Sistem Irigasi di Jember yang Canggih dan Rumit

by - November 24, 2025

SAYA lahir di sebuah kampung kecil di dekat stasiun Jember. Orang sering menyebutnya puteran, sebab di sana terdapat puteran spoor yang cara kerjanya dilakukan secara manual. Ia adalah peninggalan masa lalu, ketika lokomotif kereta api belum bisa bergerak maju mundur. Di puteran lokomotif kereta api itu, bila hujan turun dengan lebatnya, air akan masuk ke sana. Menggenang tapi tidak sampai meluap, sebab di dekatnya terdapat semacam sumur yang berfungsi sebagai resapan air. Dalam bahasa ilmiah, puteran tersebut biasa disebut turntable alias meja putar.

Masyarakat Jember Lor yang mengerti keberadaan turntable itu, terutama warga di JL. Mawar dan JL. Nusa Indah, mereka punya keyakinan bahwa air yang telah masuk ke dalam sumur resapan tersebut akan didistribusikan ke sungai Bedadung yang ada di timur stasiun Jember, di jajaran belakang Besoekisch Proefstation alias Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Namun tidak ada yang bisa menyebutkan dengan pasti di mana pintu keluar pembuangan air itu.

Turntable adalah perkenalan pertama saya dengan sistem irigasi. 

Rasa kagum pada sistem irigasi bertambah manakala semakin hari saya semakin mengerti dam-dam kecil yang ada di Jember. Saya juga dibuat terheran-heran manakala diajak silaturahmi ke rumah Pak Lik di kecamatan Balung wilayah sumuran. Di sana ada bendungan yang rumit, airnya saling silang, ada aliran air di bawah aliran air. Dulu saya berpikir, "Hebat betul para insinyur Belanda ini." Saluran irigasi di Balung dan sekitarnya bikin saya geleng-geleng kepala. Begitu juga dengan sistem pengairan di perkebunan-perkebunan Jember, dari perkebunan di wilayah Panti hingga Kebun Zelandia di Tanggul. 

Di Kotok, masuk desa Gumuksari kecamatan Kalisat, ada satu jaringan bendungan yang sangat megah. Meskipun secara alami hulu Bedadung bermula dari Hyang, namun secara teknis, hulu sungai Bedadung dimulai dari sini.

Kotok membuat saya percaya bahwa Jember yang tak punya sungai seluas Bengawan Solo dan yang tak sepanjang Brantas, namun sistem irigasinya cukup canggih. Ia tak kalah canggih dengan Bendungan Sampeyan Lama di Situbondo sejak akhir 1800-an, dan Bendungan Sampeyan Baru di Bondowoso saat ini. Teknik merancang sistem irigasi tak semata-mata tentang seberapa besar, namun juga seberapa rumit dan bagaimana manfaatnya untuk peradaban. Jika ingin mencari sistem irigasi kecil yang rumit seperti itu, saya kira Jember bisa dijadikan scope spasial dalam penelitian sistem irigasi. 


Tulisan kali ini akan panjang, maafkan. Saya akan melihat arsitektur irigasi di Jember pada dua hal.

1. Teknik irigasi di Jember sebagai peninggalan Eropa

2. Teknik irigasi sebagai warisan leluhur di Jember, dengan hipotesis yang saya tawarkan, dimulai sejak Abad ke-2 Masehi hingga masa Mpu Rucana yang jejaknya ada di abad ke-11 Masehi, di masa Alas Kota. 


TEKNIK IRIGASI di JEMBER SEBAGAI PENINGGALAN EROPA


Teknik irigasi modern menyapa Jember melalui pintu masuk perkebunan swasta, sejak pertengahan abad kesembilanbelas. Dimulai dengan tembakau. 

Sekilas tentang tembakau. Apakah sebelum orang-orang seperti Franssen van de Putte yang bikin Perkebunan Soekowono sejak 1856, lalu George Birnie yang merintis usaha tembakau Oud-Djember sejak 1859, masyarakat pertanian Jember tak mengenal tembakau? 

Sebuah buku berjudul 'De landbouw in den Indischen Archipel' membantah itu. 

"Budidaya tembakau di Besoeki dimulai sebelum tahun 1860, sementara tembakau telah ditanam oleh penduduk asli jauh sebelum itu, khususnya di bagian Bondowoso. Akan tetapi, belum ada budidaya yang terorganisir, juga tidak ada pasar untuk tembakau ini. Sebagai pelopor budidaya tembakau wirausaha Besoeki untuk pasar Eropa, kami harus menyebutkan Tuan George Birnie."

Jember tidak disebut-sebut? Tentu saja, saat itu secara administratif Jember masih menjadi satu dengan Bondowoso. Jember baru berdiri sendiri menjadi sebuah Afdeling dan terpisah dari Bondowoso sejak 9 Januari 1883. 

Tembakau yang dikenal masyarakat Jember adalah tembakau yang ditanam di akhir musim hujan dan dipanen pada musim kemarau. Voor-oogst. Sedangkan tembakau yang diperkenalkan oleh para pengusaha Eropa itu adalah tembakau dengan siklus sebaliknya. Ditanam ketika kemarau tiba, dan dipanen sesaat sebelum hujan. Na-oogst. Ia adalah bahan baku untuk cerutu. Tentu tidak diminati dan tidak dikonsumsi oleh orang-orang di Karesidenan Besuki; Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Jember. Memang, orang-orang seperti Putte dan Birnie menanam tembakau cerutu karena melihat peluang pasar di Eropa. 

Kebutuhan irigasi untuk produksi tembakau. 

Mulanya untuk kebutuhan tembakau, lalu para pengusaha swasta itu mulai memikirkan bagaimana sebaiknya merancang sistem irigasi di atas tanah yang berlekuk-lekuk, berawa-rawa, basah, dan yang ditaburi gumuk ini. Menurut Neumann van Padang di bukunya tahun 1939, gumuk di Jember diperkirakan kurang lebih ada 2000 jumlahnya. Kini, berjarak 86 tahun dari hipotesis Neumann, jumlah gumuk/hummock di Jember bila dilihat pakai citra satelit jumlahnya sekira 443 saja. Data dari citra satelit itu diambilkan dari hasil penelitian adik kelas Firman Sauqi Nur Sabila di ITB, untuk zona proximal. Pada hitungannya yang lain, untuk zona distal, didapati angka 408 gumuk saja. 

Menjadi sangat penting untuk melakukan pendataan mandiri secara manual, sebab limitasi citra satelit tidak bisa mendata lanskap bekas galian gumuk dan atau yang ukurannya sangat kecil. Data mandiri itu juga akan baik dijadikan studi perbandingan, serta untuk mencari tahu jumlah gumuk yang pernah ada, gumuk yang sedang ditambang, dan gumuk yang masih ada. 


JEMBER dijadikan lanskap untuk penanaman tembakau jenis Na-oogst tentu bukan tanpa alasan. Selain punya penahan angin alami berupa tausend hügel alias seribu gumuk alias seribu hummock, itu juga berkaitan dengan kandungan material tanahnya. Dalam buku terbitan tahun 1941 berjudul 'Studiën over de bodemkunde van Nederlandsch-Indië' dijelaskan bahwa seorang ahli ilmu tanah bernama Van der Veen membagi tanah tembakau (Jember) menjadi lima kelompok utama: 

1. Lempung gunung Hyang
2. Lempung rawa Hyang
3. Tanah Raung yang lebih tua
4. Tanah aluvial Raung
5. Tanah berpasir Raung.

Satu tahun kemudian, yaitu pada 1935, Van der Veen berbagi data tentang pemetaan rinci dua pertanian di tanah Raung yang lebih tua. Kriteria utama untuk investigasi lapangan terbukti adalah pengelolaan air tanah, khususnya yang berhubungan dengan akumulasi klorida di lapisan tanah atas dan juga ancaman penyakit cemara. Dengan demikian, penelitian ilmu tanah menghasilkan rekomendasi tentang drainase yang dalam (Van der Veen, 1938). Formasi padas di tanah Besuki mendapat perhatian khusus dari Van der Veen. Pada tahun 1938 ia memberikan data lebih lanjut tentang profil tanah Raung dan tentang kebutuhan drainase. Van der Veen kemudian melaporkan beberapa rawa gambut yang cocok untuk budidaya tembakau. 

Drainase dibutuhkan untuk mencegah akumulasi klorida dan ancaman talium. 

Dari buku 'Studi tentang ilmu tanah di Hindia Belanda' tersebut kita menjadi tahu bahwa keberadaan gumuk-gumuk di Jember menentukan kualitas tembakau cerutu untuk ekspor. Selain kandungan tanahnya yang baik, tembakau cerutu baik ditanam di Jember ketika angin timur sedang bertiup. Nemor, kata orang Kalisat. Kemarau. Tapi ia memiliki satu tantangan besar yaitu urusan dengan kadar klorida. Karakter tanah di Jember dapat menyerap klorin dengan sangat kuat. Itulah mengapa sangat dibutuhkan sistem irigasi yang bagus, sebagaimana solusi yang ditawarkan oleh Van der Veen. Jember butuh bikin drainase tanah yang dalam yang tetap basah bahkan selama Musim Timur (aliran air tanah, terutama di lahan miring), sebab diperlukan untuk mencegah akumulasi klorida.

Masalah lainnya adalah genangan air. Jika tidak diorganisir dengan irigasi, genangan air menjadi masalah serius. Dia dapat mendatangkan penyakit tanaman seperti penyakit cemara, yang di masa itu dicurigai karena keracunan talium. 

Itulah mengapa para insinyur Belanda yang bekerja untuk perkebunan swasta di Jember serius sekali merancang sistem irigasi. Sedangkan bikin sistem irigasi di Jember bukan sesuatu yang mudah. Tantangan di depan mata karena lanskap di kota ini berlekuk-lekuk berbukit-bukit, sebagian adalah drassig terrein alias daerah rawa. 


Sekarang akan saya ajak Anda untuk membaca draft tulisan saya kemarin, berjudul, 'Jember Turut Sumbang Ilmu Irigasi Air,' namun tak lekas saya publikasikan karena tak menemukan alasan paling mendasar, mengapa Belanda butuh bikin irigasi yang rumit di wilayah Jember. Kini, selain urusan bentang alam, saya jadi tahu bahaya laten akumulasi klorida dan talium di tanah Jember. Berikut tulisan saya. 


JEMBER TURUT SUMBANG ILMU IRIGASI AIR 


Di bawah pengaruh kekuasaan Belanda, jumlah penduduk Jawa telah berlipat ganda dalam empat puluh tahun (1889 - 1929), dan standar hidup penduduk secara keseluruhan telah meningkat pesat.

Itu adalah kalimat pembuka dalam buku terbitan tahun 1929, karya Cornelis Lekkerkerker. Dia bilang, salah satu faktor penentu yang paling penting, tak lain adalah karena terjadinya perbaikan dan perluasan lahan pertanian melalui irigasi. 

Ya, buku berbahasa Belanda itu berjudul, Verbetering en vermeerdering van cultuurgrond op Java. 

Seorang inspektur di Hindia Belanda yang juga seorang arsiparis itu beberapa kali menyebut nama Jember dalam bukunya. Dari rangkaian pemikirannya yang sangat membanggakan teknologi Belanda akan irigasi, dalam buku itu, ada juga terselip pemikiran seperti di bawah ini.

"Orang Jawa, meskipun tidak secara sadar menjadi ilmuwan tanah, tetap tahu bahwa tidak semua air sungai cocok untuk irigasi. Mereka membuat perbedaan tajam antara sawah loh, yang subur, dan sawah tjëngkar, yang tidak subur. Mereka juga dapat mengantisipasi apa yang akan terjadi ketika mengembangkan atau mereklamasi lahan terlantar atau terlantar (bëra/ambëbëran)." 

Di lembar terakhir bukunya, Jember masih nyempil, sebagai berikut.

"Di Jawa Timur, kita telah menyaksikan bagaimana rawa-rawa Loemadjang dan Djëmber, rawa-rawa Bèsèk, Menampoe, dan lainnya telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian, begitu pula yang ada di Banjoewangi Selatan." 

Sebagai seorang arsiparis, dia memang fokus mempelajari Bali, Lombok, dan Jawa. Bahkan pada 1923 Lekkerkerker memunculkan gagasan tentang istilah Oesingers untuk menyebut orang Blambangan, dan tetap kita gunakan sampai hari ini. 

Revolusi irigasi pernah dilakukan di peradaban kuno di Mesopotamia dan Mesir, Persia yang mengenal sistem qanat, rekayasa saluran air di Romawi hingga di negeri Cina, termasuk Revolusi Hijau yang juga memasukkan poin tentang betapa pentingnya bikin pengembangan infrastruktur irigasi di seluruh dunia. Semua dari kita memahami itu, bahwa irigasi itu penting. Tapi menyebut-nyebut Jember yang tak memiliki sungai sebesar Bengawan Solo dan sungai sepanjang Brantas, itu sungguh layak untuk dijadikan kajian investigasi kecil-kecilan. Tentu mula-mula diawali dengan masuknya investari perkebunan swasta di Jember, sejak 1856 di jalur Sukowono - Kalisat. 

Sebelas hari lalu di JL. Belitung Jember, Firma Sauqi Nur Sabila tanya ke saya. "Jadi gitu Mas, aku cuma butuh tahu sejarah irigasi di Jember. Butuh belajar."

Jember bukan wilayah yang mudah. Ia punya lanskap yang berlekuk-lekuk, mulanya rawa-rawa dan memiliki tanah yang basah, sesuai dengan julukannya yaitu kota seribu gumuk. Bukan sesuatu yang mudah bagi para arsitek, engineer, dan ahli teknik lainnya untuk merancang irigasi di sini. "Ada begitu banyak challenge," begitu kata Firman. 

Saat itu saya bilang ke Firman, "Aku pernah baca arsip tentang teknik pembuatan bendungan di Kotok, Kalisat. Dibikin oleh pihak perkebunan swasta, bukan oleh Dinas Irigasi-nya pemerintah Hindia Belanda di Jember. Itu di masa Gerhard David Birnie, saudara sepupu George Birnie yang dipercaya kelola Perkebunan Oud-Djember." 

Tentu saya pernah ke Bendungan Kotok beberapa kali. Orang setempat kadang menyebutnya DAM Kotok. Beberapa kanal tampak telah mengalami perbaikan, baru-baru ini. Bendungan ini digali sekitar tahun 1890 dan sudah bisa digunakan pada 1908. Suratkabar Soerabaijasch handelsblad disi 9 September 1929 pernah menurunkan berita terkait bendungan legendaris ini. Beritanya tentang pihak NV. Landbouw Maatschappij Oud-Djember mengalihkan pengelolaannya kepada Dinas Irigasi. Di sana juga ada kutipan seperti berikut di bawah ini.

"Pipa Kotok, dengan panjang sekitar 18 kilometer merupakan titik penyadapan kali Bedadoeng di Kotok; Sekitar 30 pintu air dipasang di sana untuk mengatur dan memastikan irigasi desa Bedadoeng, Antirogo, Soekoredjo, Tegal Gedeh, Soember-sarie, Kebonsarie, Soember Dandang, Moektisarie, Tegal Besar, dan Adjoong, dengan total lebih dari 1.400 hektar sawah.

Dikatakan dalam pemberitaan itu, pihak perkebunan swasta hasil rintisan George Birnie sejak 1859 itu bersedia mengalihkan pengelolaan bendungan kepada pemerintah, namun dengan syarat, mereka diberi imbalan berupa air irigasi yang lebih murah dari irigasi Mayang untuk lahan-lahannya di Kaliwining, Renteng, Djenggawah, dan Rawatamtoe. 

Bendungan Kotok di Kalisat (yang kelak ditambahkan juga di desa Bedadung) adalah sumber daya vital. Ia menggerakkan perekonomian secara signifikan, baik untuk perusahaan itu sendiri maupun untuk para petani, di luar musim tanam tembakau. 

Berita tersebut lalu ditutup dengan paragraf berikut.

"Pembangunannya secara definitif mengakhiri kekurangan air kronis di desa-desa yang disebutkan di atas. Visi jauh ke depan dari Bapak David Birnie. Sebagian besar 'tanis' Djember berutang kemakmurannya pada hal ini; namanya tak terpisahkan dari kepemimpinan dan akan terukir dengan huruf emas dalam Buku Sejarah Perkembangan Djember." 


Buku karya Steven Anne Reitsma yang terbit tahun 1909, Bevolkingstekort in Oost-Java, di sana disebutkan bila tanpa irigasi tidak akan ada emigrasi. 

Dalam buku tipis yang menarik itu, Reitsma mencontohkan Jember sebagai pusat tembakau yang di waktu-waktu tertentu diserbu oleh pekerja musiman. Manakala urusan pekerjaan selesai (dicontohkan kerja penyortiran), maka para pekerja musiman itu kembali migrasi ke tanah asalnya. Dalam hal ini, Reitsma mencontohkan gelombang pekerja musiman dari Kediri menuju Jember di masa sortir daun tembakau. 

Ada juga buku lain berjudul, "Beberapa informasi tentang kesejahteraan penduduk asli di tanah pemerintah di Jawa dan Madura (tidak termasuk tanah milik pribadi).". Buku ini terbit tahun 1911. Ia dimulai dengan populasi Jember di karesidenan Besuki yang meningkat tajam di periode 1900 - 1905, dibandingkan dengan kota-kota lain di Jawa. Meningkatnya populasi di Jember tentu dari pintu masuk perkebunan swasta. Satu di antaranya adalah tembakau Jember untuk bahan cerutu dan untuk kebutuhan ekspor. Dari meningkatnya industri tembakau Na-oogst di Jember, maka lahir situasi peningkatan keselamatan dan kepastian hukum, kesejahteraan penduduk serta sarana 'khusus' untuk memajukan pertanian dan peternakan, juga tentang irigasi yang lebih baik dan meluas, yang akan memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan lahan subur dan hasil panen.

Situasi irigasi yang lebih baik juga saling mempengaruhi dengan perbaikan sarana transportasi, revitalisasi perdagangan dan industri, dan hal-hal terkait lainnya. Ia dibahas di halaman enam dan seterusnya, dalam buku tersebut.

Saya masih ingat ketika residensi di Perkebunan Kalijompo, ada saya baca ulasan Dr. Roelof Broersma terkait sistem irigasi air di Jember. Sayang, setelah saya cari-cari catatan itu belum juga ditemukan. Sama seperti ketika saya mencari arsip yang dulu pernah saya baca, tentang perluasan bendungan di Kotok dengan bikin bendungan baru di desa Bedadung tepat di sisi selatan Kotok, tak juga saya temukan catatan itu. 


Apa benar Jember turut sumbang pemikiran tentang ilmu irigasi bagi para insinyur Belanda? 

Kata kuncinya ada di nama Jember itu sendiri, yang memiliki arti, tanah basah dan berawa-rawa. Anda bisa menengoknya di buku C. Lekkerkerker terbitan tahun 1931, Nama-nama geografis Jawa sebagai cerminan lingkungan dan cara berpikir masyarakatnya. Saya sendiri pernah menuliskan itu di blog ini, berjudul, JEMBER: Tanah Basah yang Ditaburi Gumuk

Setelah Jember, kata kunci berikutnya adalah gumuk itu sendiri. Hummock. 

Gumuk vulkanik adalah lanskap otentik Jember terbesar nomor satu di Indonesia, terbesar nomor satu di Asia, dan masuk top five sedunia. Dia adalah hasil longsoran raksasa gunung api purba. Gumuk yang bertebaran nyaris merata di Jember ini tentu menjadi kunci ekologi di kota ini, sekaligus membentuk pemikiran orang-orang yang hidup di dalam lanskapnya. Dia tak hanya pemecah angin alami. Lebih dari itu, gumuk mampu menjadi resapan alami ketika hujan turun dengan derasnya.

"Struktur di dalamnya penuh dengan batu-batu retak seperti spons sehingga mampu menyimpan air." Begitu kata Firman Sauqi Nur Sabila. 

"Jarang ada gumuk yang kering. Dari satelit pun terlihat selalu hijau," tambahnya.

Bila merujuk pada dua kata kunci di atas, dapat dipastikan Jember turut menyumbang pemikiran tentang ilmu irigasi bagi para insinyur Belanda. 

Meskipun memiliki gunung api di Karibia, namun Belanda tak punya pengalaman lekat dan mendalam dengan lanskap seperti ini. Berbeda dengan Jember yang dikepung oleh Pegunungan Hyang, gugusan Raung, gugusan Ijen, dan jajaran Bromo Tengger Semeru di sisi barat, serta batas alam berupa Samudera Hindia di wilayah selatan. Mustahil Jember tak sumbang apapun pada tumbuh kembang ilmu irigasi modern Belanda. 

Saya kira, untuk bab, 'Jember turut sumbang ilmu irigasi' tidak bisa berhenti di sini melainkan harus dikaji secara terus-menerus, melibatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Namun seperti janji saya sebelumnya, bahwa saya akan melihat arsitektur irigasi di Jember pada dua hal, yaitu teknik irigasi di Jember sebagai peninggalan Eropa, dan yang kedua adalah teknik irigasi dilihat sebagai warisan leluhur. 


TEKNIK IRIGASI SEBAGAI WARISAN LELUHUR JEMBER 


Jember punya prasasti yang diduga ditulis pada abad ke-2 Masehi, jauh lebih tua dari Prasasti Yupa di kecamatan Muara Kaman, Kutai. Prasasti Lumbung tergeletak cukup lama di dusun Krajan desa Karangharjo kecamatan Silo, Jember. Narasinya baru mencuat ke permukaan pada tahun 2022 lalu. Ia berbahan batu andesit yang padat. Prasasti Lumbung sendiri diduga berisi petuah-petuah kebaikan. Sebuah gambaran kepercayaan agama di Jawa Timur pada abad ke-2. 

Saya sering sekali mendengar cerita di balik Prasasti Lumbung ini dari seorang kawan yang kesehariannya berkutat di bidang teknik sipil, Windy Wirawan. Satu lagi kawan musisi Jember yang kini lebih dikenal sebagai arkeolog vernakular, Imam Jazuli namanya. Saya percaya orang seperti mereka akan tetap mencari tahu kenapa prasasti itu menggunakan huruf Brahmi, mengapa ada simbol pedang beserta sarung pedangnya di sana, simbol-simbol kuno seperti tiga simbol lingkaran seperti obat nyamuk bakar, dan simbol seperti belah ketupat.

Saya masih ingat ketika Imam Jazuli membeberkan isi Prasasti Lumbung dengan sederhana. 

"Nang kono ora ono penyebutan sistem pemerintahan, tapi lebih ke aturan Bodhisattva Vajradhara, dan tentang pemimpin Mahagraha (Panji) Vajradhara alias buddhisme tantra. Disinyalir kuat wilayah kono adalah Kasogatan. Mandala Kedewaguruan Buddha. 

"Menariknya, pada kalimat terakhir tentang 'Rania Dhartam Kyamata Tatvaga Coragata Shastrapam.' Iku mengenai Ratu pemegang pedang kebijaksanaan adalah manifestasi dari Sang Boddhisatva iku sendiri. Pemegang Tatvaga (prinsip) Kyamata atau Sakyamuni yang memiliki senjata/shastrapam berupa kitab atau tulisan.

"Nah, dalam khasanah Bairawa Tantra Purana dan Mahayana serta Manjusri, Tantra, mereka memanggil hujan dengan sebuah pedang ritual."

Lalu Imam Jazuli mengirimkan kepada saya catatan-catatannya, ada juga yang dalam bentuk PDF. Rupanya memang prasasti yang ada di desa Karangharjo kecamatan Silo itu identik dengan kedewaguruan. Semacam universitas saat ini yang di masa itu isinya tentang belajar menulis, bertani, berladang, berkebun, belajar obat-obatan, sastra, kanuragan, hingga olah spiritual. Kini, katakanlah setelah berjarak 1900 tahun, Karangharjo dan desa-desa di sekitarnya di kecamatan Silo masih menjejak urusan kedewaguruan dalam bentuk pesantren-pesantren. Di bagian ini, Imam Jazuli punya pandangannya sendiri.

"Ponpes ancen mereplika Mandala Kedewaguruan. Pinter poro wali iku. Santri asal kata Sashtri (sanskrit - jakun). Artine, pelajar atau sastrawan alias wong sing pinter moco tulis. Ohya, bahkan Mandala iki dilindungi dan diwehi bebas pajak karo penguasa." 

Ada sekian perbincangan dengan arkeolog yang belajar secara otodidak ini. Saya sendiri kesulitan menuliskan ulang istilah-istilah dari abad ke-2 di masa Buddha Vajradhara tersebut. Kini mari kita kembali ke prasasti. 


Akhmad Ryan Pratama, akademisi pendidikan sejarah dari Universitas Jember, dalam akun Facebook-nya menulis seperti ini. 

"Apabila temuan ini benar dan valid maka mungkin perlu diadakan revisi fakta sejak kapan Nusantara masuk ke zaman aksara."

Ditambahkan pula oleh Ryan, "Semoga ada anggaran riset lebih besar untuk mendorong penelitian lebih lanjut. 

Saya sependapat dengan Akhmad Ryan Pratama. Jangan sampai karena ketiadaan anggaran maka negara menjadi lalai dan tidak hadir dalam peristiwa penemuan prasasti itu, sehingga tugas yang dibebankan kepada pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi sia-sia. 

Lebih sederhana lagi, jika menariknya pakai perkakas etimologi, saya suka memikirkan namanya. Lumbung. Lekat sekali kaitannya perspektif Jawa kepada Dewi Sri, di mula-mula kalender Masehi. Bila Jember dipandang sebagai lumbung pangan, dapat dipastikan di sana terdapat sistem irigasi, sesederhana-sederhananya drainase itu. Apalagi saat itu Jember telah memiliki sebuah 'Mandala Kedewaguruan,' tempat dimana para pembelajar sedang menempa dirinya. Potensi mempelajari irigasi dan tata kelola air di masanya menjadi lebih tinggi. 

Sebelum mengakhiri bagian Prasasti Lumbung yang sangat menggambarkan 'Perguruan Tinggi Jember' di masa itu, dalam bentuk Mandala Kedewaguruan, saya jadi teringat kata-kata Imam Jazuli manakala ia semakin mengerti mengapa kita bisa sampai di hari ini, dengan bentuk-bentuk narasi Jember yang seberkabut ini.

"Ngeri aku olehe maca-maca naskah kuno karo prasasti-prasasti. Duh kah. Opo maneh pas maca aksara karo boso asline, sam.

"Intine Jember iku ancen tanah pertanian dan pendidikan, dan bukan underbone kerajaan manapun." 


SITUS ALAS KOTA 


Kabar baik bagi masyarakat Jember bahwa di pemula tahun 2022 telah ditemukan prasasti di sebuah gumuk/hummock di dusun Langsepan kelurahan Kranjingan, masuk kecamatan Sumbersari, Jember. Kelak, prasasti yang berada di areal Situs Alas Kota itu dikenal sebagai Prasasti Langsepan I. Sebab tak lama kemudian, di areal yang sama, juga di dekat gumuk, ditemukan prasasti sambungannya, disebut Prasasti Langsepan II. Untuk yang pertama diketahui berangka tahun 989 Saka atau 1067 Masehi. Prasasti kedua berangka tahun 994 Saka alias 1072 Masehi. 

Dalam Prasasti Langsepan I telah ditemukan kata kunci yaitu sebuah nama, Sang Marucana. 

Berikut dugaan isi teks dalam prasasti tersebut. 

"Sang Marucana membuka lahan baru berupa lahan kering (huma = ladang tanpa irigasi) dengan membagi dan meratakan tanahnya untuk ditanami padi gaga (padi musiman tadah hujan)."

Pekerjaan tersebut diselesaikan pada tahun 989 Saka. 

Menurut kesimpulan para ahli, proses pembuatan prasasti dipersiapkan secara kurang matang. Seolah dibuat secara tergesa-gesa karena kondisi darurat. Imam Jazuli dan para ahli kemudian mengkaitkan ketergesaan itu dengan kondisi geopolitik Jawa bagian timur di tahun 1067 Masehi, tentang krisis politik berkepanjangan antara Panjalu dengan Janggala. 

Barangkali karena keterdesakan itulah maka Sang Marucana merasa butuh membuka lahan baru tanpa irigasi. Sayang tidak disebutkan bagaimana gambaran irigasi pada hampir 1000 tahun lalu itu. Tak juga di Prasasti Langsepan II di areal Situs Alas Kota. 


Saya percaya, Imam Jazuli beberapa kali menemukan situs baru di wilayah Jember. Dia arkeolog yang suka melakukan kerja-kerja lapang dan suka membaca tanda-tanda. Baginya, gumuk adalah laboratorium. Ia sama pentingnya dengan gunung-gunung yang mengepung Jember dari empat arah mata angin, sama pentingnya dengan sungai-sungai dan Samudera Hindia yang menjadi batas alam kabupaten Jember sisi selatan. Sudah lama kami tak jumpa. Saya belum bertanya peluang arkeologi dalam menjelaskan sistem irigasi di Jember. Tapi tentu saja ia adalah sebuah peluang yang berpotensi memberi jawaban. 


Sekarang saya ajak Anda untuk menengok desa Kalisat, sebentar saja.

Selain menjadi nama kecamatan, sesungguhnya Kalisat juga dijadikan nama desa, yaitu desa Kalisat di kecamatan Kalisat. Di desa ini ada cerita rakyat tentang Mbah Genduk. Tentang rasa cinta Mbah genduk terhadap istrinya. 

Alkisah pada suatu hari, istri Mbah Genduk sedang mencuci pakaian di seberang sungai. Tiba-tiba terjadi banjir maling. Mbah Genduk yang berada di sisi lain, dengan kemampuan ilmu kanuragannya, dia segera bikin bendungan, hanya agar sang istri dapat menyeberangi sungai yang banjir itu dengan selamat. Segera, air menjadi surut dan istri Mbah Genduk bisa menyeberanginya. Sejak hari itu, lanskap yang Mbah Genduk injak dan sejauh mata memandang, diberi nama desa Kalisat. 

Jadi, asal usul desa Kalisat bermula dari bendungan gaib yang dibuat oleh Mbah Genduk. Begitu menurut cerita rakyat.

Kita terlalu jauh dengan mitos, legenda, juga pendapat dan opini awam. Padahal bila ditelusuri, urusan irigasi dan semacamnya ada di sekitar kita. Seperti asal usul desa Kalisat. Ia bisa saja dalam bentuk yang lain, seperti toponimi, folklor, arsitektur, motif, dan hal-hal serupa itu. Mengapa kita terlalu jauh dengan perkakas-perkakas ilmu pengetahuan leluhur? Mulai dari ilmu perbintangan, obat-obatan, ilmu mineral dan batuan, hingga ilmu memperhatikan. Mungkinkah kita keliru tafsir atas Madilog? Salah mentafsir kata 'maju dan modern?' Atau apa? 


Sebagai penutup, akan saya nukilkan agak panjang sebuah pemikiran dari R. A. van Sandick, dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1913, yang jika diterjemahkan bebas, judul bukunya adalah 'Kuliah tentang subjek kolonial diadakan pada kesempatan pameran pertanian kolonial di Deventer.'



SEJAK KAPAN JAWA MENGENAL IRIGASI?
R. A. van Sandick, 1913


Pertanyaan tentang apakah irigasi memang diperlukan untuk pertanian di Jawa tidaklah relevan. Bukan kita, bangsa Belanda, yang memperkenalkan irigasi kepada orang Jawa. Mereka menerapkannya sejak mereka mengabdikan diri untuk cocok ditanam di sawah. Dan momen itu sudah ada di masa lampau.

Hingga saat ini, diyakini bahwa orang Jawa telah menjadi petani setelah kontak mereka dengan peradaban Hindu, sekitar tahun 700-1500 M. Namun kini para ahli berasumsi bahwa Jawa sudah menjadi negara agraris sebelum masa itu, dan bahkan sebelum kedatangan penjajah Hindu, penduduk asli mengalihkan air dari sungai untuk mengairi sawah. Tak satu pun istilah Jawa kuno yang digunakan dalam pembangunan sawah menunjukkan asal-usul Hindu yang terkenal; istilah-istilah tersebut berasal bukan dari bahasa Sanskerta. Selain itu, di antara masyarakat terkait yang tidak pernah berada di bawah pengaruh Hindu, seperti penduduk pulau Luzon (di Filipina) dan Nugini, irigasi buatan ditemukan. Namun, invasi Hindu secara signifikan meningkatkan dan memperluas penggunaan irigasi. Hal ini tidak mengherankan, karena umat Hindu yang jauh lebih beradab sendiri mencurigai adanya budidaya padi sawah. Sistem irigasi dari zaman Hindu masih ada di Jawa: bahkan terowongan yang dilapisi batu atau sawah.
SEKIAN

TAMASJA NET

0 comments