Geolog Stevanus Bardonsky Leatimea

by - November 20, 2025


Diskusi gumuk/hummock di Sudut Kalisat, 19 November 2025


Innamal a'malu binniyat. Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya. Penggalan dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim itu begitu masyhur dan menempatkan posisi niat di tempat yang terhormat. Saya pun pernah mempraktikkan itu ketika suatu hari berniat bikin sumur dengan satu perkakas kecil saja, yaitu sebuah sendok makan. Dimulai dari galian pertama, sebuah lubang kecil, hingga jangkauan lengan tangan kanan saya sudah ada di batas terakhir. Di titik itulah kemudian hukum kekekalan energi bekerja. Dalam artian, memindahkan energi dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Semacam transformasi energi. 

Lalu datang beberapa teman dengan perkakas yang beraneka macam. Bukan sendok tentunya. Hingga kemudian datang juga seorang laki-laki berumur membawa linggis besar. Teman-teman Mapala yang mengenalnya kerap memanggil lelaki gondrong ini dengan panggilan Om Donsky. Dia mengajarkan kepada saya tentang apa itu innamal a'malu binniyat.


STEVANUS BARDONSKY LEATIMEA


Nama yang unik untuk warga Jember. Ada fam Ambon di sana. Putra dari laki-laki bernama Yohanes Daarsuse Leatimea ini lahir di Jakarta pada Minggu Pahing, 21 Oktober 1951. Oleh orangtuanya, dia diberi nama Stevanus Bardonsky Leatimea. 

"...namun ada kesalahan tulis di kartu ASTEK/JAMSOSTEK, menjadi 1954." Begitu kata Om Donsky. 

Kemarin Om Donsky datang ke Kalisat, di acara diskusi gumuk, series membaca kenangan: "Dipeluk Gumuk Hidup-hidup." Hadir geolog muda kelahiran desa Dukuh Dempok, Jember, Dr. Firman Sauqi Nur Sabila S.T., M.T. Bapak dua anak berumur 28 tahun itu menjelaskan segala hal tentang hamparan gumuk di Jember, dari perspektif geologi.  

Usai materi yang disampaikan secara storytelling oleh Firman Sauqi, dibukalah sesi tanya jawab, dipandu oleh Muhammad Iqbal selaku moderator. Setelahnya, sebelum sesi makan bersama-sama di ruang ingatan, saya sarankan kepada Iqbal untuk memberi waktu pada Om Donsky. 

"Coba Bal, kasih mic," saya bilang sambil tersenyum. 

Om Donsky segera menjawab, "Jangan saya. Cukup yang muda-muda saja. Saya hadir saja sudah suka."

Syukurlah, pada akhirnya Om Donsky bersedia juga pegang mikrofon. Dia memulainya dengan sebuah perkenalan. 

"Kebetulan saya juga seorang geolog, seirama dengan Mas Sauqi. Tapi saya lebih mendalami geologi mineral. Fokusnya di pertambangan. Lima anak saya, lima-limanya lahir di pedalaman. Waktu itu saya kerjanya pindah-pindah. Urus titik-titik tambang."

Ada nada pilu ketika Om Donsky bilang, "Kalau dipikir sekarang, anak-anak saya makan dari uang yang saya dapatkan dari merusak alam." 

Di kesempatan yang lain, Firman Sauqi Nur Sabila mencoba menjelaskan posisi ilmu geologi di dunia ini, bagaimana sejarahnya di periode kolonialisme Eropa sejak abad ke-15, khususnya periode kolonialisme di Indonesia. Namun Firman juga menggambarkan tren geologi dalam sepuluh tahun terakhir yang lebih condong memperhatikan keadilan untuk lingkungan hidup. 

"Saya sudah hidup 74 tahun lamanya. Waktu saya hampir habis."

Om Donsky sungguh berharap anak-anak muda seperti Firman Sauqi Nur Sabila dan para peserta diskusi yang hadir, merekalah yang melanjutkan melakukan pembacaan atas ruang hidup yang ada di Jember. 

"..ya lanskapnya, ya gumuk-gumuknya. Pegunungan Hyang. Sungai-sungai. Pesisir." 

Laki-laki yang mencintai cucu-cucunya ini pernah juga menimba ilmu di Harsbesvile university, New Zealand. Dia bilang, "Tiga tahun saya di sana. Berangkat tahun 1989 dan pulang ke Indonesia pada 17 Mei 1992." Ketika saya tanya, apa yang ia pelajari? Dia hanya menjawab, belajar ilmu terapan untuk lingkungan. 

Kini Om Donsky lebih suka menghabiskan hari-harinya di desa Bedadung dekat Kalisat, menemani cucu, masih aktif di radio amatir, dan waktu luangnya ia manfaatkan untuk menemani adik-adik Mapakesma di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember. 

"Saya lebih enjoy sekarang jadi pamong. Pentasnya buat yang muda-muda saja, Bro." Ia menjawab itu melalui inbox Facebook. 

"Saya tetap mau untuk diajak bergiat apa saja, selagi Tuhan berbaik hati dengan anugerah sehat ini. Jadikan catatan saja. Sejak Nyonya dipanggil Tuhan, saya mencoba lebih dekat dengan anak-anak saya, yang dulu sering saya tinggal-tinggal." 

Itulah mengapa Stevanus Bardonsky Leatimea alias Om Donsky begitu mencintai desa Bedadung, begitu mencintai Jember, begitu mencintai negeri ini. Sebab dia mencintai perempuan yang lahir di pelukan sebuah kota yang ditaburi gumuk/hummock, dari peristiwa longsoran raksasa gunung api. Dia mengajarkan kepada saya apa itu innamal a'malu binniyat. Jika dulu pernah ada sebuah sumur yang pembuatannya hanya dimulai dengan seonggok sendok, dan itu benar-benar berakhir menjadi sebuah sumur berisi air, maka apapun bisa kita lakukan asal bisa memelihara niat. Selanjutnya biarlah semesta yang menyatukan energi-energi yang berserakan itu. 

Terima kasih untuk lelaki yang masih berkerabat dekat dengan Martha Christina Tiahahu, Om Stevanus Bardonsky Leatimea. Selama kenal, barangkali saya ada khilaf, mohon dimaafkan ya Om Donsky. 


Lestari. 


Catatan:

Dokumentasi oleh Nur Hasanudin Haqi. Series Membaca Kenangan: Dipeluk Gumuk Hidup-hidup. Sudut Kalisat, 19 November 2025

TAMASJA NET

0 comments