Demi Masa

by - Desember 09, 2025


Pameran Ruang Utopia dan Folks, 9 Desember 2025


SAYA berjumpa dengan pemikiran Faiza Maila Ghofur di sudut pameran Muda Mudi Mudo Vol 2: Layers, Ruang Utopia dan Folks. Dia tidak menunjukkan apa-apa selain bingkai kusam, jarum jam, kaca pecah seukuran bingkai jam yang pecahannya menyerupai huruf y yang roboh ke kiri, angka satu hingga angka duapuluh, kaliber, dan seonggok baterai alkaline. Semua dipajang berurutan sesuai angka. Dia diam, terasing, seperti tidak bersedia mencuri perhatian kepada siapa saja yang memasuki Gedung PKM Universitas Jember. Dia tampil biasa saja, dan mungkin juga kesepian. 

Lalu saya teringat catatan kuratorial di luar gedung, yang berlatar hitam kertas karbon dan bertinta keemasan. Di sana, di paragraf pertama tertulis begini. 

"Ketika para pengkarya muda menghadapi realitas yang seringkali tidak memberi ruang nyaman dalam relasi keluarga, pertemanan, lingkungan, maupun pengalaman sosial lainnya, mereka menemukan kegelisahan yang terus berulang. Kegelisahan itu memicu pertanyaan tentang kondisi seperti apa yang semestinya terjadi. Dari sinilah gagasan mengenai dunia ideal mulai muncul secara perlahan, bukan sebagai jawaban yang sudah selesai, tetapi sebagai cara membayangkan kemungkinan lain dari kenyataan yang mereka jalani sehari-hari. Dengan demikian, utopia hadir sebagai simpul yang merangkum upaya mereka memahami ketidakidealan hidup."

Utopia. Itu dia jawabannya. Mimpi tentang sebuah tatanan masyarakat yang tidak ada. Ia seperti cita-cita tamasya di lagunya, 'Antarkan aku ke tempat itu.' Sedangkan itu adalah tempat yang tidak ada. 

Benarkah pengkarya Maila kesepian? Hanya folks yang dapat menjawabnya. 

Folk bermula dari fulka. Dalam aliran musik, folk song yang saya kenal adalah bunyi token listrik yang meraung-raung, dengan ketukan berulang yang dapat membuat pemilik rumah mengalami kondisi pikiran trance

Perjumpaan antara utopis, folks, dan pengkarya bernama Maila mengantarkan kita pada pesan sebenarnya, yaitu Al Ashr. 

Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.

Menjelang pukul dua siang. Pameran sudah akan dibuka di hari pertama. Saya, Hana, dan Anin pamit undur diri pada Alya Aurellia Ananta, Riri, dan tiga anggota Dewan Kesenian Kampus lainnya yang sedang ada di gedung itu. Dari Gedung PKM, kami bergeser nongkrong di WIB untuk beli dawet, lalu melanjutkan perjalanan pulang ke Kalisat. 

Di sepanjang jalan, gerimis turun menyertai kami. Sebentar-sebentar saya tengok Anin di kaca spion. Gerimis semakin rapat, kami bertiga berteduh di balai desa Gumuksari. Ada waktu untuk merokok. Saya menyalakan sebatang toppas sambil merenungkan Al Ashr. 

Apa saja yang saya lakukan selama 50 jam terakhir? 

Saya ingat, dua hari lalu berbincang dengan seorang Suporahardjo Fnu. Ia terjadi di Minggu sore yang mendung, 7 Desember 2025. Saat itu saya dan Hana menemani anak-anak berenang di Tanoker Ledokombo. Ketika Iqbal, Rama, Karin, Nyala dan Resty berenang itulah kami berbincang di gubug 'smoking area' dekat bambu kuning. 

"Mbak Ciciek baru hari ini berangkat ke Bali, Kim. Mana yang lain, kok nggak ikut?" 

"Iya Mas, Dani ada di ruang ingatan bareng Bagus. Mereka belum selesai record lagu."

Lalu kami membicarakan Indonesia. Tentang kisah pilu di Pulau Sumatera, hingga tentang pembungkaman aktivis di masa tenang yang ingatan kolektif masyarakatnya tidak sedang tertuju ke sana. 

Detik terus berlalu, tidak peduli apakah kita mengerjakan kebajikan dan saling menasehati atau tidak. Dia tidak butuh menjadi pusat perhatian. Dia terus saja berdetak, tidak peduli bagaimana kisah selanjutnya antara obrolan saya dengan Suporahardjo Fnu. 

Gerimis tak lagi rapat, kami bertiga melanjutkan perjalanan menuju ruang ingatan di utara stasiun Kalisat. Sesampainya di ruang ingatan, Hana segera memasak. Dia rasanya ingin bilang, "Ayo sebentar lagi kita makan bersama, seperti keluarga pada umumnya." 

Usai Hana memasak, kami benar-benar melakukannya. Makan bersama. Saya, Hana, Anin, Dani, Iqbal. Mega Silvia tak ikut makan, dia kenyang. Resty datang terlambat. Hafid juga. Saat makan bersama itulah saya baru sadar, rumah kolektif kami tak punya jam dinding yang jarumnya bisa berputar dari kiri ke kanan. Saya dan Hana juga tak memilikinya. Namun kami mengerti, dengan atau tanpa jam dinding, detik akan terus berjalan memanen usia kita. 

Terima kasih Dewan Kesenian Kampus FIB Universitas Jember yang telah menghadirkan pameran segar ini. Saya bahagia dapat mengalami peristiwa nonton pameran ketika panitia masih toto-toto, dan berjumpa dengan 'demi masa.'  Dia yang diam, terasing, dingin, tak mencolok, dan mungkin juga kesepian, namun dia adalah satu di antara sekian karya yang memberi kesan hangat. Lalu kesan itu saya bawa pulang.  

TAMASJA NET

0 comments