JEMBER: Tanah Basah yang Ditaburi Gumuk

by - November 11, 2025

 


Seminar Lanskap Bercakap di Ruang Soeharsono Fakultas Hukum Universitas Jember 

Kebutuhan utama sebuah daerah adalah pemikiran. Sedangkan pemikiran seringkali tumbuh dari peristiwa bercakap-cakap. Dalam sebuah percakapan sendiri, tentu ada potensi debat. Bila memperhatikan judul seminar, kita mafhum bahwa yang sedang dipercakapkan adalah sebuah lanskap, dan dipilihlah Jember sebagai arenanya. Dia akan dipandang secara lokal hingga global. Begitu cara saya memahami judul seminar ini. Untuk itu, izinkan saya bercerita tentang lanskap Jember secara singkat, semampu yang saya bisa.

Lanskap Jember. 

Bila menggunakan pisau bedah geologi, nama kota ini telah cukup menjelaskan tentang siapa dirinya. Jember artinya tanah yang basah, berawa-rawa. Di bukunya yang terbit tahun 1931, berjudul ‘Nama-nama geografis Jawa sebagai cerminan lingkungan dan cara berpikir masyarakatnya,’ C. Lekkerkerker menyebut bahwa Djember artinya kotor, jorok, dari tanah basah. Di sana juga diberi penjelasan bahwa penduduk lebih suka mendapatkan nama itu dari ‘djembar,’ dataran luas, lapang, luas; namun, kata umum untuk luas adalah Amba, yang juga muncul sebagai nama tempat dan bagian darinya. 


JEMBREK adalah kunci, selain nama ‘Jember’ itu sendiri. Diksi jembrek bisa kita jadikan pintu masuk untuk memudahkan ingatan kolektif dalam mengenal sejarah Jember. 


Sebagai catatan, Jember yang kita kenal sekarang ini adalah nama sebuah kabupaten di Jawa Timur. Sedangkan Jember yang tertuang dalam buku Lekkerkerker tersebut adalah Jember wilayah kota. Dulu kabupaten Jember juga memiliki sebuah kecamatan bernama kecamatan Jember. Lalu pada 1976 ia dipecah menjadi tiga kecamatan; Patrang, Sumbersari, Kaliwates. Tak heran bila di pusat kota Jember masih ada nama-nama lingkungan seperti Jember Lor dan Jember Kidul.

Sejak dibukanya Jember sebagai ruang investasi bagi perkebunan swasta pada 1856 yang dimulai dari jalur Sukowono – Kalisat, hingga dilaluinya kota ini oleh rel kereta api, lanskap yang tadinya tertidur pulas paska konflik politik kerajaan yang berkepanjangan selama limaratus tahun, ia akhirnya terbangun dan menggeliat. 

Poin-poin itulah yang suka kami (Sudut Kalisat) telusuri selama tiga tahun terakhir melalui batuan berkisah, dara memeta kota, dan lanskap bercakap. 

Kembali ke Jember, Jembrek, tanah basah yang berawa-rawa. Mengapa kemudian kita melupakannya? Berikut ini saya ambilkan dari catatan Broersma. 

Di sebuah buku setebal 120 halaman berjudul ‘Besoeki, een gewest in opkomst’ yang diterbitkan tahun 1913, di Bab 3 yang mengusung tema ‘Dalam kondisi budaya tembakau,’ penulis (Dr. R. Broersma) menjelaskan Jember yang secara asal-usul bermula dari lumpur dan rawa, kelak ingatan akan asal-usul itu menjadi hilang karena keberadaan perkebunan tembakau. 

“Kata ‘djember’ berarti lumpur, rawa. Tak ada lagi sebidang tanah di wilayah Djember yang mengingatkan akan asal-usul nama itu; budidaya tembakaulah yang telah menghapus jejak asal-usulnya.”

Berkembangnya Jember sebagai kota metropolitan perkebunan di akhir abad ke-19 membuatnya mengalami ledakan penduduk melalui para pendatang. Penyelenggara daerah butuh mengembangkan pemukiman baru, desa-desa baru. Rupanya cara yang dipilih saat itu untuk melipatgandakan desa-desa di Jember adalah dengan mengikuti perkembangan lumbung tembakau, seperti yang ditulis dalam buku ‘Besuki, Wilayah yang Sedang Bangkit.’ 

“Pada tahun 1884, terdapat beberapa usaha besar dan kecil di distrik Jember. Setiap kali lumbung tembakau baru dibangun, sebuah desa baru terbentuk di sekitarnya. Dalam dua puluh lima tahun, jumlah desa meningkat lebih dari tiga kali lipat.”

Pada tahun 1845 daerah Jember hanya terdiri dari 36 desa, namun pada tahun 1874 berkembang menjadi 46 desa (Regering Almanak, 1874). Lalu pada tahun 1883 berkembang lagi menjadi 117 desa. Di tahun-tahun berikutnya jumlah desa terus bertambah karena banyaknya pemecahan desa.

Dengan konsep pemukiman dan desa-desa baru yang mengikuti perkembangan lumbung tembakau, tak heran bila ada banyak desa yang memiliki nama yang sama dengan nama desa di kabupaten sekitar. Apalagi budidaya perkebunan kemudian berkembang dan tak hanya terfokus pada tembakau. 


GUMUK 


Jember adalah sebuah kota yang dibentuk oleh hutan purba dan rawa-rawa. Disempurnakan oleh collapse Raung Purba sisi selatan, maka jadilah Jember sebagai sebuah lanskap hutan-hutan purba dan rawa-rawa yang ditaburi debris avalanches, hingga membentuk Jember seperti sekarang ini. Ia kaya gumuk, jejak material erupsi Gunung Purba yang secara geologi hanya ada di tiga tempat di dunia; Jember, Tasikmalaya, dan sebuah lanskap di Jepang.

Gumuk sendiri merupakan sebuah kisah yang panjang. Mari kita pikirkan saja mengapa gumuk itu menjadi penting untuk Jember. Dia bukan hanya icon, tak hanya situs ekologi milik dunia, bukan sekadar penghias lanskap, pemecah angin alami, ruang hidup bagi keanekaragaman hayati, tapi gumuk juga punya peran sebagai penyimpan memori kolektif masyarakatnya. Memori kolektif tentang apa? Bisa tentang apa saja, mulai dari perang gerilya, perubahan ekosistem, perkembangan perekonomian dengan geliat tembakau, ketokohan, hingga ingatan masa kecil seseorang. Menjadi masalah mendasar adalah kenyataan bahwa situs ekologi milik dunia itu tak dilindungi dengan baik oleh negara, baik melalui regulasi maupun payung hukum yang lain. Alhasil, segala ingatan kolektif tersebut berpacu dengan massifnya eksploitasi dengan proses pembangunan Jember yang katanya maju. 


Jember, tanah basah yang ditaburi gumuk, dia tumbuh secara modern oleh perkebunan dan pertanian di masa Hindia Belanda. Lanskap perkebunan ini kemudian melewati tahapan sejarah mulai dari invasi Jepang, Perang Indonesia – Belanda 1945 – 1949, Sinterklas Hitam hingga nasionalisasi perusahaan asing, masa-masa 1965 – 1967, dan seterusnya. Ia membuat Jember terus menerus ada dalam intaian bahaya laten konflik agraria. Masih segar dalam ingatan kita tentang konflik agraria yang berkepanjangan di Ketajek. Belum lagi ancaman tambang emas di Blok Silo pada tujuh tahun lalu, juga di Taman Nasional Meru Betiri wilayah Jember yang tentu saja memiliki potensi bahaya laten seperti di Blok Silo, dan lainnya.

Narasi ini lahir bukan untuk kampanye anti segala bidang tambang, namun lebih ke mempertanyakan, masih adakah harapan pada sebuah kata bernama adil? Masih adakah harapan untuk kita bisa memanfaatkan SDA sesuai dengan batas kebutuhan saja? Apakah bila di sebuah kota terdapat fakultas hukum, maka kota tersebut akan otomatis menjadi adil? Saya kira, keadilan hanya tercipta bila kita sendiri yang berbuat adil. 

Terima kasih.

TAMASJA NET

0 comments