Bikin Hutan Kecil dengan Metode Miyawaki Forest

by - Desember 07, 2025

Merakit Hutan Miyawaki di halaman belakang, 20 Desember 2020


Catatan tentang 'bikin hutan kecil' dengan menerapkan metode Miyawaki ini pernah saya unggah di status Facebook tertanggal 20 Desember 2020 pukul 15.39. Semoga bisa menjadi catatan sebelumnya berjudul, Mengapa Saya Belajar Miyawaki Forest. Jika ada yang bertanya, mengapa luasan hutan Miyawaki yang saya rancang sejak lima tahun lalu ini ukuran minimalnya 'melanggar' standart dari Profesor Akira Miyawaki, juga sudah saya jelaskan di catatan tersebut. 

Bikin Hutan Kecil

Ada empat langkah yang saya lakukan. Pertama, menentukan lokasi dan mempersiapkan vegetasi lokal. Kedua, mempersiapkan lahan. Lalu langkah ketiga adalah memulai menanam. Saya baru memulai menanaminya pada tiga hari lalu. Masih belum sempurna, juga belum ada mulsa alami sebagai penjaga kelembaban tanah. Langkah terakhir tentu adalah pemeliharaan. 

Rupanya proses paling sulit bagi saya adalah langkah pertama, ketika sedang mempersiapkan tumbuhan lokal Indonesia. Maka saya memadukannya dengan bibit tumbuhan asing yang tidak invasif, di antaranya adalah satu bibit pohon kopi, serta satu bibit jambu biji Australia yang memang diintroduksi dari Australia. 

Di masa perawatannya kelak—dirancang selama 700 hari—hutan kecil ini akan didominasi oleh tanaman lokal. Mulai dari mulsa, semak, perdu, pohon. 

Di Kalisat, ada beberapa jenis tumbuhan asing yang invasif karena ketiadaan musuh alami. Di antaranya adalah sembung rambat alias Mikania micrantha. Ketika merambat tak terkendali, ia bisa menutupi pohon mangga dewasa dan membuat si pohon mati. Ada juga rumput minjangan alias Chromolaena odorata. Tumbuhan lokal Texas dan Florida ini bisa hidup subur di tumpukan batu ballast di utara stasiun Kalisat. Saya baca di Mongabay, dulu, rumput minjangan tidak sengaja masuk ke Sumatera kemudian menyebar di Indonesia melalui perdagangan produk pertanian. Ia serupa junggulan alias sintrong alias Crassocephalum crepidioides yang tidak sengaja masuk ke Indonesia karena terbawa dari biji kopi asal Brazil.

Tumbuhan asing dari Amerika Selatan yang masih bisa dikontrol oleh manusia namun sering melukai telapak kaki saya adalah putri malu. 


Di kolom komentar, saya tambahkan catatan berikut.

Teman-teman yang ingin bikin hutan dengan ukuran yang jauh lebih besar, mungkin bisa belajar prinsip ekologi tanah dan juga silvikultur. Atau bila ingin konsep hutan permakultur (permanen agrikultur dan permanen kultur), ada banyak bahan melimpah di internet. Di antaranya bisa mengikuti cara-cara yang disampaikan oleh Geoff Lawton di YouTube, mengenai food forest dan juga mengenai permakultur.

Apa yang saya lakukan tentang 'bikin hutan kecil' seperti yang tertulis di atas adalah iseng. Hanya karena ingin tahu apa itu Metode Miyawaki.

Bagi saya, metode yang sudah lama diperkenalkan oleh Prof. Akira Miyawaki adalah menarik. Bikin hutan (aforestasi) dengan menggunakan tumbuhan lokal, dirancang hutan menjadi lebat berlapis-lapis. Penataan jarak tanam sengaja dirancang rapat sekali dari pohon besar (disebut spesies pohon utama), perdu atau sub-spesies, semak, lalu paling bawah adalah tanaman penutup tanah. Keempatnya diharapkan saling berinteraksi, saling menopang, dan tak butuh banyak campur tangan manusia.

Di Indonesia, metode Miyawaki tentang aforestasi (bikin hutan di areal yang sebelumnya bukan hutan) mirip dengan konsep Taman Keanekaragaman Hayati yang digagas oleh Yayasan Kehati.

Keisengan ini rupanya membawa saya untuk mengenal lebih jauh apa saja tumbuhan endemik Indonesia, dan apa saja tumbuhan asing baik yang invasif maupun yang bisa dikendalikan, beserta sejarah yang menyertainya.

Tidak ada sawit di hutan kecil. Selain tidak masuk akal dengan luasan lahannya, sawit baru didatangkan ke Indonesia pada Februari 1848. Mula-mula hanya dua tanaman sawit saja, dan ditaruh di Kebun Raya Bogor. 


Perkembangan hutan kecil selama 16 hari pertama, 5 Januari 2021


Hanya berjarak 16 hari, meskipun masih tampak gersang, koleksi tanaman setempat sudah mulai bertambah. Pot-pot yang tadinya digunakan sebagai pembatas di sebelah kanan foto, kini sudah mulai digeser oleh pagar tanaman hidup. Lubang tanah di sebelah kiri sudah terisi oleh sampah-sampah organik sisa dapur. Saya juga sudah memelihara cacing. Tidak beli jenis cacing tertentu memang, hanya mengumpulkan indukan dari sekitar. Ini penting, sebab merancang hutan sama dengan memelihara tanah. 

Catatan saya di Facebook tertanggal 5 Januari 2021, tanpa judul, ia bercerita tentang bagaimana pohon bertumbuh. Akan saya sertakan di sini untuk teman-teman. 


APAKAH ANDA PERNAH MELIHAT POHON TUMBUH

Apakah Anda pernah melihat pohon tumbuh? Mereka begitu perlahan, butuh waktu lama, sunyi. Ia berjuang dengan tak sak kasak. Tiba-tiba ketika semuanya telah menjadi kuat, dari ujung daun hingga ujung akar, tanpa kita sadari mereka telah mempersembahkan diri pada kehidupan. Mereka memberikan potensi terbaiknya kepada sesama tumbuhan, kepada hewan, dan kepada kita, hingga tercipta ketahanan ekologi yang alangkah indahnya.

Tumbuhan adalah mahluk sosial, tentu saja. Ilmu yang menjelaskan interaksi antar tumbuhan disebut fitososiologi. Saya sendiri tidak mengerti apa-apa tentang fitososiologi, selain dari hasil konsultasi saya dengan mesin pencari. Jika tak sedang iseng mempelajari metode aforestasi dari seorang botani Jepang Akira Miyawaki, mungkin saya tidak perlu mencoba memahaminya.

Metode Miyawaki memang gabungan antara fitososiologi dengan potential natural vegetation/potensi vegetasi alami. Bagaimana meramu keduanya agar bisa membangun sebuah hutan buatan berukuran kecil yang rapat, dengan konsep lebih sedikit lahan dan lebih banyak pohon dari spesies lokal.

Apakah saya telah bisa mempelajari metode aforestasi tersebut? Saya kira, tidak ada cara yang paling benar untuk merancang hutan Miyawaki. Ada beberapa hal mendasar yang saya terabas, dua di antaranya adalah ukuran hutan yang saya bikin hanya seluas meja ping pong—yang seharusnya minimal seukuran lapangan tenis—serta tentang pemilihan bibit. Tak semua bibit yang saya tanam adalah spesies lokal, ada juga bibit pohon hasil introduksi. Ia semacam naturalisasi.

Berikut (foto di atas) adalah hutan Miyawaki hasil rancangan saya. Posisinya ada di antara gazebo, kamar mandi, green house anggrek dan bunga hias milik Hana, koleksi puring, penampungan air hujan, karang kitri, kandang ayam kesayangan, dan tiga lubang kompos. Maaf bila fotonya agak buram. Saya memotretnya sore menjelang maghrib.

Apakah Anda pernah melihat pohon tumbuh? Ia begitu pelan, di kota Jember yang serba enger ini.

TAMASJA NET

0 comments