Tak Boleh Jadi Tentara Hingga Tujuh Turunan
Keluarga Besar Durahem di Sumenep dari pihak Sura'i
TERBAYAR sudah segala lelah perjalanan kami dari Kalisat ke jantung kota Sumenep, Madura. Hampir saja saya melupakan bahwa baru kemarin kami terdampak bencana banjir Jember.
Kapal kami bersandar di pelabuhan Kalianget pada 16 Desember 2025 tepat pukul tiga sore. Kami segera menunggang Supra dan meninggalkan pelabuhan itu untuk menuju penginapan yang sudah dibooking oleh Hana, di Tema Hotel. Dia mencari hotel itu melalui aplikasi online, karena ia punya nilai yang bagus.
Mendekati hotel, kami masih mencari tempat yang nyaman untuk ngopi, di JL. Arya Wiraraja dusun Gunggung. Baru setelah itu kami cekin di hotel.
Ba'da Maghrib, kami sudah di sebuah cafe dekat hotel. Cafe yang cukup besar. Tak ada cafe semegah ini di Kalisat.
Lama kemudian, Cak Taher yang berdomisili di Sidoarjo menelepon. Katanya, "Biar sebentar lagi adik kandungku ke sana, nyamperin kamu." Yang dia maksud adik kandungnya adalah Cak Rasidi. Ya benar, Cak Rasidi datang berdua ke cafe itu bersama istrinya. Dialah yang semalam mengantarkan saya ke rumah De Rina, dan ke rumah Ode Wahed di dekat Koramil Kota di JL. Mahoni, Pangarangan. Satu persatu keluarga saya dari pihak Sura'i datang. Sura'i adalah Bapak kandung Durahem, Bapak saya.
Dari De Rina, saya punya kakak sepupu cer bernama Heru dan Eng. Dari Ode Wahed saya punya kakak sepupu cer bernama Ayu. Kak Ayu tak bersedia memanggil saya dengan sebutan adek. Dek Aim. Dia masih semester lima, ambil jurusan manajemen. Malu katanya, panggil saya dek. Bahkan ke kakak kandung saya dia panggil Tante Tutus. Duh, lopot.
Ibu dari Cak Taher dan Cak Rasidi juga bersaudara kandung dengan De Rina dan Ode Wahed. Beliau sudah almarhumah. Ada juga Ode Sahed, namun beliau juga meninggal dunia. Dari Ode Sahed saya punya saudara sepupu bernama Lis dan Diki. Lis ada di sebuah perumahan di Sumenep kota, Diki kini tinggal di Pulau Kangean. Terakhir jumpa keluarga Ode Sahed ketika saya masih sekolah dasar.
Dulu di masa kecil, Cak Diki yang usianya beberapa tahun di bawah saya, dia suka sekali pada anak ayam kampung. Hanya itu yang saya ingat, ketika mereka menginap di rumah kami di Patrang, Jember.
Ini malam yang layak untuk saya kenang.
Sepulang dari rumah Ode Wahed, saya masih diantar oleh Cak Rasidi dan istri jalan-jalan ke alun-alun kota Sumenep, hingga diantar ke Tema Hotel menjelang pukul duabelas malam.
Kisah malam ini mengingatkan pada pesan leluhur, Jujuk Serimpi, bahwa anak turunnya tidak boleh menjadi tentara seperti layaknya tentara Belanda di masa lalu, atau tentara doreng di masa kini, hingga tujuh turunan. Itu juga berlaku untuk saya, sebab saya cucu Sura'i.

0 comments