Sejarah SMA 10 Nopember di Kalisat
Suatu hari pada 4
Januari 2017, dengan diantar oleh Satriyo Budi Darmawan, saya dan Hana
melangkahkan kaki memasuki halaman SMA 10 Nopember, sebuah SMA tertua di
Kalisat yang menginspirasi berdirinya sekolah lain. Di sana Pak Djoko Pontjo
Hardani alias Pak Cuk telah menanti kehadiran kami. Pak Cuk tidak lain adalah
Ayah dari Satriyo Budi Darmawan, rekan saya.
Mula-mula, ini
yang dikatakan Pak Cuk.
"Mohon maaf kami
tak punya arsip foto-foto lama sekolah ini. Paling-paling, foto terlama yang
kami pegang ya tahun 2010 Mas, itupun dipegang sama Pak Umar. Hari ini Pak Umar
tidak masuk. Seandainya sampeyan itu datangnya tidak mendadak, mungkin kami
bisa mempersiapkan beberapa hal, data-data fisik. Pada saat ini saya sulit
untuk mencarinya. Ada foto-foto tapi foto baru, kan nilai sejarahnya kecil,
Mas."
Ya, kiranya kami memang
datang mendadak. Waktu itu kami ingin sekali menampilkan foto-foto sekolah yang
kerap disingkat sebagai SNOP ini, untuk kebutuhan acara KTD 2, Kalisat Tempo
Dulu. Sebab KTD tahun lalu mengusung tema bidang pendidikan di kecamatan
Kalisat. Percakapan ini kami hadirkan kembali, untuk menghormati para lulusan
SNOP yang hendak bikin reuni akbar pada 24 Desember 2017 nanti. Semoga ada
manfaatnya meskipun mungkin tidak banyak.
"Pendiri dari SMA
10 Nopember ini ada tiga orang, dan dari tiga orang ini yang hidup tinggal
saya. Siapakah beliau? Satu, Bapak Drs. Achmad Sudjio. Beliau adalah dosen
FKIP. Dulu namanya dosen FIP, Fakultas Ilmu Pendidikan. Ia merangkap sebagai
guru SMA FIP.
"SMA FIP itu adalah
SMA swasta yang merupakan laboratorium dari Fakultas Ilmu Pendidikan, FIP. Di
Unej waktu itu belum ada Fakultas Eksak atau Fakultas TI. TI cuma satu yaitu
Fakultas Pertanian. Belum ada FKG, belum ada Teknik, belum ada Kedokteran,
pokoknya belum ada eksak kecuali Pertanian, dan saya mengajar di Fakultas
Pertanian Unej. Waktu itu masih belum dosen tapi asisten.
"Nah, karena SMA
waktu itu harus mempunyai jurusan ilmu pasti, maka saya mengajar di sana. Saya
jadi guru SMA FIP, lalu kenal sama Pak Djio, walaupun sebelum menjadi guru,
kami sudah kenal lama karena dia juga tetangga saya.
"Pak Djio itu sudah
Almarhum pada beberapa bulan yang lalu. Dia adalah guru olahraga di SMA FIP dan
sekaligus dosen di Unej.
"Satu lagi adalah
tokoh pendidikan di Kalisat, namanya Pak Sudahlan.
"Mengapa beliau
saya katakan tokoh pendidikan? Karena beliau itu diberi tugas oleh kecamatan untuk
mendidik Ibu-ibu PKK. Dia terbilang akrab dengan Ibu-ibu di desa-desa di
seluruh kecamatan Kalisat. Dia pun juga guru PKK di SMA FIP. Nah, jadi ketiga
pendiri SMA 10 Nopember ini, ketiga-tiganya adalah guru di SMA FIP."
"Sastra itu
berdirinya bersamaan dengan SMA FIP. Sastra dulu ya di sana.
"SMA FIP menampung
seluruh lulusan SMP di Jember, tidak hanya di kota, tapi juga yang desa-desa,
termasuk yang dari Kencong, Ambulu, Kalisat, dan lain-lain. Ada sih SMA swasta
lain waktu itu, seperti SMA Kartika milik Kodim. Itu biasanya menampung
putra-putranya tentara yang tidak diterima di SMA Negeri. Kalau kami di SMA
FIP, biasanya menampung putra-putrinya pegawai negeri, guru, dan sebagainya,
sehingga SMA FIP ketika baru didirikan sudah menerima banyak calon siswa.
"Kami hanya
menerima tiga ruang kelas untuk calon siswa baru, yang masing-masing ruang itu
hanya boleh diisi maksimal 40 siswa, maka kapasitas terima kami 120. Yang
daftar 400. Jadi ada seleksi.
"Suatu saat ada
pengumuman. Nah, saya sebagai asisten wakasek bagian kurikulum, itu menjadi
tugas saya untuk mengatur dan menerima calon siswa. Nah, sambil menerima daftar
ulang itu, saya melihat ada yang menangis. Saya pribadi yang melihatnya.
Ditunggu sama ibunya. Saya kira sakit. Lalu saya datangi."
"Bu, kalau anaknya
sakit, itu ada ruang UKS."
"Enggak Pak, ini
nggak sakit."
"Lho kenapa?"
"Anak saya tidak diterima
Pak."
"Yang lainnya
banyak juga yang diem, ndak nangis. Pokoknya wajah-wajah susah itu banyak.
Bayangkan, yang diterima cuma 120, yang mendaftar 400 lebih.
"Ternyata setelah
saya tanya, lho sekolah kan masih banyak."
"Saya dari Kalisat,
Pak."
"Ya di Kalisat kan
banyak sekolah SMA."
"Kalau di Kalisat
ada Pak, mengapa saya ke sini?"
"Nggak ada Pak.
"Tolonglah Pak,
diterima anak saya, Pak."
"Aduh, saya nggak
bisa memutuskan, Buuu... Paaak.. Masalahnya ini sudah diumumkan seperti
ini."
"Habis ini kemana
anak saya harus sekolah?"
"Ya gimana Bu.. Ya
harus diterima nasibnya anaknya. Ya gimana lagi."
"Habis ini kemana
anak saya sekolah, Pak?" Tanya seorang Ibu asal Kalisat yang putrinya
menangis sebab tak diterima di SMA FIP Jember. Pak Cuk diam, merenung. Ia baru
tahu bila saat itu di kecamatan Kalisat belum ada sekolah SMA. Tak lama
kemudian, Pak Cuk meninggalkan Ibu yang sedih itu, dan meninggalkan pula
orang-orang yang mengerubunginya. Ia menjauh sambil berpikir. Hingga kemudian
berjumpa dengan Pak Djio.
"Opo Pak Cuk, kok
dikerubung."
"Ngene Pak. Arek
iku teko Kalisat, gak diterimo."
"Terus sampeyan
dikerubung-kerubung ngono iku?"
"Gak diterimo,
Pak."
Perbincangan pendek yang
kemudian berlalu.
Adalah Pak Khusnul,
Kasek kurikulum. Orangnya teges, disiplin. Ke sanalah Pak Cuk, mencoba
komunikasi, siapa tahu anak Kalisat itu masih bisa ditampung di SMA FIP.
"Ndak bisa! Itu
sudah keputusan. Nek carane koyok ngono, nanti bagaimana yang lain?"
Waktu itu Pak Djio ada
di samping Pak Cuk. Karena perjumpaan dengan Pak Khusnul tidak membawa hasil
--dan memang tidak adil rasanya bila diterima--, mereka berdua melangkah
keluar. Sambil berjalan pelan, Pak Djio berkata kepada Pak Cuk.
"Yo'opo Pak Cuk,
nek awak dewe nggawe sekolah ae nang Kalisat?"
Itu yang dikatakan Pak
Djio, di suatu hari tahun 1978, ketika SMA FIP Jember telah berumur enam tahun.
"Aduh nek iku Pak
Djio, aku gak ngerti carane."
"Ngene Pak Cuk..
Pak Dahlan iku kan teko Kalisat. Ayo bagi tugas. Aku tak ngurusi surat-surat
persyaratane."
Ke Genteng Kali,
Surabaya.
Waktu itu SMP/SMA diatur
oleh Propinsi. Dan sekarang juga diwacanakan seperti itu. Nah ketika ada Otoda,
seluruh kegiatan pendidikan kecuali ujian-ujiannya itu kan diurus oleh
kabupaten. Waktu itu belum ada Perda. Jadi ya Propinsi. Nah, Dinas Pendidikan
Propinsi itu tempatnya di Genteng Kali, Suroboyo. Di dekatnya Siola.
Nah Pak Djio waktu itu
bilang, "Pokok'e Pak Cuk, aku sing ngurusi surat-surate, ijin-ijine,
sampai di Dinas Pendidikan Jember. Nah sampeyan siap-siap ngurusi
kurikulum."
"Jadi tugas saya
itu Mas Hakim, ya nggolek guru, kurikulum, buku, dan sebagainya. Itu tugas
saya. Dan ini cepat sekali. Itu bulan Juli 1978 --pengumuman penerimaan siswa
di SMA FIP Jember.
"Terus gedunge
Pak?" Tanya saya kepada Pak Djio.
"Gampang. Pak
Dahlan! Ayo nang Pak Dahlan.
"Pak Dahlan kan
tokoh pendidikan. Ia kenal dengan UPTD, kenal dengan guru-guru SD dan tokoh
pendidikan dari guru-guru PKK, dimana guru-guru PKK itu sebagian besar juga
guru-guru sekolah dasar.
"Terus maksud'e
opo, Pak Djio?
"Lho, kene iso
nyelang gedung SD nek iso dipanggoni. Iku Pak Dahlan."
Oke, jret! Bla bla
bla.... dan seterusnya.
Alhamdulillah setelah
begini dan begitu, dan omongan Pak Djio di Dinas Pendidikan yang saya tidak
tahu detailnya, lha kok diizinkan sama Propinsi. Izin operasional (sebelum SK
Resmi) itu keluarnya bulan Agustus 1978.
Lalu Pak Dahlan sudah
proses komunikasi dengan Dinas Pendidikan (UPTD), Camat, Wedono, dan
tokoh-tokoh yang di Kalisat lah. Dan Alhamdulillah, karena ketokohan Pak Dahlan
sendiri di Kalisat adalah penting, dan peraturannya juga belum seketat
sekarang, kita itu kemudian boleh menempati sebuah gedung SD, namanya SD Ajung
4.
"Kalau sampeyan mau
ke Sukowono dari arah Ajung, kira-kira jaraknya ndak sampai dua kilometer, itu
ada sebuah SD, yang bentuknya tidak seperti sekarang. Sekarang kan
magrong-magrong, padahal dulu gedheg. Sampai sekarang kalau lewat sana, saya
sering tolah-toleh. Iling mbiyen."
Karena para pihak
menilai bahwa pendidikan itu penting, maka mereka mengizinkan bila ada yang
bergabung (numpang) di gedung sekolah negeri. Banyak contohnya. SMA FIP dulu
itu digabung dengan SMA Wiyata Mandala, dll. Boleh. Jadi misalnya bila semuanya
beres, gedung SMA yang masih dicita-citakan inin akan menempati gedung SD Ajung
4.
"Ternyata, wes
siap-siap ya..
"Agustus itu kan
sudah mulai kegiatan belajar mengajar. Tapi SMA yang dicita-citakan berdiri di
Kalisat ini, SK Resmi baru muncul pada 10 Nopember 1978.
"Jadi tidak
berhubungan dengan Hari Pahlawan sebetulnya. Tapi kok kebetulan SK resmi muncul
di tanggal tersebut."
*Penamaan SMA dengan
nama 10 Nopember disesuaikan dengan tanggal turunnya SK Resmi, dengan
menggunakan huruf P, yaitu Nopember.
"Sebelumnya,
kira-kira Oktober 1978, SK operasional itu 'mudun.' Menggunakan guru dan gedung
di SD Ajung 4. Masuknya jam satu siang. Langsung terima tiga kelas."
*Sayangnya Pak Cuk tidak
tahu, apakah gadis yang menangis itu masuk angkatan pertama atau tidak --ketika
SMA ini belum memiliki nama dan hanya disebut sementara sebagai SMA Kalisat.
"Jadi begitu,
pertama dibuka langsung tiga kelas. Tapi yo ngono, muridnya macem-macem. Onok
sing pulisi, onok sing... Wah pokok'e macem-macem. Yo tak tompo wae. Dan jangan
dibayangkan bahwa murid-murid saya itu murni, yang awal itu adalah para lulusan
SMP. Onok sing nggak. Jadi menampung yang nggak punya ijasah itu. bahkan ada
murid yang tukang kebun. Ada. Yang tak cari itu apa.. Mottonya.
"Motonya, kita
dirikan SMA 10 Nopember ini adalah untuk menampung anak-anak Kalisat dan
sekitarnya yang tidak mampu untuk masuk di SMA Negeri, dan SMA yang lain di
luar Kalisat."
Kepala sekolah pertama
SMA 10 Nopember di Kalisat, Pak Dahlan.
*Lalu Pak Cuk
menyebutkan nama-nama warga Kalisat yang turut berjuang membantu berdirinya
sekolah impian tersebut. Sayang di bagian ini, rekaman di ponsel saya --Nokia classick
2700-- kemresek.
"Tapi nama-nama
yang saya sebutkan itu sudah meninggal semua, Mas Hakim.
"Nah sekarang,
siapa gurunya? Ini tanggung jawab saya kan? Saya merayu guru-guru SMA FIP
Jember, dan merayu guru-guru SD dan SMP lokal di Kalisat. Sehingga kuat, gitu
lho. Nah.. Pak Marto yang pertama ya."
Pak Marto yang duduk di
dekat Pak Cuk menjawab, "Nggih."
Misalnya saya tak
bertanya langsung kepada Pak Cuk dan Pak Marto perihal sejarah nama sekolah,
barangkali saya tetap berpikir bahwa sekolah SMA pertama di kecamatan Kalisat
ini diberi nama SMA 10 Nopember karena berkaitan erat dengan peristiwa
bersejarah. Rupanya tidak demikian. Diberi nama dengan nama itu sebab SK Resmi
dari pusat jatuh pada tanggal 10 Nopember 1978, dengan ejaan P dan bukan V. Di
tahun itu pula, proses belajar mengajar dimulai. Mula-mula dengan menumpang
gedung di SD Ajung 4, masuknya jam satu siang.
Perintis angkatan
pertama lulus tahun 1981.
Tapi saya juga tak
sangat keliru menebak, sebab proses berdirinya sekolah ini kental dengan
semangat juang yang begitu tinggi. Apalah arti perjuangan tanpa ilmu
pengetahuan.
Di suatu hari yang tak
disangka-sangka di tahun 1982-1983, kabar baik datang menghampiri Pak Cuk. Ia
mendengar ada orang baik, warga Kalisat yang hendak menghibahkan tanahnya untuk
dijadikan bangunan tempat belajar mengajar, hingga kemudian SMA 10 Nopember
bisa berdiri sendiri, tak lagi menumpang gedung di SD Ajung 4. Dialah Pak
Sabariman, orang yang pernah intens membantu berdirinya sekolah ini, yang
namanya disebut oleh Pak Cuk dan Pak Marto, ketika harus bercerita tentang
sejarah berdirinya gedung sekolah. Ia tentu juga berkaitan erat dengan
perjuangan Pak Sudahlan.
Pak Marto baru bergabung
dengan SMA 10 Nopember pada 1 Desember 1979, ketika sekolah telah berusia satu
tahun. Jadi, ia banyak mengerti tentang proses jatuh bangun perjuangan
didirikannya sekolah ini.
Pak Cuk memberi gambaran
rinci mengenai proses pembangunan gedung SMA 10 Nopember ketika baru saja
memiliki ruang belajar mengajar di atas tanah hibah.
"Mula-mula kami
mikir, meskipun tentu saja sangat bersyukur diberi tanah hibah. Mikirnya gini.
Opo payu nek sekolahan dideleh nang kono. Berdebu. Sepi. Ternyata animo
masyarakat luar biasa sekali. Masa keemasan kita itu tahun 1987... Itu sudah
ada SMA Negeri, tapi dia masih sedikit. Itu masa yang kadang-kadang kami
kenang. Yang belajar bersemangat, padahal ruangannya ndak cukup."
Kemudian Pak Cuk dan Pak
Marto terlibat pembicaraan proses pembangunan tiap-tiap ruang hingga menjadi
gedung SMA 10 Nopember yang seperti sekarang ini. Karena saya tak paham letak
ruang secara rinci, bagian ini tidak saya tulis agar tak keliru ketika proses
editing.
Bila bercerita tentang
pemula ditempatinya gedung sekolah yang baru, Pak Cuk teringat pula akan proses
pembangunan SMA Negeri Kalisat yang ndilalah berdiri di seberang sekolah
rintisan.
"Sekolah negeri ini
baru berdiri setelah kami ada terlebih dahulu. Tahun berapa ya Pak Marto, SMA
Negeri Kalisat?"
Yang ditanya menjawab
pertanyaan Pak Cuk dengan singkat. "1985, Pak."
Ditanya tentang dampak
berdirinya SMA Negeri di Kalisat, Pak Cuk merasa senang. Ia bilang, semakin
banyak ruang menimba ilmu di Kalisat maka akan semakin baik pula masa depan
pendidikan di daerah ini, asal tetap memegang teguh cita-citanya. Tapi tak bisa
dipungkiri pula bila keberadaan SMA Negeri --tak hanya di Kalisat-- juga
berdampak pada menurunnya minat siswa untuk melanjutkan pendidikan di SMA
swasta.
Berikut kisah dari Pak
Cuk, dengan mengawalinya dari gaji guru.
"Saya tidak bisa
mempertahankan guru-guru yang memilih mundur. Kasihan mereka. Saya sendiri
tentu bertahan. Karena apa? Karena motto saya waktu itu adalah memberikan
kesempatan kepada putra-putri daerah untuk mengenyam pendidikan, dan sesuai
kemampuan. Sama seperti motto Pak Djio, juga Pak Dahlan.
"Akhirnya apa? Onok
sing mbayar SPP iku mbek jagung, haha.. Yo jagung, yo pari."
Bagaimana ia harus
memikirkan kesejahteraan guru-guru pengajar?
"Mau dibayar pakai
apa, kalau tidak memutar uang SPP?" Begitu katanya, mengenang awal-awal
merintis SMA 10 Nopember.
"Enam bulan pertama
saya fokuskan pada guru-guru yang mendidik dan guru lokal yang membantu. Tapi
Alhamdulillah, di perjalanan selanjutnya, teruuuus... teruuus... Kami
bertahan."
Harapan tentang
pendidikan yang lebih baik di wilayah pinggiran menjadi semakin terang
benderang.
"Apalagi setelah
ada SMA Negeri di sini.
"Nah, maka kemudian
seiring dengan berjalannya waktu, Mas Hakim, lalu berdiri SMA Negeri di
Kalisat, berdiri SMA Negeri di Arjasa, kemudian berdiri SMA di Sukowono, ada
SMA yang berdiri di Sumberjeruk, dan sebagainya."
*SMA Katolik jauh lebih
baik, tak bisa dijadikan patokan, karena punya pangsa sendiri.
Waktu itu saya menjawab,
"Mungkin karena diarahkan?" Pak Cuk tersenyum lalu kembali bertutur.
"Sekolah negeri itu
populer karena mempunyai kualitas yang tinggi, karena diajar oleh guru-guru
yang betul-betul memenuhi persyaratan yang sesuai. Jadi latar belakang si guru
ini memang harus pendidikan. Kalau swasta kan berbeda. Pokok'e gelem ngajar yo
ayok."
Ia mengingatkan saya
pada cerita sebelumnya, tentang bagaimana sulitnya Pak Cuk mencari tenaga
pengajar untuk sekolah rintisan SMA 10 Nopember.
"Terus waktu itu,
SPP sekolah-sekolah negeri (SMA) itu lebih murah dari sekolahan swasta. Waktu
itu. Jangan disamakan dengan sekarang. Mungkin beda kalau sekarang. Kenapa?
Karena SMA swasta menarik SPP yang tinggi. Sing mbayar gurune iku sopo? Kalau
di negeri sing mbayar kan negoro. Mbangun laboratorium, mbangun perpustakaan?
Negoro. Murah biayanya. Waktu itu! Saiki luwih larang, hehe.
"Nah sehingga
mereka berbondong-bondong lari ke SMA Negeri. Lari ke SMA Sukowono,
misalnya.
"Sekarang giliran
saya ngenteni sing gak diterimo-diterimo nang SMA Negeri. Jadi ingat (kejadian)
di SMA FIP. Jumlahnya lebih sedikit.
"Naaah, saat itulah
makaaa, terjadi suatu penurunan kuantitas, yang saaaangat, sangat sangat
berpengaruh pada income kami. Dan pemasukan kami waktu itu semata-mata hanya
dari SPP yang sudah tidak jagung lagiii... Dulu itu pertama-tama thok jagung,
tidak selamanya. Begitu, Mas Hakim. Tapi sampeyan bisa lihat sendiri, kami
tetap bisa bertahan hingga hari ini, dan tetap dengan motto yang sama."
Zaman keemasan SMA 10
Nopember dimulai pada tahun 1987. Menurut Pak Marto, sekolah ini (1987) sempat
menampung sebelas kelas, 469 siswa. Hingga akhirnya ada sekolah sore untuk
mengusahakan agar semuanya tertampung. Meskipun secara statistik terus menurun,
pelan, toh zaman keemasan itu tetap bisa dipertahankan hingga 1990an.
"Pernah juga di
masa keemasan kita menolak murid, karena sudah tidak mungkin untuk diterima
(terlalu banyak) walaupun itu sedikit bertentangan dengan motto. Tapi kalau
ruangannya ndak cukup, mau apa?"
Ketika itu terjadi,
terpaksa Pak Cuk harus minta maaf. Bagaimanapun, ia dan guru-guru lainnya telah
berusaha, misalnya dengan membuka kelas sore agar semua bisa mengenyam
pendidikan di SMA 10 Nopember, walau tentu saja itu sangat menguras tenaga.
Tapi perjuangan mereka saat itu telah sampai pada batas kemampuannya.
Sekarang, ketika ada
peraturan bahwa semua sekolah baik negeri maupun swasta, tidak boleh memungut
bayaran SPP, apa yang terjadi dengan SMA 10 Nopember? Walaupun hingga saat
lalu, ketika pimpinan Dinas Pendidikan Jember masih Ahmad Sudiono, peraturan
tersebut masih dilanggar oleh SMA-SMA Negeri di Jember.
"Kalau kami tetap
harus narik. Kalau ndak narik, dari mana uang?
"Akhirnya dari
kebijakan itu, muncullah dana BOS. Kami ini mendapatkan, waktu itu, jauh lebih
baik dari SMA-SMA di Ambulu, misalnya. Kenapa lebih baik? Karena jumlah
siswanya."
Lalu Pak Cuk menjelaskan
apa dan bagaimana dana dari pemerintah tersebut. Dia bilang, bila telah ada
dana seperti itu, tak lagi SPP (juga donasi) maka sistem manajemennya yang
harus kuat dan terbuka.
***
Karena secara kuantitas
terus menurun, mau tidak mau harus ada perubahan di banyak bidang. Ketika Pak
Cuk ada di posisi sekretaris (1989), ia mengusulkan untuk meningkatkan mutu
pembelajaran, dan mutu kegiatan ekstrakulikuler. Sejak saat itulah perjuangan
kembali dilakukan.
"Jadi ketika
SMA-SMA swasta yang lain kukut ndak punya murid, seperti SMA Pembina, Wiyata
Mandala, dan lain-lain, kami tetap berusaha bertahan.
"Dulu ada
pertanyaan di kalangan guru-guru di sekolah swasta. Kenapa sekolah-sekolah tua
kukut dan kalah oleh sekolah-sekolah baru yang berstatus negeri? Nah, saat
itulah kami berpikir untuk melakukan peningkatan mutu."
Begitulah kisah tentang
SMA 10 Nopember di Kalisat, yang tetap bertahan dari perubahan zaman, mampu
melewati senjakala, dan tetap memberikan yang terbaik hingga hari ini. Selain
semangat untuk memelihara niat, tentu karena sekolah ini memiliki guru-guru
dengan semangat juang yang tinggi untuk menebarkan ilmu pengetahuan.
Terima kasih, mohon maaf
sebesar-besarnya bila ada kesalahan dalam penulisan ulang ini. Dan mohon maaf
pula bila catatan-catatan ini tak sempurna --tak semua tutur kata Pak Cuk (juga
Pak Marto) tak bisa semuanya saya tuliskan.
Jayalah selalu, SMA 10
Nopember!

0 comments