Sejarah SMA 10 Nopember di Kalisat

by - November 10, 2025


Foto oleh Satriyo Budi Darmawan, 4 November 2017

Catatan berjudul 'Sejarah SMA 10 Nopember di Kalisat' ini pernah terbit di Fanpage Facebook Sudut Kalisat pada delapan tahun yang lalu. Terbit dalam tiga series. 


SEJARAH SMA 10 NOPEMBER di KALISAT


Oleh: RZ Hakim 

Suatu hari pada 4 Januari 2017, dengan diantar oleh Satriyo Budi Darmawan, saya dan Hana melangkahkan kaki memasuki halaman SMA 10 Nopember, sebuah SMA tertua di Kalisat yang menginspirasi berdirinya sekolah lain. Di sana Pak Djoko Pontjo Hardani alias Pak Cuk telah menanti kehadiran kami. Pak Cuk tidak lain adalah Ayah dari Satriyo Budi Darmawan, rekan saya.

 Mula-mula, ini yang dikatakan Pak Cuk.

"Mohon maaf kami tak punya arsip foto-foto lama sekolah ini. Paling-paling, foto terlama yang kami pegang ya tahun 2010 Mas, itupun dipegang sama Pak Umar. Hari ini Pak Umar tidak masuk. Seandainya sampeyan itu datangnya tidak mendadak, mungkin kami bisa mempersiapkan beberapa hal, data-data fisik. Pada saat ini saya sulit untuk mencarinya. Ada foto-foto tapi foto baru, kan nilai sejarahnya kecil, Mas."

Ya, kiranya kami memang datang mendadak. Waktu itu kami ingin sekali menampilkan foto-foto sekolah yang kerap disingkat sebagai SNOP ini, untuk kebutuhan acara KTD 2, Kalisat Tempo Dulu. Sebab KTD tahun lalu mengusung tema bidang pendidikan di kecamatan Kalisat. Percakapan ini kami hadirkan kembali, untuk menghormati para lulusan SNOP yang hendak bikin reuni akbar pada 24 Desember 2017 nanti. Semoga ada manfaatnya meskipun mungkin tidak banyak.


Kisah dari Pak Cuk Bermula dari Kejadian di SMA FIP di Jember Kota.

"Pendiri dari SMA 10 Nopember ini ada tiga orang, dan dari tiga orang ini yang hidup tinggal saya. Siapakah beliau? Satu, Bapak Drs. Achmad Sudjio. Beliau adalah dosen FKIP. Dulu namanya dosen FIP, Fakultas Ilmu Pendidikan. Ia merangkap sebagai guru SMA FIP.

"SMA FIP itu adalah SMA swasta yang merupakan laboratorium dari Fakultas Ilmu Pendidikan, FIP. Di Unej waktu itu belum ada Fakultas Eksak atau Fakultas TI. TI cuma satu yaitu Fakultas Pertanian. Belum ada FKG, belum ada Teknik, belum ada Kedokteran, pokoknya belum ada eksak kecuali Pertanian, dan saya mengajar di Fakultas Pertanian Unej. Waktu itu masih belum dosen tapi asisten.

"Nah, karena SMA waktu itu harus mempunyai jurusan ilmu pasti, maka saya mengajar di sana. Saya jadi guru SMA FIP, lalu kenal sama Pak Djio, walaupun sebelum menjadi guru, kami sudah kenal lama karena dia juga tetangga saya.

"Pak Djio itu sudah Almarhum pada beberapa bulan yang lalu. Dia adalah guru olahraga di SMA FIP dan sekaligus dosen di Unej.

"Satu lagi adalah tokoh pendidikan di Kalisat, namanya Pak Sudahlan.

"Mengapa beliau saya katakan tokoh pendidikan? Karena beliau itu diberi tugas oleh kecamatan untuk mendidik Ibu-ibu PKK. Dia terbilang akrab dengan Ibu-ibu di desa-desa di seluruh kecamatan Kalisat. Dia pun juga guru PKK di SMA FIP. Nah, jadi ketiga pendiri SMA 10 Nopember ini, ketiga-tiganya adalah guru di SMA FIP."


Pak Cuk adalah seorang insinyur pertanian. Namun ketika proses pembuatan SMA 10 Nopember, Pak Cuk masih asisten, belum insinyur.

 
"Saya di SMA FIP itu diberi jabatan sebagai Pembantu Wakasek Kurikulum. Pembantu lho ya, bukan Wakasek Kurikulum. Apa tugas saya di sana? Tugas saya di sana itu ya menyiapkan kurikulum, termasuk soal-soal kurikulum dan seleksi masuk SMA FIP."

 
SMA FIP pada waktu itu adalah pilihan kedua dari lulusan SMP yang tidak diterima di SMA Negeri.


"Yang tidak diterima, ya masuk SMA FIP. SMA Negeri di Jember waktu itu hanya ada dua. SMA Negeri 1 Jember dan SMA Negeri 2 jember saja.

"Sastra itu berdirinya bersamaan dengan SMA FIP. Sastra dulu ya di sana.

"SMA FIP menampung seluruh lulusan SMP di Jember, tidak hanya di kota, tapi juga yang desa-desa, termasuk yang dari Kencong, Ambulu, Kalisat, dan lain-lain. Ada sih SMA swasta lain waktu itu, seperti SMA Kartika milik Kodim. Itu biasanya menampung putra-putranya tentara yang tidak diterima di SMA Negeri. Kalau kami di SMA FIP, biasanya menampung putra-putrinya pegawai negeri, guru, dan sebagainya, sehingga SMA FIP ketika baru didirikan sudah menerima banyak calon siswa.

"Kami hanya menerima tiga ruang kelas untuk calon siswa baru, yang masing-masing ruang itu hanya boleh diisi maksimal 40 siswa, maka kapasitas terima kami 120. Yang daftar 400. Jadi ada seleksi.

"Suatu saat ada pengumuman. Nah, saya sebagai asisten wakasek bagian kurikulum, itu menjadi tugas saya untuk mengatur dan menerima calon siswa. Nah, sambil menerima daftar ulang itu, saya melihat ada yang menangis. Saya pribadi yang melihatnya. Ditunggu sama ibunya. Saya kira sakit. Lalu saya datangi."



 SMA 10 NOPEMBER Lahir karena Air Mata Anak Kalisat

 

"Bu, kalau anaknya sakit, itu ada ruang UKS."

"Enggak Pak, ini nggak sakit."

"Lho kenapa?"

"Anak saya tidak diterima Pak."

"Yang lainnya banyak juga yang diem, ndak nangis. Pokoknya wajah-wajah susah itu banyak. Bayangkan, yang diterima cuma 120, yang mendaftar 400 lebih.

"Ternyata setelah saya tanya, lho sekolah kan masih banyak."


Lalu Pak Cuk menyebut nama-nama SMA tua di Jember yang ada pada waktu itu.


"Dari mana sih asalnya?"

"Saya dari Kalisat, Pak."

"Ya di Kalisat kan banyak sekolah SMA."

"Kalau di Kalisat ada Pak, mengapa saya ke sini?"

 

Pak Cuk tentu terkejut dengan jawaban itu. Lalu ia bertanya. "Lho, kecamatan Kalisat ndak punya sekolah SMA?"

"Nggak ada Pak."


Kemudian dirubunglah ia oleh orang-orang yang lain dari Kalisat, temannya anak yang tidak diterima itu.


"Jadi Kalisat itu nggak ada sekolah SMA-nya?

"Nggak ada Pak.

"Tolonglah Pak, diterima anak saya, Pak."

"Aduh, saya nggak bisa memutuskan, Buuu... Paaak.. Masalahnya ini sudah diumumkan seperti ini."

"Habis ini kemana anak saya harus sekolah?"

"Ya gimana Bu.. Ya harus diterima nasibnya anaknya. Ya gimana lagi."


Lalu dengan berat hati, Pak Cuk meninggalkan kerumunan itu. Ia melangkahkan kaki sambil tak henti berpikir.

 
"Kemudian, Pak Djio lewat. Dia bertanya, kenapa saya dirubung orang. Maka berceritalah saya.

_____

"Habis ini kemana anak saya sekolah, Pak?" Tanya seorang Ibu asal Kalisat yang putrinya menangis sebab tak diterima di SMA FIP Jember. Pak Cuk diam, merenung. Ia baru tahu bila saat itu di kecamatan Kalisat belum ada sekolah SMA. Tak lama kemudian, Pak Cuk meninggalkan Ibu yang sedih itu, dan meninggalkan pula orang-orang yang mengerubunginya. Ia menjauh sambil berpikir. Hingga kemudian berjumpa dengan Pak Djio. 

"Opo Pak Cuk, kok dikerubung."

"Ngene Pak. Arek iku teko Kalisat, gak diterimo."

"Terus sampeyan dikerubung-kerubung ngono iku?"

"Gak diterimo, Pak."

Perbincangan pendek yang kemudian berlalu. 

Adalah Pak Khusnul, Kasek kurikulum. Orangnya teges, disiplin. Ke sanalah Pak Cuk, mencoba komunikasi, siapa tahu anak Kalisat itu masih bisa ditampung di SMA FIP.

"Ndak bisa! Itu sudah keputusan. Nek carane koyok ngono, nanti bagaimana yang lain?" 

Waktu itu Pak Djio ada di samping Pak Cuk. Karena perjumpaan dengan Pak Khusnul tidak membawa hasil --dan memang tidak adil rasanya bila diterima--, mereka berdua melangkah keluar. Sambil berjalan pelan, Pak Djio berkata kepada Pak Cuk.

"Yo'opo Pak Cuk, nek awak dewe nggawe sekolah ae nang Kalisat?" 

Itu yang dikatakan Pak Djio, di suatu hari tahun 1978, ketika SMA FIP Jember telah berumur enam tahun.

"Aduh nek iku Pak Djio, aku gak ngerti carane."

"Ngene Pak Cuk.. Pak Dahlan iku kan teko Kalisat. Ayo bagi tugas. Aku tak ngurusi surat-surat persyaratane."

Ke Genteng Kali, Surabaya. 

Waktu itu SMP/SMA diatur oleh Propinsi. Dan sekarang juga diwacanakan seperti itu. Nah ketika ada Otoda, seluruh kegiatan pendidikan kecuali ujian-ujiannya itu kan diurus oleh kabupaten. Waktu itu belum ada Perda. Jadi ya Propinsi. Nah, Dinas Pendidikan Propinsi itu tempatnya di Genteng Kali, Suroboyo. Di dekatnya Siola. 

Nah Pak Djio waktu itu bilang, "Pokok'e Pak Cuk, aku sing ngurusi surat-surate, ijin-ijine, sampai di Dinas Pendidikan Jember. Nah sampeyan siap-siap ngurusi kurikulum."

"Jadi tugas saya itu Mas Hakim, ya nggolek guru, kurikulum, buku, dan sebagainya. Itu tugas saya. Dan ini cepat sekali. Itu bulan Juli 1978 --pengumuman penerimaan siswa di SMA FIP Jember. 

"Terus gedunge Pak?" Tanya saya kepada Pak Djio.

"Gampang. Pak Dahlan! Ayo nang Pak Dahlan.

"Pak Dahlan kan tokoh pendidikan. Ia kenal dengan UPTD, kenal dengan guru-guru SD dan tokoh pendidikan dari guru-guru PKK, dimana guru-guru PKK itu sebagian besar juga guru-guru sekolah dasar. 

"Terus maksud'e opo, Pak Djio?

"Lho, kene iso nyelang gedung SD nek iso dipanggoni. Iku Pak Dahlan."

Oke, jret! Bla bla bla.... dan seterusnya. 

Alhamdulillah setelah begini dan begitu, dan omongan Pak Djio di Dinas Pendidikan yang saya tidak tahu detailnya, lha kok diizinkan sama Propinsi. Izin operasional (sebelum SK Resmi) itu keluarnya bulan Agustus 1978. 

Lalu Pak Dahlan sudah proses komunikasi dengan Dinas Pendidikan (UPTD), Camat, Wedono, dan tokoh-tokoh yang di Kalisat lah. Dan Alhamdulillah, karena ketokohan Pak Dahlan sendiri di Kalisat adalah penting, dan peraturannya juga belum seketat sekarang, kita itu kemudian boleh menempati sebuah gedung SD, namanya SD Ajung 4. 

"Kalau sampeyan mau ke Sukowono dari arah Ajung, kira-kira jaraknya ndak sampai dua kilometer, itu ada sebuah SD, yang bentuknya tidak seperti sekarang. Sekarang kan magrong-magrong, padahal dulu gedheg. Sampai sekarang kalau lewat sana, saya sering tolah-toleh. Iling mbiyen."

Karena para pihak menilai bahwa pendidikan itu penting, maka mereka mengizinkan bila ada yang bergabung (numpang) di gedung sekolah negeri. Banyak contohnya. SMA FIP dulu itu digabung dengan SMA Wiyata Mandala, dll. Boleh. Jadi misalnya bila semuanya beres, gedung SMA yang masih dicita-citakan inin akan menempati gedung SD Ajung 4. 

"Ternyata, wes siap-siap ya..

"Agustus itu kan sudah mulai kegiatan belajar mengajar. Tapi SMA yang dicita-citakan berdiri di Kalisat ini, SK Resmi baru muncul pada 10 Nopember 1978. 

"Jadi tidak berhubungan dengan Hari Pahlawan sebetulnya. Tapi kok kebetulan SK resmi muncul di tanggal tersebut."

*Penamaan SMA dengan nama 10 Nopember disesuaikan dengan tanggal turunnya SK Resmi, dengan menggunakan huruf P, yaitu Nopember.

"Sebelumnya, kira-kira Oktober 1978, SK operasional itu 'mudun.' Menggunakan guru dan gedung di SD Ajung 4. Masuknya jam satu siang. Langsung terima tiga kelas." 

*Sayangnya Pak Cuk tidak tahu, apakah gadis yang menangis itu masuk angkatan pertama atau tidak --ketika SMA ini belum memiliki nama dan hanya disebut sementara sebagai SMA Kalisat.

"Jadi begitu, pertama dibuka langsung tiga kelas. Tapi yo ngono, muridnya macem-macem. Onok sing pulisi, onok sing... Wah pokok'e macem-macem. Yo tak tompo wae. Dan jangan dibayangkan bahwa murid-murid saya itu murni, yang awal itu adalah para lulusan SMP. Onok sing nggak. Jadi menampung yang nggak punya ijasah itu. bahkan ada murid yang tukang kebun. Ada. Yang tak cari itu apa.. Mottonya. 

"Motonya, kita dirikan SMA 10 Nopember ini adalah untuk menampung anak-anak Kalisat dan sekitarnya yang tidak mampu untuk masuk di SMA Negeri, dan SMA yang lain di luar Kalisat."

Kepala sekolah pertama SMA 10 Nopember di Kalisat, Pak Dahlan. 

*Lalu Pak Cuk menyebutkan nama-nama warga Kalisat yang turut berjuang membantu berdirinya sekolah impian tersebut. Sayang di bagian ini, rekaman di ponsel saya --Nokia classick 2700-- kemresek. 

"Tapi nama-nama yang saya sebutkan itu sudah meninggal semua, Mas Hakim.

"Nah sekarang, siapa gurunya? Ini tanggung jawab saya kan? Saya merayu guru-guru SMA FIP Jember, dan merayu guru-guru SD dan SMP lokal di Kalisat. Sehingga kuat, gitu lho. Nah.. Pak Marto yang pertama ya."

Pak Marto yang duduk di dekat Pak Cuk menjawab, "Nggih."

"Nah guru-guru SMA FIP yang saya rayu kan tidak semuanya mau. Mereka bilang, 'Wuuuuu... Cek adohe, Kalisat. Tekone jam siji mulih bar maghrib. Numpak opo pas?' Ya.. Sehingga yang dekat dengan saya saja yang bersedia. Karena itulah pengajarnya kurang, tapi saya tutupi dengan guru-guru SD dan SMP yang ada di Kalisat dan yang bersedia. Sebagian namanya saya sudah lupa. Pokoknya itulah, jadi intinya guru-guru pertama itu datang dari SMA FIP dan guru-guru SMP dan SD di Kalisat."


_____

Misalnya saya tak bertanya langsung kepada Pak Cuk dan Pak Marto perihal sejarah nama sekolah, barangkali saya tetap berpikir bahwa sekolah SMA pertama di kecamatan Kalisat ini diberi nama SMA 10 Nopember karena berkaitan erat dengan peristiwa bersejarah. Rupanya tidak demikian. Diberi nama dengan nama itu sebab SK Resmi dari pusat jatuh pada tanggal 10 Nopember 1978, dengan ejaan P dan bukan V. Di tahun itu pula, proses belajar mengajar dimulai. Mula-mula dengan menumpang gedung di SD Ajung 4, masuknya jam satu siang. 

Perintis angkatan pertama lulus tahun 1981.

Tapi saya juga tak sangat keliru menebak, sebab proses berdirinya sekolah ini kental dengan semangat juang yang begitu tinggi. Apalah arti perjuangan tanpa ilmu pengetahuan. 

Di suatu hari yang tak disangka-sangka di tahun 1982-1983, kabar baik datang menghampiri Pak Cuk. Ia mendengar ada orang baik, warga Kalisat yang hendak menghibahkan tanahnya untuk dijadikan bangunan tempat belajar mengajar, hingga kemudian SMA 10 Nopember bisa berdiri sendiri, tak lagi menumpang gedung di SD Ajung 4. Dialah Pak Sabariman, orang yang pernah intens membantu berdirinya sekolah ini, yang namanya disebut oleh Pak Cuk dan Pak Marto, ketika harus bercerita tentang sejarah berdirinya gedung sekolah. Ia tentu juga berkaitan erat dengan perjuangan Pak Sudahlan. 

Pak Marto baru bergabung dengan SMA 10 Nopember pada 1 Desember 1979, ketika sekolah telah berusia satu tahun. Jadi, ia banyak mengerti tentang proses jatuh bangun perjuangan didirikannya sekolah ini. 

Pak Cuk memberi gambaran rinci mengenai proses pembangunan gedung SMA 10 Nopember ketika baru saja memiliki ruang belajar mengajar di atas tanah hibah. 

"Mula-mula kami mikir, meskipun tentu saja sangat bersyukur diberi tanah hibah. Mikirnya gini. Opo payu nek sekolahan dideleh nang kono. Berdebu. Sepi. Ternyata animo masyarakat luar biasa sekali. Masa keemasan kita itu tahun 1987... Itu sudah ada SMA Negeri, tapi dia masih sedikit. Itu masa yang kadang-kadang kami kenang. Yang belajar bersemangat, padahal ruangannya ndak cukup."

Kemudian Pak Cuk dan Pak Marto terlibat pembicaraan proses pembangunan tiap-tiap ruang hingga menjadi gedung SMA 10 Nopember yang seperti sekarang ini. Karena saya tak paham letak ruang secara rinci, bagian ini tidak saya tulis agar tak keliru ketika proses editing.

Bila bercerita tentang pemula ditempatinya gedung sekolah yang baru, Pak Cuk teringat pula akan proses pembangunan SMA Negeri Kalisat yang ndilalah berdiri di seberang sekolah rintisan.

"Sekolah negeri ini baru berdiri setelah kami ada terlebih dahulu. Tahun berapa ya Pak Marto, SMA Negeri Kalisat?"

Yang ditanya menjawab pertanyaan Pak Cuk dengan singkat. "1985, Pak."

Ditanya tentang dampak berdirinya SMA Negeri di Kalisat, Pak Cuk merasa senang. Ia bilang, semakin banyak ruang menimba ilmu di Kalisat maka akan semakin baik pula masa depan pendidikan di daerah ini, asal tetap memegang teguh cita-citanya. Tapi tak bisa dipungkiri pula bila keberadaan SMA Negeri --tak hanya di Kalisat-- juga berdampak pada menurunnya minat siswa untuk melanjutkan pendidikan di SMA swasta. 

Berikut kisah dari Pak Cuk, dengan mengawalinya dari gaji guru. 

"Saya tidak bisa mempertahankan guru-guru yang memilih mundur. Kasihan mereka. Saya sendiri tentu bertahan. Karena apa? Karena motto saya waktu itu adalah memberikan kesempatan kepada putra-putri daerah untuk mengenyam pendidikan, dan sesuai kemampuan. Sama seperti motto Pak Djio, juga Pak Dahlan. 

"Akhirnya apa? Onok sing mbayar SPP iku mbek jagung, haha.. Yo jagung, yo pari."

Bagaimana ia harus memikirkan kesejahteraan guru-guru pengajar?

"Mau dibayar pakai apa, kalau tidak memutar uang SPP?" Begitu katanya, mengenang awal-awal merintis SMA 10 Nopember. 

"Enam bulan pertama saya fokuskan pada guru-guru yang mendidik dan guru lokal yang membantu. Tapi Alhamdulillah, di perjalanan selanjutnya, teruuuus... teruuus... Kami bertahan."

Harapan tentang pendidikan yang lebih baik di wilayah pinggiran menjadi semakin terang benderang.

"Apalagi setelah ada SMA Negeri di sini. 

"Nah, maka kemudian seiring dengan berjalannya waktu, Mas Hakim, lalu berdiri SMA Negeri di Kalisat, berdiri SMA Negeri di Arjasa, kemudian berdiri SMA di Sukowono, ada SMA yang berdiri di Sumberjeruk, dan sebagainya."


KETIKA SMA 10 NOPEMBER MENUJU SENJAKALA 


"SMA Negeri itu kan target lulusan SMP. Nah itu dia Mas Hakim, kenapa orang-orang tua dan atau anak yang bersangkutan, kenapa kok memilih SMA yang berstatus negeri daripada SMA swasta? Kecuali SMA Katolik di Jember." 

*SMA Katolik jauh lebih baik, tak bisa dijadikan patokan, karena punya pangsa sendiri. 

Waktu itu saya menjawab, "Mungkin karena diarahkan?" Pak Cuk tersenyum lalu kembali bertutur.

"Sekolah negeri itu populer karena mempunyai kualitas yang tinggi, karena diajar oleh guru-guru yang betul-betul memenuhi persyaratan yang sesuai. Jadi latar belakang si guru ini memang harus pendidikan. Kalau swasta kan berbeda. Pokok'e gelem ngajar yo ayok."

Ia mengingatkan saya pada cerita sebelumnya, tentang bagaimana sulitnya Pak Cuk mencari tenaga pengajar untuk sekolah rintisan SMA 10 Nopember. 

"Terus waktu itu, SPP sekolah-sekolah negeri (SMA) itu lebih murah dari sekolahan swasta. Waktu itu. Jangan disamakan dengan sekarang. Mungkin beda kalau sekarang. Kenapa? Karena SMA swasta menarik SPP yang tinggi. Sing mbayar gurune iku sopo? Kalau di negeri sing mbayar kan negoro. Mbangun laboratorium, mbangun perpustakaan? Negoro. Murah biayanya. Waktu itu! Saiki luwih larang, hehe. 

"Nah sehingga mereka berbondong-bondong lari ke SMA Negeri. Lari ke SMA Sukowono, misalnya. 

"Sekarang giliran saya ngenteni sing gak diterimo-diterimo nang SMA Negeri. Jadi ingat (kejadian) di SMA FIP. Jumlahnya lebih sedikit. 

"Naaah, saat itulah makaaa, terjadi suatu penurunan kuantitas, yang saaaangat, sangat sangat berpengaruh pada income kami. Dan pemasukan kami waktu itu semata-mata hanya dari SPP yang sudah tidak jagung lagiii... Dulu itu pertama-tama thok jagung, tidak selamanya. Begitu, Mas Hakim. Tapi sampeyan bisa lihat sendiri, kami tetap bisa bertahan hingga hari ini, dan tetap dengan motto yang sama."

Zaman keemasan SMA 10 Nopember dimulai pada tahun 1987. Menurut Pak Marto, sekolah ini (1987) sempat menampung sebelas kelas, 469 siswa. Hingga akhirnya ada sekolah sore untuk mengusahakan agar semuanya tertampung. Meskipun secara statistik terus menurun, pelan, toh zaman keemasan itu tetap bisa dipertahankan hingga 1990an. 

"Pernah juga di masa keemasan kita menolak murid, karena sudah tidak mungkin untuk diterima (terlalu banyak) walaupun itu sedikit bertentangan dengan motto. Tapi kalau ruangannya ndak cukup, mau apa?"

Ketika itu terjadi, terpaksa Pak Cuk harus minta maaf. Bagaimanapun, ia dan guru-guru lainnya telah berusaha, misalnya dengan membuka kelas sore agar semua bisa mengenyam pendidikan di SMA 10 Nopember, walau tentu saja itu sangat menguras tenaga. Tapi perjuangan mereka saat itu telah sampai pada batas kemampuannya.

 

Sekarang, ketika ada peraturan bahwa semua sekolah baik negeri maupun swasta, tidak boleh memungut bayaran SPP, apa yang terjadi dengan SMA 10 Nopember? Walaupun hingga saat lalu, ketika pimpinan Dinas Pendidikan Jember masih Ahmad Sudiono, peraturan tersebut masih dilanggar oleh SMA-SMA Negeri di Jember. 

"Kalau kami tetap harus narik. Kalau ndak narik, dari mana uang?

"Akhirnya dari kebijakan itu, muncullah dana BOS. Kami ini mendapatkan, waktu itu, jauh lebih baik dari SMA-SMA di Ambulu, misalnya. Kenapa lebih baik? Karena jumlah siswanya."

Lalu Pak Cuk menjelaskan apa dan bagaimana dana dari pemerintah tersebut. Dia bilang, bila telah ada dana seperti itu, tak lagi SPP (juga donasi) maka sistem manajemennya yang harus kuat dan terbuka. 

***

Karena secara kuantitas terus menurun, mau tidak mau harus ada perubahan di banyak bidang. Ketika Pak Cuk ada di posisi sekretaris (1989), ia mengusulkan untuk meningkatkan mutu pembelajaran, dan mutu kegiatan ekstrakulikuler. Sejak saat itulah perjuangan kembali dilakukan. 

"Jadi ketika SMA-SMA swasta yang lain kukut ndak punya murid, seperti SMA Pembina, Wiyata Mandala, dan lain-lain, kami tetap berusaha bertahan.

"Dulu ada pertanyaan di kalangan guru-guru di sekolah swasta. Kenapa sekolah-sekolah tua kukut dan kalah oleh sekolah-sekolah baru yang berstatus negeri? Nah, saat itulah kami berpikir untuk melakukan peningkatan mutu."

Begitulah kisah tentang SMA 10 Nopember di Kalisat, yang tetap bertahan dari perubahan zaman, mampu melewati senjakala, dan tetap memberikan yang terbaik hingga hari ini. Selain semangat untuk memelihara niat, tentu karena sekolah ini memiliki guru-guru dengan semangat juang yang tinggi untuk menebarkan ilmu pengetahuan.

 

Terima kasih, mohon maaf sebesar-besarnya bila ada kesalahan dalam penulisan ulang ini. Dan mohon maaf pula bila catatan-catatan ini tak sempurna --tak semua tutur kata Pak Cuk (juga Pak Marto) tak bisa semuanya saya tuliskan. 

Jayalah selalu, SMA 10 Nopember! 

Sebagai penutup, akan saya tampilkan kata-kata mutiara dari seorang Djoko Pontjo Hardani alias Pak Cuk, yang saya dengar secara langsung pada delapan tahun yang lalu. 


"Dompet Anda berisi uang jutaan, jika diberikan kepada orang lain dengan ikhlas, maka uang Anda akan berkurang. Anda juga bisa beramal dengan tenaga, ketika Anda tidak punya uang. Tapi tenaga Anda akan berkurang. Tapi (bila) Anda mengamalkan ilmu, maka ilmu Anda akan bertambah."

TAMASJA NET

0 comments