Capung dan Bahaya Laten Banjir Bandang serta Longsor di Jember

by - Desember 12, 2025

Mirip Amphiaeschna ampla. Warung WIB, 11 Desember 2025


Saya tak menyangka akan berjumpa dengan salah satu jenis capung kesukaan saya di sebuah warung di lingkungan Panji, kelurahan Tegalgede, Sumbersari, Jember. Tepatnya di warung bernama WIB di JL. Danau Toba II Gang Buntu, paling ujung sendiri. Saya melihatnya justru ketika kami sudah hendak pulang ke Kalisat, di sore yang gerimis. Dia tampak anggun, bertengger di krei bambu di atas bangku warung paling timur. Saya memotretnya dengan hati-hati, namun hasilnya buram. Dengan mengendap-endap, saya mencoba untuk menangkapnya. Berhasil. Lalu kami mendokumentasikannya. Sayang saya tak bawa penggaris dan alat-alat dasar dalam pengamatan capung. 

Jika dilihat sekilas, dia mirip dengan capung jenis Amphiaeschna ampla. Syukurlah saya segera mengerti bila si capung yang elok ini berjenis Gynacantha subinterrupta. 

Dulu sekali, pada 2 November 2013, saya pernah jumpa dengan Gynacantha subinterrupta di resepsi pernikahan Cak Nanang dan Mbak Elis di JL. Bengawan Solo Jember. Jaraknya dengan warung WIB milik Gama mungkin hanya satu kilometer saja. Keduanya sama-sama di lingkungan Kampus Bumi Tegalboto.

Didominasi warna cokelat pekat dan cokelat muda, ada juga sedikit sleret kebiruan dan kehijauan.  

Capung yang saya jumpai di WIB mengingatkan pada masa-masa dulu, antara 2008 - 2013. Waktu itu saya suka sekali melakukan pengamatan capung. Tapi merasa tak punya teman, hanya sedikit orang yang punya hobi itu. Lebih umum adalah pengamatan burung alias birdwatching. Saya melakukan itu saat mencoba menghilangkan rasa kehilangan mendalam setelah Ibu saya meninggal dunia pada Sabtu sore, 24 Mei 2008. Hobi pengamatan capung di Indonesia baru semarak pada 2013, ketika saya dan tamasya band lebih suka menjadi teman bagi mereka yang sedang bikin gebrakan Save Gumuk di Jember. Namun saya masih bisa melacak catatan-catatan saya sendiri di sepanjang 2013 - 2014 terkait keberadaan capung di Jember. 


Gynacantha subinterrupta, 11 Desember 2025


Bila tak terkena sorot cahaya dari depan, capung Gynacantha subinterrupta ini lebih didominasi oleh warna cokelat kehitaman dan cokelat muda. Belang-belang seperti corak capung pancing Jawa alias Paragomphus reinwardtii yang bercorak hitam dan kuning. Tapi saya bukan seorang naturalis berlatar biologi. Jadi bila keliru, tolong beritahu saya. Siapa tahu dia bukan jenis Gynacantha subinterrupta seperti yang saya yakini selama ini.

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah kondisi alam warung WIB masih memiliki kandungan air yang bagus? Mengingat capung adalah indikator keberadaan air bersih. Saya kira begitu. WIB itu singkatan dari Warung, Ikan, dan Burung. Tapi saya tetap menulisnya Warung WIB, selayaknya orang menyebut BRI dengan Bank BRI. Mungkin biar nyaman saja. Lokasi warung yang tak jauh dari DAS Bedadung juga menjadi pertimbangan lain. Rumah pasutri Nanang Nbk dan Elis yang di JL. Bengawan Solo juga dekat dari jembatan Semanggi yang di bawahnya mengalir aliran sungai Bedadung.

Harapan tentang air bersih di Jember kota. 

Sebenarnya, selain kantong-kantong plastik berisi sampah rumah tangga yang banyak menghiasi sungai dan selokan-selokan di Jember wilayah kota, masih ada harapan tentang air bersih. Capung Gynacantha subinterrupta mengingatkan kita pada harapan itu. Dunia capung juga butuh hidup dan berkehidupan di kota Jember. Ruang hidupnya tentu juga menjadi tanggung jawab Bupati Jember Muhammad Fawait, S.E., M.Sc., DPRD Jember, dinas-dinas terkait, juga kita semua sebagai masyarakat Jember. Mari kita beri ruang yang adil kepada dunia capung. Tanpa keberadaan air bersih, capung hanyalah tinggal cerita. 

Negeri kita punya perguruan tinggi yang berlimpah, demikian pula dengan Jember. Kota ini bahkan dijuluki sebagai kota pendidikan di Jawa Timur. Akan baik bila ada riset-riset mandiri tentang capung, hubungannya dengan mata air dan gumuk-gumuk di Jember, hutan Merubetiri, Pegunungan Hyang - Argopuro, dan sebagainya. Dari riset mandiri, bisa kita perjumpakan dengan dunia akademis.

Kita boleh lho bertanya kepada teman-teman akademisi. Apalagi pada para dosen muda. Mereka itu berpikir terbuka, bersedia kita tanya pendapatnya. Atau bila perlu, bersedia menemani kita melakukan diskusi-diskusi kecil, baik di ruang maupun di lapang. Mereka sudah lelah dengan jopdesk yang bertumpuk-tumpuk, sudah waktunya kita bantu kembalikan posisi mereka sebagai elit intelektual. 

Jember rawan banjir bandang dan longsor. 

Barangkali melalui riset-risetan tentang capung, kita menjadi tahu bahwa Jember punya riwayat banjir bandang dan longsor di sepanjang DAS dari hulu Pegunungan Hyang - Argopuro.

Barangkali melalui capung, kita jadi mengerti bahwa risiko banjir bandang akan naik jika deforestasi mencapai lebih dari 30 persen area tangkapan air. Apalagi bab ini sudah dihapus dengan beringas oleh Undang-undang Cipta Kerja sejak 5 Oktober 2020. Ya, sejak si sapu jagad itu disahkan. Ia benar-benar menyapu jagad hutan dan daerah aliran sungai kita. 

Barangkali bersama capung kita akan memahami bahwa longsor akan meningkat jika kemiringan lereng lebih dari 25 derajat kehilangan akar pohon dalam radius limapuluh meter. Lihatlah lereng-lereng di sepanjang Hyang, bukan hanya di sekitaran Danau Tunjung saja. Mari kita memahaminya melalui capung. 

TAMASJA NET

0 comments