Mengapa Saya Belajar Miyawaki Forest
Jogja di bulan September 2019
Catatan ini berisi tentang mengapa dulu saya merasa butuh belajar bikin hutan dengan metode Miyawaki. Keresahan itu bermula ketika saya dan Hana berada di Jogja pada bulan September 2019. Kami bahkan sempat mengunjungi Kampung Buku Jogja #5 yang diselenggarakan di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosumantri Universitas Gajah Mada, jumpa dengan para penulis, jumpa pula dengan Soesilo Toer, saudara kandung Pramoedya Ananta Toer. Soesilo sungguh sederhana, tak kentara bila ia lulusan perguruan tinggi di Moskow dan pemilik pemilik gelar master serta doktor ekonomi politik. Saat itu kami diskusi sambil lesehan santai, bicara seputar masa depan lingkungan hidup di negeri ini.
Seperti biasa ketika harus ke kota ini, kami memanfaatkan moda transportasi kereta api jalur Kalisat - Lempuyangan. Biasanya kunjungan kami hanya tiga sampai tujuh hari saja. Tapi saat itu kami berlama-lama di Jogja. Memanfaatkan waktu dengan baik untuk jumpa para pemikir muda Jember yang ada di sana. Mereka adalah Yongky Gigih Prasisko, Fahmi Hilmi, Niken Wresthi, dan lainnya. Kebetulan saat itu Vindri juga ada di sana.
Saya dan Hana ke Cemeti - Institute for Art and Society, lalu ke Library Center di keramaian Malioboro, dan punya kesempatan langka berbincang dengan sahabat lama pemilik Toko Hitam. Dodit Sulaksono. Dulu dia menghabiskan usia terbaiknya di Jember sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Jember.
Di kesempatan yang lain Mas Puthut EA mengajak kami berdua nongkrong di Berdikari Book. Di sana kami jumpa lagi dengan Dodit Sulaksono. Senang sekali. Ada juga penulis dan pemikir yang sebelumnya (2016) pernah ke rumah kami di Kalisat, Mas Irfan Afifi. Kini, selain aktif di lembaga Ifada Initiatives, dia juga mencurahkan energinya di Langgar (titik) co. Di sana ia banyak membicarakan suluk kebudayaan Indonesia. Irfan Afifi pula yang dulu mengusahakan perjumpaan antara saya dengan Dr. Sri Margana, S.S., M.Hum. pada pertengahan Oktober 2016.
Sementara itu, iklim politik di Indonesia semakin memanas paska Pemilu 2019. Apalagi pada 16 Juni 2019, saat menghadiri halalbihalal dengan Aktivis 98 di Jakarta, Jokowi bilang tak punya beban apa-apa.
"Saya dalam lima tahun ke depan insya Allah sudah tidak memiliki beban apa-apa. Jadi keputusan-keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini, akan kami kerjakan karena saya sudah tidak memiliki beban apa-apa," kata Presiden Jokowi.
Sungguh kalimat yang bersayap. Orang jadi ketar-ketir karenanya.
Tak butuh waktu lama untuk membuktikannya, di sepanjang 23 September hingga penghujung September 2019, ramai demonstrasi dimana-mana. Ia melahirkan perlawanan bertajuk #ReformasiDikorupsi
Di Jogja, mereka pakai judul Gejayan Memanggil.
Aksi besar-besaran #ReformasiDikorupsi terjadi merata di seluruh negeri ini. Satu tahun kemudian, kenyataan pahit tersebut dipungkasi oleh pengesahan Undang-undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020. Di sanalah pasal 18 Undang-undang Kehutanan diubah, yang sebelumnya diatur dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999. Hutan semakin dihabisi, di antaranya dengan dihapusnya kewajiban mempertahankan minimal 30% kawasan hutan di setiap Daerah Aliran Sungai (DAS) atau pulau.
Sejak Undang-undang Cipta Kerja disahkan, hari itu juga saya berpikir untuk mengulang belajar tentang hutan. Kembali membaca buku, cari-cari informasi secara online, tanya teman, dan menginjakkan kaki ke hutan terdekat yang dusun terakhirnya di batas hutan bisa saya jangkau dengan motor supra.
Keresahan pada ekosistem hutan dan lingkungan hidup berjumpa dengan Covid 19.
Pada 2 Maret 2020 Presiden Joko Widodo secara resmi mengumumkan adanya dua orang di Indonesia yang positif terjangkit virus korona. Saat itu saya dan Hana berada di Jogja. Buku saya yang diterbitkan oleh Penerbit Pinggir, Durahem, diterbitkan pada 5 Maret 2020. Pengumuman resmi dari Presiden RI baru terjadi pada 15 Maret 2020, bahwa Indonesia memprioritaskan pencegahan penyebaran virus, dengan menggunakan Undang-undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ia tentang jaga jarak, work from home, dan masyhur saat itu istilah lockdown.
Itu yang saya maksud, tentang keresahan pada ekosistem hutan dan lingkungan hidup berjumpa dengan Covid 19. Sekalian belajar tentang hutan, sekalian banyak-banyak belajar di ruang yang sepi, sekalian menghindari kerumunan kecuali di kampung sendiri.
Belajar tentang hutan, lockdown, di rumah saja, banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku dan telusur dunia maya, membuat saya mengenal sistem aforestasi dengan metode yang ditawarkan oleh Profesor Akira Miyawaki. Saya kira tiga-tiganya adalah perpaduan yang tepat, mengapa saya mempelajari aforestasi metode Miyawaki. Semua itu tentang keresahan, waktu senggang, kesempatan, gengguk, dan hasrat ingin tahu. Maka sepanjang 5 Oktober hingga 5 Desember 2020, saya sudah mempelajari metode Miyawaki secara teoritis. Langkah berikutnya setelah 5 Desember 2020 adalah praktik. Terapan. Saya melakukannya di halaman belakang rumah kontrakan, sedikit mengsle dari metode Miyawaki dikarenakan kondisi ruang yang sempit, namun itu justru melahirkan inovasi dan metode-metode baru yang akhir-akhir ini sesekali saya perkenalkan sebagai metode tamasya ekosistem berbasis Miyawaki forest.
Saya menulis sebuah catatan pendek di Facebook, di bulan Desember 2020, tentang improvisasi yang saya lakukan. Berikut akan saya tulis ulang untuk teman-teman.
HUTAN SELUAS MEJA PINGPONG
Oleh: RZ Hakim
Jumat, 25 Desember 2020
Oleh: RZ Hakim
Jumat, 25 Desember 2020
Tentu saja Profesor Akira Miyawaki, ahli botani Jepang itu, tak merancang metode 'Miyawaki Aforestasi' di lahan seluas meja pingpong alias table tennis. Hutan kecil yang dia maksud dirancang setidaknya seukuran lapangan tenis, dengan perkiraan per meter persegi dapat ditanami tiga hingga empat bibit tanaman lokal, berharap bangunan hutan kecil dengan metode Miyawaki akan melahirkan tingkat keragaman yang tinggi serta tak mudah ditembus.
Di Kalisat, saya menerapkan metode Miyawaki di lahan seluas meja pingpong. Karena hanya sebesar itulah lahan percobaan yang memungkinkan. Akibatnya, saya harus berani bikin terobosan-terobosan baru, apalagi terkait biaya. Cara-cara yang dilakukan oleh Miyawaki memang terbilang mahal. Sepertinya biaya untuk reforestasi dan reboisasi lebih murah dibanding aforestasi.
Ukuran paling mahal menurut saya adalah merubah paradigma dari sekadar menanam pohon menjadi menciptakan hutan.
Secara mendasar, meskipun melakukan praktik di lahan sangat mini, saya masih menggunakan metode tersebut. Misalnya, hutan dirancang sepenuhnya bebas pupuk kimia. Juga, mengutamakan pemilihan bibit tanaman lokal. Hari ini saya menambahkan empat bibit tanaman lokal di hutan mini itu, yaitu awar-awar alias ficus septica, bibit waru, pace alias mengkudu, dan bibit sukun. Semua itu adalah bibit tanaman yang ada di sekitar rumah kontrakan. Tak ada yang saya dapat dari membeli.
Masih banyak sekali yang butuh saya pelajari dari metode ini, tentu saja. Ia bukan metode yang sempurna, namun ia adalah sebuah keisengan yang menarik.
Teman-teman, bila sempat dan semisal ada ruang kosong, mari membangun hutan mini.
_____
Rupanya saya juga punya catatan lain di hari yang sama, 25 Desember 2020, yang tidak saya publikasikan kemana-mana. Beberapa di antaranya hanyalah kutipan. Berikut akan saya sertakan juga untuk teman-teman.
Hutan yang tidak bisa ditembus, untuk menjaga kekayaan alamnya. Hutan yang sepenuhnya bebas pupuk kimia yang menopang dirinya sendiri dan mendukung keanekaragaman hayati lokal. Idenya adalah untuk meniru alam sambil menciptakan bagian kecil dari pulau-pulau kecil yang disebut hutan Miyawaki
Masalahnya, metode ini bisa jadi memakan biaya yang tinggi. Mengingat bahwa lahan perkotaan biasanya dalam keadaan terdegradasi, biaya penyiapan tanah dan lahan bisa jadi melambung tinggi. Kedua, ini adalah perkebunan yang lebat. Jumlah anakan (bibit) yang dibutuhkan bertambah, sehingga menambah biaya.
Perubahan paradigma dari sekedar menanam pohon menjadi menciptakan hutan. Perlu waktu untuk mengatakan bahwa hasilnya adalah tigapuluh kali lebih baik
Kelompok konservasi menekankan bahwa hutan Miyawaki tidak boleh dilihat sebagai alternatif untuk melindungi hutan asli yang ada. Kawasan hutan kecil yang tidak terhubung tidak akan pernah bisa menggantikan kawasan hutan yang luas yang penting bagi begitu banyak spesies, dan yang tetap terancam oleh perkebunan komersial dan pertanian dengan konsep tradisional tebang dan bakar. Tetapi jika kita memiliki sepetak tanah kosong di kolektif kita sendiri, dan tanah itu menganggur, hutan Miyawaki bisa menjadi salah satu cara untuk membantu lingkungan, dan membantu agar tanah yang menganggur itu punya daya manfaat.
Berikut adalah kutipan yang saya ambil dari MR Hari, direktur pelaksana Invis Multimedia, Thiruvananthapuram.
“Hutan alam membutuhkan waktu 100 tahun untuk tumbuh. Namun dalam metode Miyawaki, dimana tanaman bersaing untuk mendapatkan sinar matahari, dan karena itu cenderung tumbuh ke atas lebih cepat daripada ke samping, kami mendapatkan hasil yang sama dalam waktu sekitar 20 - 25 tahun. Ini akan menjadi hutan yang tumbuh dengan baik dalam waktu 5 - 10 tahun. Sangat memungkinkan bagi kita untuk melihatnya terbentuk, di masa ketika kita masih hidup."
Catatan berikutnya entah saya dapatkan dari mana, mungkin dari email Bapak Miyawaki di masa hidupnya. Saya belum melacak arsipnya. Akan saya tampilkan di sini.
_____
Rupanya saya juga punya catatan lain di hari yang sama, 25 Desember 2020, yang tidak saya publikasikan kemana-mana. Beberapa di antaranya hanyalah kutipan. Berikut akan saya sertakan juga untuk teman-teman.
Hutan Miyawaki.
Tingkat keragaman yang tinggi adalah yang terpenting.
Hutan yang tidak bisa ditembus, untuk menjaga kekayaan alamnya. Hutan yang sepenuhnya bebas pupuk kimia yang menopang dirinya sendiri dan mendukung keanekaragaman hayati lokal. Idenya adalah untuk meniru alam sambil menciptakan bagian kecil dari pulau-pulau kecil yang disebut hutan Miyawaki
Masalahnya, metode ini bisa jadi memakan biaya yang tinggi. Mengingat bahwa lahan perkotaan biasanya dalam keadaan terdegradasi, biaya penyiapan tanah dan lahan bisa jadi melambung tinggi. Kedua, ini adalah perkebunan yang lebat. Jumlah anakan (bibit) yang dibutuhkan bertambah, sehingga menambah biaya.
Perubahan paradigma dari sekedar menanam pohon menjadi menciptakan hutan. Perlu waktu untuk mengatakan bahwa hasilnya adalah tigapuluh kali lebih baik
Kelompok konservasi menekankan bahwa hutan Miyawaki tidak boleh dilihat sebagai alternatif untuk melindungi hutan asli yang ada. Kawasan hutan kecil yang tidak terhubung tidak akan pernah bisa menggantikan kawasan hutan yang luas yang penting bagi begitu banyak spesies, dan yang tetap terancam oleh perkebunan komersial dan pertanian dengan konsep tradisional tebang dan bakar. Tetapi jika kita memiliki sepetak tanah kosong di kolektif kita sendiri, dan tanah itu menganggur, hutan Miyawaki bisa menjadi salah satu cara untuk membantu lingkungan, dan membantu agar tanah yang menganggur itu punya daya manfaat.
Berikut adalah kutipan yang saya ambil dari MR Hari, direktur pelaksana Invis Multimedia, Thiruvananthapuram.
“Hutan alam membutuhkan waktu 100 tahun untuk tumbuh. Namun dalam metode Miyawaki, dimana tanaman bersaing untuk mendapatkan sinar matahari, dan karena itu cenderung tumbuh ke atas lebih cepat daripada ke samping, kami mendapatkan hasil yang sama dalam waktu sekitar 20 - 25 tahun. Ini akan menjadi hutan yang tumbuh dengan baik dalam waktu 5 - 10 tahun. Sangat memungkinkan bagi kita untuk melihatnya terbentuk, di masa ketika kita masih hidup."
Catatan berikutnya entah saya dapatkan dari mana, mungkin dari email Bapak Miyawaki di masa hidupnya. Saya belum melacak arsipnya. Akan saya tampilkan di sini.
Hutan Miyawaki yang ditanam oleh hutan kota tumbuh minimal satu meter setiap tahun, tanpa bahan kimia atau pupuk sintetis.
1. Hutan mempercantik daratan dan membuat lingkungan lebih menyenangkan bagi semua orang di sekitarnya
2. Hutan meningkatkan kualitas udara
3. Vegetasi menurunkan tingkat kebisingan dan mengatur suhu.
4. Tanah lebih terlindungi. Erosi dan risiko banjir berkurang secara efektif.
5. Hutan menyediakan habitat yang bagus untuk keanekaragaman hayati.
6. Hutan menyimpan sejumlah besar CO² yang tidak lagi tinggal di atmosfer.
Selanjutnya adalah catatan tentang manfaat membuat hutan. Lebih ke pentingnya aforestasi atau bikin hutan di wilayah yang tadinya bukan hutan. Sedangkan Indonesia lebih akrab dengan istilah reforestasi dibandingkan aforestasi.
Sepertinya catatan berikut adalah hasil terjemahan bebas dari sebuah esai, entahlah saya lupa.
Itulah mengapa aforestasi sangat penting untuk kelangsungan kehidupan di planet kita, yang kita tahu, bumi memanas dengan cepat sekaligus kehilangan keanekaragaman hayati ekologisnya secara dahsyat.
Catatan terakhir yang saya temukan, tertanggal 25 Desember 2020 adalah berikut ini.
Selanjutnya adalah catatan tentang manfaat membuat hutan. Lebih ke pentingnya aforestasi atau bikin hutan di wilayah yang tadinya bukan hutan. Sedangkan Indonesia lebih akrab dengan istilah reforestasi dibandingkan aforestasi.
Sepertinya catatan berikut adalah hasil terjemahan bebas dari sebuah esai, entahlah saya lupa.
Bukan rahasia lagi bahwa bumi dengan cepat kehilangan hutannya. Hanya antara tahun 1990 - 2015 dunia kehilangan 129 juta hektar hutan. Deforestasi bertanggung jawab atas sekitar 5 miliar ton, atau 17 persen , emisi karbon global tahunan. Belum lagi erosi tanah dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Sebaliknya, menciptakan hutan memiliki banyak manfaat. Hutan menghilangkan karbon dalam jumlah besar dari udara dan menyimpannya di daun, cabang, batang, akar, dan tanah. Hutan tropis sendiri menyimpan seperempat triliun ton karbon, menurut WWF. Pohon yang lebih tua menyimpan lebih banyak karbon, sementara pohon yang lebih muda menghilangkan, atau menyerap lebih banyak karbon . Hutan mendinginkan udara dan menghasilkan oksigen, ditambah lagi hutan membersihkan air kita dan mengatur curah hujanserta angin.
Mereka juga menampung delapanpuluh persen keanekaragaman hayati darat kita, mengurangi erosi tanah, menghentikan penggurunan, dan mengurangi dampak banjir.
Hutan yang baru ditanam (dapat) memperbaiki lahan yang terdegradasi oleh pertambangan, perluasan perkebunan, dan ternak yang digembalakan secara berlebihan.Bikin hutan juga membantu dalam mengurangi limpasan pupuk ke sungai yang menyebabkan pertumbuhan alga. Hutan buatan juga tentang menciptakan rumah bagi satwa liar sepeeti burung-burung, dan lainnya.
Catatan terakhir yang saya temukan, tertanggal 25 Desember 2020 adalah berikut ini.
Hutan kecil dirancang agar sesuai dengan area kecil - sekitar 200 meter persegi atau kira-kira seukuran lapangan tenis, agar cocok untuk daerah perkotaan yang kekurangan ruang.
Meskipun metode ini bekerja dengan baik di petak kecil ruang publik, otoritas kota harus terus fokus pada kegiatan penghijauan secara teratur, ketika ada area yang lebih luas tersedia.
Penghijauan dengan metode Miyawaki harus dilakukan di lahan publik agar bisa bermanfaat bagi semua orang. Juga menghindari penanaman pohon dengan nilai komersial.
Tidak ada cara yang benar untuk melakukan hutan Miyawaki. Selama kita merawat hutan sebagai upaya berkelanjutan, itu adalah cara yang baik untuk meningkatkan tutupan hijau.
Jadi, berapa banyak ruang yang kita butuhkan untuk menumbuhkan hutan?
_____
Saya mempelajari metode ini, mencoba mewujudkannya di halaman belakang dengan bahan baku seminimal mungkin. Saya beruntung sebab tinggal di Kalisat, dimana pohon-pohon local masih tumbuh di hamparan gumuk/hummocks yang juga dikenal karena punya humus yang bagus.
_____
Saya mempelajari metode ini, mencoba mewujudkannya di halaman belakang dengan bahan baku seminimal mungkin. Saya beruntung sebab tinggal di Kalisat, dimana pohon-pohon local masih tumbuh di hamparan gumuk/hummocks yang juga dikenal karena punya humus yang bagus.
Hingga hari ini, ketika genap lima tahun saya mempelajari metode Miyawaki, saya tidak pernah merasa tertekan dan terbebani. Meskipun hutan Miyawaki milik saya telah berganti fungsi menjadi arboretum bernama tamasya ekosistem.
Saya juga temukan catatan lain tertanggal 7 Desember 2020 yang banyak mengupas tentang karbon netral, udara di rumah kami menjadi semakin membaik, dan alasan mengapa saya memilih untuk tidak bergabung di grup sukarelawan metode Miyawaki di seluruh dunia.
Teman-teman, catatan lain tentang arboretum tamasya ekosistem berbasis Miyawaki Forest akan saya lanjutkan di lain waktu secara bertahap.
Jadi, mengapa saya dulu memilih belajar bikin hutan dengan metode Miyawaki? Ya, karena resah. Diperparah oleh Undang-undang Cipta Kerja, disempurnakan oleh waktu senggang di masa pandemi, dan ditakdir jumpa dengan metode ini.
Terima kasih.
Teman-teman, catatan lain tentang arboretum tamasya ekosistem berbasis Miyawaki Forest akan saya lanjutkan di lain waktu secara bertahap.
Jadi, mengapa saya dulu memilih belajar bikin hutan dengan metode Miyawaki? Ya, karena resah. Diperparah oleh Undang-undang Cipta Kerja, disempurnakan oleh waktu senggang di masa pandemi, dan ditakdir jumpa dengan metode ini.
Terima kasih.

0 comments