Dia yang Paling Mirip Mochammad Sroedji
Dedi Prasetyo Bin Soeroso Roeslan, cucu Letkol Moch. Sroedji, bersama Burseh, prajurit Brigade III Divisi I Damarwulan Batalyon Sjafiudin pimpinan Sroedji. Dokumentasi oleh Mohamat Solihin. Desa Ampel, Wuluhan, 19 Agustus 2014
SAAT itu siang begitu terik. Kami mengadakan perjalanan motor dari Patrang dekat Taman Makam Pahlawan Jember, menuju desa Ampel di kecamatan Wuluhan. Jaraknya sekira 40 kilometer. Meskipun cuaca sangat panas namun lelaki berkulit putih bersih itu begitu bersemangat menuju ke Ampel. Katanya, "Aku adoh-adoh teko Jakarta pingin ketemu Mbah Burseh."
Tak hanya cuaca Jember yang panas. Situasi politik di negeri ini pun masih belum benar-benar reda dari rivalitas cebong kampret. Padahal ketika itu Pilpres 2014 sudah sebulan berlalu.
Akhirnya kami tiba di kediaman lelaki tua dengan bekas luka tembak di bawah perut sebelah kiri dan tembus hingga pantat kirinya. Dialah Burseh, bekas prajurit Sroedji dengan pangkat terakhir Sersan Mayor, namun menjalani masa tua sebagai seorang juru parkir di pelataran Bank Jatim Ambulu. Sambil menatap Mas Dedi, sebentar-sebentar Pak Burseh berkata, "Yo ngene iki wes Pak Seruji. Persis. Gak raine gak pawak'ane. Tapi kulite kurang ireng."
Dedi Prasetyo Bin Soeroso Roeslan memang cucu Moch. Sroedji. Sebagaimana kita tahu, pasutri Moch. Sroedji dan Roekmini dikaruniai empat buah hati; Sucahjo, Soepomo, Sudi Astuti, dan Pudji Redjeki Irawati. Nah, Mas Dedi adalah cucu Moch. Sroedji dari putri bungsunya, Pudji Redjeki Irawati. Tepat di bawah Mas Dedi ada Irma Devita Purnamasari, seorang notaris yang suka menerbitkan buku-buku di bidang hukum, juga penulis novel tentang perjalanan hidup Kakeknya sendiri, Letkol Moch. Sroedji. Novel itu berjudul, Sang Patriot: Sebuah Epos Kepahlawanan.
Pak Burseh bukan satu dua kali bilang bila Mas Dedi adalah kembarannya Moch. Sroedji, melainkan berkali-kali. Sampai kami pamit pulang pun, dia tetap berkata, "Arek iki podo karo Pak Seruji." Dia mengatakan itu sambil terkekeh dan sambil menepuk bahu Mas Dedi. Sepuluh tahun lalu, saya pernah menuliskan kisahnya di akun Facebook, berjudul, Dulu Pejuang Kini Tukang Parkir.
Kelak pada 7 November 2018, tiga hari sebelum Metro TV menayangkan program acara Menolak Lupa - Kepahlawanan Letkol Moch. Sroedji, Pak Burseh memejamkan mata untuk selama-lamanya. Ada satu kalimat darinya yang tertanam dalam-dalam di hati saya, ketika pada 20 Februari 2015 dia bilang begini.
"Tentara, jika tidak ada rakyat tidak makan. Mangkane rakyat ojok dipateni!"
Kini, tepat tujuh tahun setelah Pak Burseh meninggal dunia, di tanggal yang sama, terdengar kabar duka dari Jakarta. Mas Dedi Prasetyo Bin Soeroso Roeslan sudah berpulang meninggalkan kita semua pada 7 November 2025 pukul 18.12 WIB. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun. Mas Dedi meninggal dunia ketika acara tiga tahunan NALASUD (Napak Tilas Letkol Moch. Sroedji) sedang berlangsung.
ADA beberapa momen perjumpaan dengan Mas Dedi yang sungguh ingin saya abadikan dalam teks. Hari ketika kami berjumpa di Cempaka Putih Jakarta di bulan Januari 2014, hari ketika dia dan sahabatnya (Mas Ryan) datang ke rumah kami di Patrang delapan bulan kemudian, dan hari ketika dia datang mengunjungi kami di kontrakan kami yang baru, suatu hari di tahun 2015. Saat itu saya dan Hana belum lagi setahun tinggal di kontrakan lama di desa Ajung kecamatan Kalisat. Paling saya ingat dari Mas Dedi adalah tawanya yang renyah. Sambil sesekali menghisap rokok kretek filter Gudang Garam 16 dengan bungkus berwarna cokelat tua, dia bilang jika suatu hari ingin mengibarkan bendera yang besar sekali untuk kakeknya dari pihak Ibu. Selain bicara nasionalisme, matanya berbinar ketika kami berbincang tentang dunia sepak bola. Dia bilang, Indonesia butuh liga sepak bola yang sehat. Butuh regenerasi. Bila perlu, kita butuh berjuang untuk bisa mengirimkan bibit-bibit atlit sepak bola ke luar negeri.
Mas Dedi orang baik. Selalu ada doa untukmu, Mas. Al-Fatihah.

0 comments