya nilai ekonomi
2. Pasir dan batuannya bisa menyokong pembangunan
3. Gumuk adalah lahan miring yang juga dapat dijadikan ladang 
4. Bisa menahan laju angin dari empat arah mata angin
5. Menyimpan cerita-cerita rakyat yang cerita itu dari warisan leluhur
6. Tempat hidup bagi flora dan fauna 
7. Lazim dijadikan tempat pemakaman umum
8. Bisa menjadi penjaga sumber mata air dan baik bagi sumur-sumur para pemilik rumah di sekitar gumuk
9. Simbol sebuah kota bernama kabupaten Jember
10. Batu piring dari hasil gumuk-gumuk di Jember adalah yang paling indah di dunia ekspor. 

Pak Rasi punya mimpi untuk ekspor batu piring khas Jember yang dalam proses sudah jadi. Tidak melulu ekspor bahan mentah saja. Sayang dia tidak memainkan ceruk pasar itu sebab terkendala modal. 

Dulu dia sangat percaya, gumuk di Jember tidak mungkin punah. Cukup untuk sebanyak-banyak kebutuhan, bahkan cukup dalam waktu lama memberi stok batu kricak pada Kereta Api Indonesia. Tapi setelah Jember memiliki PT. Imasco Tambang Raya yang bergerak di bidang semen untuk semen Singa Merah, dan sejak mereka membutuhkan bahan dasar clay untuk campurannya, ia mulai berpikir, bisa saja gumuk-gumuk di Jember ini hilang. Semuanya. Dalam waktu singkat dan tak butuh satu abad untuk mewujudkannya. 

Selain banjir, potensi bencana alam di Jember adalah karena angin. 

Jember diapit oleh empat pegunungan dari empat arah mata angin. Di sebelah barat laut terdapat Pegunungan Hyang dengan puncak tertingginya adalah Argopuro, 3088 meter. Sebelah timur laut terdapat Pegunungan Ijen juga jajaran Raung. Di sebelah tenggara terdapat Pegunungan Mayang dan Betiri. Lalu di sebelah barat daya terdapat Pegunungan Grinting (Watangan, Sadeng dan Manggar). Belum lagi di sebelah selatan, selain gunung dan pegunungan, ada Samudera Hindia. Ada saya baca catatan ini dari Arsalu Alifia Syadzuli, buah hati arkeolog partikelir Jember, Imam Jazuli. 

Ancaman angin tentu nyata bagi sebuah kota bernama Jember.

Jika merujuk pada catatan kolonial, bahkan meskipun kita punya benteng alami berupa gumuk yang bertebaran, peluang akan adanya angin topan masih ada di Jember. Namun daya rusaknya lebih kecil dibanding hari ini. Saat itu ada tiga hal yang menjadi ukuran kolonial, yaitu tentang ancaman banjir dan angin, tata kelola ekosistem yang telah luar biasa mereka rusak, dan yang terakhir mempercayakan para insinyur mereka untuk urus tata ruang dan tata irigasi. Seharusnya sekarang kita sudah bertingkat-tingkat lebih baik dari pada masa penjajahan, sebab kita sedang mengelola negeri sendiri. Pada kenyataannya tidak demikian. Ada kuasa modal di sana. Ada kelalaian hukum pada lingkungan dan masyarakatnya, dan ada pembiaran. Belum lagi elit politik juga ikut bermain-main di dalamnya. 

Penambang gumuk pun, bila tak punya modal besar, dia hanya akan menjadi bulan-bulanan pejabat level paling bawah hingga urusan banpol alat negara. 

Hati ini pilu merasakan apa yang terjadi di Pulau Sumatera. Ia adalah luka kita bersama, meskipun Presiden Prabowo tak segera menaikkan level peristiwa pilu itu sebagai Bencana Nasional. 

Tulisan ini memang berangkat dari pasar tradisional, lalu celoteh-celoteh akar rumput, lalu empati pada apa yang terjadi di Pulau Sumatera, lalu tentang Pak Rasi Wibowo warga desa Sumberkalong, lalu memperhatikan gumuk-gumuk di Jember sebagai pemecah angin alami. Tidak berurutan, khas catatan blog personal. Tapi semoga ada sesuatu yang bisa direnungkan meskipun hanya sedikit. 

Karena tulisan ini terdiri atas lebih dari satu persimpangan gagasan, saya tak punya ide bagus untuk bikin judul. Maka ia saya ambilkan dari potongan lirik Marjinal, luka kita. 

Terima kasih. 

TAMASJA NET

0 comments