Overste Sroedji
SROEDJI anak nomor dua dari tujuh bersaudara. Kakak lelakinya bernama Mochtar. Lima adik kandungnya masing-masing bernama Ukim, Mardiyah, Zubaedah, dan Fatimah. Paling bungsu bernama Minah. Dua adiknya yang terakhir, Fatimah dan Minah, mereka lahir di Kediri. Sedangkan lima lainnya, semuanya lahir di Bangkalan. Itulah mengapa Sroedji memiliki dua ruang bertumbuh di masa kecil, Bangkalan dan Kediri.
Orangtua Sroedji hidup sebagai pedagang. Hasan dan Amni. Jalan hidup niaga membuat mereka terbiasa berkeliling antar desa. Sedangkan kepindahan mereka dari Madura ke Kediri, selain alasan ekonomi, di Kediri mereka punya tempat jujugan. Ada saudara di sana. Selama di Kediri, mereka tinggal di kecamatan Gurah, Kediri, tepatnya di dusun Kauman.
Semisal dibuatkan curriculum vitae, kira-kira jadinya akan seperti ini.
1 Februari 1915: Mochamad Sroedji lahir di Bangkalan, Madura, dari pasangan Hasan dan Amni.
1922 – 1929: Memasuki usia tujuh tahun, Sroedji sekolah di Hollandsch-Inlandsche School Kediri.
1929: Tamat dari Hollandsch-Inlandsche School, Sroedji melanjutkan proses belajarnya di sekolah teknik pertukangan Ambactsleergang di Malang.
1933 – 1934: Sroedji menyelesaikan studinya di Ambactsleergang Malang, dengan
beberapa praktik kejuruan dilakukan di Burger Ambachtsschool Surabaya.
1934 – 1938: Di periode ini Sroedji muda mencoba mengikuti garis hidup
keluarganya sebagai seorang pedagang. Ia berdagang dari satu tempat ke tempat
yang lain, berpindah-pindah mengikuti cara Ayahnya dalam berdagang, hingga
menyeberang ke Pulau Kalimantan. Dirasa tidak memiliki naluri tajam dalam
berdagang, tak seperti Ayah dan dua saudara lelakinya, Mochtar dan Ukim, maka
Sroedji tak melanjutkan pekerjaannya.
Setelah merasa gagal berdagang, Sroedji kembali ke Jawa
Timur dan kembali aktif di Hizbul Wathan Malang. Dari sana ia memperoleh
kesempatan untuk mengikuti kursus pemberantas malaria.
1938: Sroedji mulai bekerja di gezondheidskantoor alias Djawatan Kesehatan
Rakjat di Jember sebagai mantri malaria. Ia bekerja sedari tahun 1938 hingga
1943.
28 September 1939: Moch. Sroedji dan Mas Roro Roekmini menikah di Bangkalan, Madura. Tak lama kemudian, Sroedji segera membawa istrinya ke Jember.
1938 – 1941: Setibanya di Jember, di usianya yang cukup muda, 23 tahun, Sroedji segera adaptasi, melakukan kerja-kerja kesehatan sebagai mantri malaria, dan merapat pada organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah Cabang Jember.
1941 – 1942: Di periode pendek ini Sroedji tercatat aktif sekali di organisasi kepemudaan IM atau Indonesia Moeda, aktif berorganisasi di Muhammadiyah Cabang Jember dengan posisi tertinggi sebagai sekretaris Muhammadiyah Jember, aktif juga menelurkan pemikirannya perihal dunia olahraga di Jember. Itulah catatan singkat perjalanan hidupnya sebelum invasi jepang menggantikan kolonialisme Belanda.
Catatan selanjutnya adalah tentang karier militer Sroedji, saya ambilkan dari catatan lama yang saya bikin di sekitar tahun 2013 - 2015.
SPOILER: KARIER MILITER SROEDJI dan JALUR WINGATE
1. Pada 8 Desember 1943, Sroedji dilantik sebagai opsir PETA di Lapangan Ikada.
2. Tugas pertama Sroedji adalah sebagai komandan kompi untuk Karesidenan Besuki - Batalyon 1 Kencong, di bawah Daidanchoo Soewito.
3. Setelah dibacakan Proklamasi, pada 23 Agustus 1945 Soekarno mengumumkan keberadaan Badan Keamanan Rakyat atau BKR. Selanjutnya, Sroedji ada di BKR Resimen II dan memegang Batalyon di sebuah wilayah di Jember.
4. Pada 5 Oktober 1945, keluar Maklumat Pemerintah, BKR dianggap tidak mewakili tentara kebangsaan. Untuk itulah dibentuk Tentara Keamanan Rakyat atau TKR, dan BKR melebur di dalamnya. Kehadiran TKR disusul dengan terbentuknya 10 Divisi di Jawa dan 6 Divisi di Sumatra. Sedangkan daerah Jawa Timur pada waktu itu dipertahankan oleh kekuatan berikut.
a. Divisi VI/Madiun-Kediri, berkedudukan di Kediri
b. Divisi VII/Bojonegoro-Surabaya-Madura, berkedudukan di Mojokerto
c. Divisi VIII/Malang-Besuki, berkedudukan di Malang.
Catatan: Perlu diketahui bahwa di Jawa Timur sebelumnya sudah ada Divisi-divisi, yaitu Divisi V, VI, VII, dan VIII. Setelah terjadi pembentukan seperti di atas, maka Divisi VII dan VIII digabungkan menjadi satu dan menjadi Divisi VIII. Divisi-divisi itu diberi nama Divisi V/Ronggolawe, Divisi VI/Narotama, dan Divisi VII/Untung Suropati.
Dibentuknya TKR membuat posisi Sroedji ada di dalam Resimen IV/TKR/Divisi VIII yang berkedudukan di Jember. Ia berpangkat Mayor dan tetap memegang Batalyon, dikenal sebagai Batalyon Sroedi atau Batalyon Alap-alap. Sedang Komandan Resimen IV waktu itu adalah Kolonel Soerodjo Mangoenprawiro.
5. Keluar Penetapan Pemerintah No. 2/S.D. 7 Januari 1946 tentang perubahan sebutan Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, dengan singkatannya tetap TKR. Dalam hitungan hari, PP tersebut segera berganti lagi. Pada 25 Januari 1946 keluarlah Penetapan Pemerintah RI No. 4/S.D. Ia membawa akibat peleburan Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia atau TRI. Dari sini dunia ketentaraan kita mulai menemukan bentuknya, seperti yang telah saya ceritakan di catatan sebelumnya.
Adapun Sroedji, ia masih memegang Batalyon Alap-alap.
Di masa TRI, tiga Kompi Batalyon Soegondo dimasukkan ke dalam Batalyon Alap-alap. Batalyon lainnya juga mengalami perubahan.
6. Di pemula Juni 1946, dua Resimen TRI, yakni Resimen III/TRI dan Resimen IV/TRI juga dilebur menjadi satu hingga bernama Resimen 40/TRI/Damarwulan/Divisi VII Suropati dengan Komandan Resimennya adalah Kolonel Tahirudin Cokroatmojo. Adapun Kolonel Soerodjo Mangoenprawiro yang sebelumnya menjabat sebagai Komandan Resimen IV dipindahkan ke Staf Divisi VII.
Mengenai Batalyon Alap-alap pimpinan Sroedji, ketika perubahan di atas terjadi, ia tetap ada di bawah Resimen 40/TRI/Damarwulan/Divisi VII yang bermarkas di Kencong. Namun bidang perjuangannya adalah diperbantukan di front Surabaya dan sekitarnya. Selain tugas-tugas Nasional, juga melaksanakan tugas Internasional, yaitu ketika mereka melakukan pengawalan pemulangan terhadap tawanan perang dan interniran. Juga ketika melakukan pengawalan pengangkutan beras untuk dikirimkan ke Pemerintah India.
Catatan: Mengenai pengiriman beras ke India, bermula dari persetujuan Sjahrir dengan KL. Punjabi pada 27 Juli 1946. Ia diceritakan secara detail dalam buku Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945 - 1949) Daerah Jawa Timur, hal. 124.
7. Pada Januari 1946, Sroedji menjadi Resimen Komandan 39 di Lumajang dengan Mayor Imam Soekarto sebagai Kepala Staf-nya.
8. Pada 3 Juni 1947, TRI berganti menjadi TNI.
9. Pada 21 Juli 1947 terjadi Agresi Militer yang pertama.
10. Pada 17 September 1947, Batalyon Alap-alap dan Batalyon Garuda Putih dilebur menjadi satu dengan nama Batalyon Gerilya VIII atau BG VIII. Sebagai Komandan Batalyon adalah Mayor Sjafioedin. Penggabungan ini dilaksanakan di Pagar Gunung, Ambulu.
Sebelum terjadi penggabungan dua batalyon, dibentuklah organisasi baru yang bernama Comando Offensive Guerilla (COG). Ia dirancang untuk mempermudah pemberian komando kepada Resimen. Untuk daerah pertahanan Resimen 40 menjadi COG III.
11. Aksi Agresi Militer disusul dengan perintah gencatan senjata pada 5 Agustus 1947.
12. Meskipun perintah gencatan senjata telah diserukan, namun tercapainya persetujuan gencatan senjata baru terjadi pada 17 Januari 1948, bersamaan dengan persetujuan politik di atas kapal Renville.
Persetujuan itu hanya memuat pokok-pokoknya saja, sehingga antara Januari hingga Desember 1948 diadakan perundingan namun tanpa hasil. Hingga kemudian pada 11 September 1948 pihak Belanda menyatakan kepada Komisi Tiga Negara (Comitee of Good Office) bahwa tidak ada gunanya lagi berunding dengan RI.
13. Dari pokok-pokok Persetujuan Renville, berikut yang tercatat secara umum.
a. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia
b. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
c. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Dari sisi militer, pokok-pokok persetujuan itu menyebabkan pasukan yang berada di garis demarkasi daerah pendudukan Belanda harus hijrah ke kantong-kantong Republik.
14. Antara 14 Februari hingga 24 Februari 1948, Resimen 40/Damarwulan hijrah, dari basis perjuangannya di Jember (Besuki), menuju daerah pedalaman Blitar, Kediri, Tulungagung, dan sekitarnya. Ia adalah hijrah besar-besaran yang telah tercatat oleh sejarah.
15. Terjadinya Re-ra yang dimulai pada bulan April 1948 menjadikan pimpinan Resimen 40/Damarwulan Letkol Prajoedi Atmosoedirdjo dibebaskan dari jabatannya. Sebuah catatan menyebutkan bahwa ia kemudian dipindahkan ke Jogja. Kemudian diangkatlah Letkol Moch. Sroedji sebagai Komandan Resimen 40/Damarwulan.
Tak hanya perubahan di sisi Komandan Resimen 40/Damarwulan, terjadinya Re-ra juga menjadikan beberapa anggota yang turut hijrah dari Besuki tidak tersusun dalam formasi di kesatuan-kesatuan. Mereka akhirnya banyak yang kembali ke daerah Besuki untuk meneruskan perjuangannya.
16. Pada 20 September 1948 AH. Nasution memulai operasi penumpasan PKI Muso, sedangkan Kolonel Soengkono diangkat sebagai Gubernur Militer Provinsi Jawa Timur. Dari sini dibentuklah Satuan Gabungan Angkatan Perang (SGAP) yang dirancang untuk menumpas ekor pemberontakan PKI di wilayah Blitar dan sekitarnya. Komandan Satuan/Staf Gabungan itu dipimpin oleh Moch. Sroedji.
17. Tanggal 25 Oktober 1948 keluar Keputusan Menteri Pertahanan RI No. A/532/42 yang menyatakan bahwa Staf Pertahanan Jawa Timur dihapuskan dan Komando Divisi I dibentuk. Tampil sebagai Panglima Divisi I/Jawa Timur adalah Kolonel Soengkono.
Sejak hari tersebut, Moch. Sroedji menjabat sebagai Brigade III/Divisi I Damarwulan.
18. Pada 19 Desember 1948 pukul 00.00 Belanda mulai melancarkan aksi militer untuk menghancurkan Republik Indonesia. Di hari yang sama, pukul 20.00 melalui RRI Kediri, Panglima TNI Divisi I/Jawa Timur memerintahkan kepada pasukannya untuk melaksanakan Perintah Siasat No. 1/GMUDT/48 tertanggal 20 November 1948. Di antara perintah tersebut adalah sebagai berikut.
Brigade III dengan kesatuan-kesatuannya 'wingate' untuk menghadapi front Jember dengan memperhatikan jurusan Lumajang - Klakah - Jember - Banyuwangi.
19. Pada 21 Desember 1948, pasukan Brigade III/Divisi I Damarwulan di bawah komando Letkol Moch. Sroedji mulai menyusun kekuatannya untuk kembali ke daerah Besuki/Jember. Gerakan Wingate-action ini sesuai dengan strategi TNI, yaitu dengan cara menyusup ke belakang garis pertahanan musuh.
Brigade III Damarwulan melakukan rapat komando untuk pertama kalinya pada 19 Desember 1948, sebagai upaya menentukan siasat. Di hari yang sama, seperti yang telah tertulis di atas, Belanda telah melanggar garis demarkasi dengan di antaranya masuk Kepanjen. Garis demarkasi sendiri membujur mulai Sentul di pantai utara Bojonegoro - Karangggeneng - Dukun - Lamongan – ke selatan sampai Kesamben di barat Mojokerto - Mojoagung - Gunung Argowayang - Pujon - Gunung Kawi - Wagir - Kebon Agung - Gunung Semeru - dan terus ke pantai selatan.
Mulailah Brigade III Damarwulan mengadakan imbangan gerakan dengan memasuki daerah pendudukan Belanda di daerah Besuki melalui Malang Selatan.
Tugas utama Brigade ini adalah kembali menduduki kantong-kantong yang ditinggalkan pada waktu hijrah untuk selanjutnya melaksanakan perang gerilya.
Adapun batalyon-batalyon BRIGADE III Damarwulan adalah sebagai berikut:
a. Batalyon 25 - Mayor Sjafioedin
b. Batalyon 26 - Mayor EJ, Magenda
c. Batalyon 27 - Kapten Soedarmin
d. Batalyon Depot - Mayor Darsan Iru
Ikut pula kesatuan lain yang tidak termasuk Brigade III Damarwulan, antara lain, 2 kompi Mobil Brigade dan 1 kompi Marinir ALRI.
Poin-poin penting:
Blitar dan sekitarnya adalah titik pangkal persiapan Wingate-action dari batalyon-batalyon Brigade III Damarwulan.
Titik pencar adalah desa Penanggal di Lumajang, lewat jalur Malang selatan.
Titik tujuan adalah daerah perbatasan Jember - Bondowoso. Namun dalam hal ini dicukupkan sampai dengan desa Karang Kedawung di Mumbulsari Jember, tempat terjadinya pertempuran hebat, 8 Februari 1949.
Pergerakan selanjutnya dari masing-masing batalyon:
Batalyon 25 beserta Staf Brigade lainnya melalui jalan tengah, dimana mengerucut pada pertempuran Karang Kedawung.
Batalyon 26 masuk Malang Selatan melalui Sumbermanjing, lalu kembali bergerak ke tujuan melalui Klakah Utara.
Batalyon 27 dengan sebagian Staf Brigade bergerak dari Kediri menuju Malang Selatan, kemudian menempuh perjalanan lewat pantai selatan menyusuri hutan Meru Betiri menuju Banyuwangi.
Batalyon Depot bergerak dari Gurah menuju Malang selatan, untuk kemudian bergabung dengan Batalyon 26 bergerak melalui Klakah utara.
Di dalam gerakan ini, Komando Brigade dipimpin sendiri oleh Letkol. Moch Sroedji, sedangkan Komando Territorium dipimpin oleh Letkol dr. Soebandi.
Batalyon Sjafiudin, sewaktu menduduki Kesamben di tanggal 20 Desember 1948, bertemu dengan pasukan Belanda, yang sewaktu itu bergerak dari Binangun ke Kesamben.
Pertukaran letusan peluru terjadi dengan sengitnya. Selama dua jam, yang akhirnya karena tujuan batalyon ini tiada untuk bertempur di Kesamben, maka Batalyon Sjafioedin menghindarkannya dan terus maju menuju ke timur. Dalam pertempuran ini satu truk yang mengangkut peluru dari Wlingi menuju Kesamben, tertangkap oleh musuh sedang seorang prajurit gugur, korban pada pihak musuh tidak diketahui.
Guna memelihara perhubungan, maka setelah pertempuran tersebut anggota Staf Brigade dibagi menjadi dua, sebagian di bawah pimpinan Letnan II Maridjo, mengikuti Batalyon Sjafiudin, dan sebagian lagi di bawah pimpinan Letnan I Soetjipto, mengikuti Batalyon Soedarmin.
Kurir istimewa dari Komando Brigade di bawah pimpinan Letnan IW. A. Soe'eb, mencari hubungan dengan komando Divisi I.
Perlu mendapat catatan di sini, bahwa bergeraknya Brigade Damarwulan ini, tiada ketinggalan pula ikut serta keluarga yang telah bertekad sehidup-semati dengan para pahlawannya.
Sebelum menerobos garis demarkasi, maka pada tanggal 21 Desember Komando Brigade merubah haluannya, mengikuti Kompi Winoto dari Batalyon Sjafiudin, yang telah berada di sekitar Sumbertempur Kepanjen.
Esok harinya, tanggal 22 Desember 1948 diadakan pertemuan kilat, untuk menentukan siasat lanjutan guna menerobos garis demarkasi dimana hadir juga Mayor Roesman dari Brigade IV. Ini adalah Rapat Komando Brigade III Damarwulan yang kedua, posisi di Sumbertempur - Kepanjen.
Pada tanggal 4 Januari 1949, Penanggal bisa direbut kembali. Di tempat inilah dilakukan siasat berikutnya. Setelah berhasil menerobos musuh di Penanggal, Senduro dan Pasirian, selanjutnya bergerak melalui Bodang, Bandirejo, Kali Bondoyudo mendekati perbatasan Besuki.
Pada tanggal 17 Januari 1949, kesemuanya telah menduduki perbatasan Besuki sebelum mencapai Kaliglagah di Sumber Baru, Jember. Ia adalah wilayah yang berbatasan langsung dengan Lumajang.
Dari Penanggal menuju Sumber Baru, melalui nama-nama tempat berikut ini. Bodang - Tanggung - Bandira - Salak (menyeberangi sungai Bondoyudo) - dan Sarangan. Baru kemudian sampai di Sumber Baru.
Berikutnya adalah menentukan siasat lebih lanjut yaitu menguasai kembali daerah Besuki, yang akhirnya ditentukan siasat sebagai berikut:
Staf Komando Brigade dengan diikuti Batalyon 25 bergerak melalui daerah selatan Argopuro menuju ke Jember Utara, dan kemudian berputar ke Jember selatan terus ke timur.
Batalyon 26 dengan Depot Batalyon menuju ke utara, menerobos gunung Lamongan, yang setelah itu, Depot Batalyon mengambil jalan lurus menuju perbatasan Paiton - Besuki, sedang Batalyon 26 mendaki gunung Argopuro ke timur, menguasai daerah Bondowoso - Situbondo dari sebelah barat, dimana semua perjalanan ini diatur secara berangsur-angsur.
Pada tanggal 19 Januari 1949, tiba di sebuah tempat bernama Andong Biru. Keesokan harinya bergerak menuju Sumber Duren, Takata, Kertosuko. Di Plaosan dan Krucil mendapat perlawanan dari 1 seksi O.W (Onderneming Waker). Oleh karena perlawanan mereka tak berarti, maka batalyon ini melanjutkan perjalanannya melalui Bantur - Kedung Sumur - Pancur - Kalidandang - menuju ke Wringin Anom.
Pada tanggal 24 dan 25 Januari 1949 di Wringin Anom (sektor Titeng), Batalyon menghadapi satu pertempuran dengan satu kompi Belanda. Mereka menggunakan pesawat-pesawat pem-bom.Sengaja tak mengadakan perlawanan, batalyon terus menuju ke Sumber Anyar melalui Widoropayung ke Baderan daerah Besuki.
Berikut adalah pergerakan dari sektor lain:
Batalyon 26
Jalan yang ditempuh oleh Batalyon ini ialah melalui dua pegunungan. Pertama naik Gunung Lemongan - Klakah, dan keduanya naik Gunung Argopuro, dimana keadaannya masih sangat lebat dan penuh dengan binatang buas.
Sebagai pelopor batalyon ini adalah Seksi Letnan II Harjoto. Pun dalam perjalanan ini mereka harus menghadapi perlawanan-perlawanan dari pihak musuh yang jumlahnya jauh lebih besar. Yang perlu menjadi catatan di sini ialah pertempuran di sektor Paterana , dimana batalyon ini kehilangan satu seksi beserta Komandannya, yaitu Letnan II Harjoto.
Batalyon 27
Untuk memasuki daerah Besuki dengan melalui Pantai Selatan dan Gunung Terong di perbatasan Jember - Banyuwangi, Batalyon ini harus menyeberangi sungai Bondoyudo.Walaupun perjalanan ini tidak seberat seperti melalui Pegunungan Hyang - Argopuro, tetapi kesukaran-kesukaran yang dihadapi juga tak kalah beratnya daripada batalyon-batalyon lainnya, karena daerah yang dilalui ini merupakan tanah yang kering dan sangat 'tjengkar' yang membawa akibat kesukaran dan penderitaan dalam usaha bahan perawatan.
Pun di samping itu mereka harus juga menghadapi pertempuran-pertempuran besar dan kecil, antara lain di sektor Sukamade - Banyuwangi.
Depot Batalyon
Karena kedudukannya di Kediri, maka Depot Batalyon ini baru bergerak (start wingate) pada tanggal 21 Desember 1948 dari Jengkol - Pare.
Perjalanannya menyusup ke Timur menerobos daerah pegunungan Kelud - melalui Margomulyo - Gogoniti dan Bumirejo, dimana pada tempat ini bertemu dengan Komando Brigade dan Batalyon 25. Pada tanggal 28 Desember 1948 mengadakan rapat penentuan siasat untuk menerobos daerah Malang selatan.
Baru saja selesai dan sewaktu akan bergerak sudah menghadapi pertempuran dengan pihak Belanda yang membawa korban 3 orang. Dengan adanya ini, haluan terpaksa berubah, dan mengambil jalan melalui Pagak terus menuju Sumbermanjing. Di waktu bermalam di Pagak, Batalyon tersebut menghadapi serangan dari udara, tapi tak membawa korban.
Akhirnya malam itu juga melanjutkan perjalanannya dengan melalui Sumbermalang - Ngampelgading - ke Sumbermanjing.
Catatan
Rute nama-nama desa yang saya dapatkan dari Mbak Irma Devita Purnamasari adalah seperti berikut ini:
Permulaannya di Kesamben (Wlingi) - Sumbertempur (Kepanjen) - Bunurejo (Kawi) - Sumbermanjing – Tempursari – Ampelgading – Penanggal.
Tanggal 13 Januari1949 meninggalkan Penanggal ke Besuki melalui jalur Badang – Tanggung - Bandiro Salak – Kali Bondoyudo – Sarangan – Kaliglagah - Tanah Merah – Argopuro – Andongbiru – Bancur –Kedungsumur – Pancur – Kalidandang – Wringinanom - Balaswidoro Pancung – Sumberanyar
Lebih detailnya mungkin seperti ini:
Dari Binangun menuju Kesamben - terus menuju ke timur - Sumbertempur (Kepanjen) - Bunurejo (Kawi) - Sumbermanjing – Tempursari – Ngampelgading - Penanggal sebagai titik pencar batalyon. Dari Penanggal menuju Sumberbaru, melalui nama-nama tempat berikut ini. Bodang - Tanggung - Bandira - Salak - dan Sarangan. Baru kemudian sampai di Kaliglagah Sumberbaru.
Pergerakan kemudian diteruskan dari Sumberbaru menuju Tanah Merah
Tanah Merah – Argopuro – Andongbiru – Sumber Duren - Takata - Kertosuko - menuju Plaosan dan Krucil - Bantur – Kedungsumur – Pancur – Kalidandang – Wringinanom - Widoropayung - bergerak ke Baderan – Sumberanyar.
Selanjutnya, mengerucut pada jalur perjalanan Komando Brigade III Damarwulan yang diikuti oleh Batalyon 25
Dari Blitar menuju Penanggal.
Pasukan menghadapi banyak pertempuran, diantaranya pertempuran di titik-titik berikut ini:
Kesamben - Seloputro - Jamboewer / Sumberrejo / Gogoniti (Wlingi) - menuju pertempuran di Pagak (Kepanjen) - lalu pertempuran hebat di Tempursari.
Pertempuran sangat dahsyat di Tempursari terjadi pada 1 hingga 2 Januari 1949.
Desa Tempursari adalah koridor untuk akses keluar masuk daerah Malang - Besuki.
Pertempuran di Tempursari membuat Letkol Moch Sroedji merubah siasat Wingate-action. Komando Brigade III, Batalyon 25, 27 dan Depot putar haluan melalui Perkebunan Sumber Urip, kemudian terus bergerak menuju Penanggal.
PERJALANAN TEMPURSARI - PENANGGAL
Perjalanan ini melewati titik-titik pertempuran Pronojiwo - Jarit - Candipuro - barulah sampai ke Penanggal Lumajang pada tanggal 8 Januari 1949.
Jalur selanjutnya:
Dari Penanggal menuju perbatasan Tanggul - Jatiroto (Kaliglagah). Dari sini Depot dan Batalyon 26 memisahkan diri menuju ke utara. Kraksan - Paiton - untuk menuju Situbondo – Bondowoso.
Komando Brigade III diikuti oleh Batalyon 25 terus bergerak melalui jalur tengah.
Dari Kaliglagah (Jatiroto) melalui garis dalam (jalan tengah/daratan) - menuju daerah sekitar Kecamatan Sumberjambe, Jember. Tujuan akhir tetap Maesan, untuk tempat kontrol komando.
PERJALANAN DARI KALIGLAGAH
Pada 17 Januari 1949: Dari Kaliglagah menuju Perkebunan Aengsono (Jatiroto) - lalu bergerak menuju Perkebunan Sumber Ayu dan Gondang.
Pada bulan Februari 1949
Dari Perkebunan Gondang bergerak menuju Wuluhan
Titik-titik pertempuran yang dihadapi:
Di desa Darungan (Tanggul) - menuju Sumbercanting di Bangsalsari - terus bergerak ke Tugusari (masih di Bangsalsari).
Awal Februari 1949 KOMANDO BRIGADE III disertai dengan Batalyon 25 tiba di dusun Pomo di Lojejer. Kini masuk kecamatan Wuluhan, Jember.
Berikutnya.
Brigade III disertai Batalyon 25 meninggalkan dusun Pomo dan bergerak menuju desa Jenggawah - Jatisari - Gayasan di kecamatan Ajung.
Dari Gayasan ini menuju Mumbulsari - terus hingga sampai di desa Karang Kedawung.
SPOILER di atas semoga cukup memberi gambaran ringkas seputar karier militer Sroedji dan jalur Wingate-action hingga Wehrkreise-action, dua strategi yang digunakan pasukan republik ketika perang melawan pasukan Belanda era 1947 - 1949.
Tentu saja kisah perjalanan hidup Moch. Sroedji teramat panjang untuk diceritakan. Tidak sesederhana catatan di atas, juga catatan yang tersembunyi di spoiler, berjudul, "Karier Militer Sroedji dan Jalur Wingate." Berikut akan saya ceritakan pelan-pelan di blog tamasja ini, dimulai sejak Sroedji remaja hijrah dari Kediri ke Malang untuk sekolah di Ambactsleergang.
Demi kebutuhan itu, saya dengan ditemani Zuhana AZ dan Rendra Sasongko Adi pernah datang ke kediaman Bapak Hengky Herutomo di Kabupaten Karanganyar. Poin-poin di atas adalah hasil wawancara saya dengan beliau pada 23 November 2017.
Telah saya ceritakan sebelumnya bahwa di periode 1934 - 1938 Sroedji pernah belajar mendalami dunia dagang. Sayangnya langkah itu tidak bisa dibilang berhasil. Itu hasil analisis saya berdasarkan penuturan kedua putri Moch. Sroedji ketika kami melakukan wawancara, baik di Jakarta maupun di Jember.
Narasi selanjutnya yang akan saya tulis di blog tamasja ini adalah pengembangan dari catatan-catatan sebelumnya yang sudah saya suguhkan di atas, juga yang di kolom spoiler. Akan saya mulai ulang dari masa ketika Moch. Sroedji tiba di Jember pada 1938, di usianya yang masih sangat muda. ia akan terus saya kembangkan menjadi narasi yang lebih lengkap. Anda bisa melanjutkan membaca bila membutuhkan informasi tentang Sroedji dan hal-hal di sekitar hidupnya. Semisal kebutuhannya hanya untuk selayang pandang, saya kira catatan di atas sudah cukup mewakilinya.
Sebagai catatan:
Untuk ukuran blog personal, narasi kali ini menjadi semacam liputan khusus yang sangat panjang. Mohon maaf bila dirasa kurang nyaman.
OVERSTE SROEDJI
Oleh: RZ Hakim
Sroedji dan Sepak Bola.
Tim Korfball ini adalah gabungan antara siswa Burger Ambachtsschool Soerabaja dan siswa Ambacht Leergang Malang.
Pengaruh pemikiran Soerodjo dan Kjai H. Tahiroedin pada Moch. Sroedji.
Soerodjo lahir di Malang, 5 September 1909. Dalam sebuah catatannya yang berjudul ‘Sekelumit Perjuangan Demi Tanah Air Tercinta,’ ia menulis kalimat pembuka sebagai berikut, “Jaman penjajahan Belanda saya tidak tergolong orang yang dapat bekerja sama dengan pihak penjajah, saya banyak berkecimpung di organisasi Muhammadiyah, sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang Jember.” Disebutkan juga dalam catatan di bawahnya bahwa Soerodjo bersama-sama para tokoh Pondok Pesantren di Jember menyambut gembira peranan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia.
Dapat disimpulkan, ruang hidup Moch. Sroedji selama tinggal di Jember terbilang sehat. Mereka merespon keadaan geopolitik saat itu dengan perbincangan-perbincangan bermutu, melakukan sesuatu untuk ruang hidup yang lebih baik di segala bidang, berjuang memberantas buta aksara secara terorganisir melalui Indonesia Moeda, memperhatikan dunia kesehatan hingga olah raga. Hingga detik-detik menjelang kedatangan Jepang, Sroedji masih terlibat aktif di dunia pemikiran dan aktif berorganisasi. Di waktu senggang, dia memanfaatkannya dengan bersosialisasi dan berolahraga. Tampak dalam foto di pembuka narasi panjang ini, Sroedji sedang menikmati waktu di Kreongan – Jember untuk bermain badminton, di tahun 1942.
Ketika Jepang datang, alur sejarah negeri ini menjadi berbeda.
Sama seperti di kota-kota lain di Indonesia, Jember pun turut berubah. Ada perombakan struktur pemerintahan. Noto Hadinegoro, ia dicopot dari jabatan Bupati setelah 13 tahun memimpin Jember, digantikan oleh Boediardjo yang menduduki jabatan antara tersebut sampai 1943, sebelum kemudian digantikan oleh R. Soedarman.
Dari Muhammadiyah Jember, muncullah nama-nama tokoh perjuangan di era 1945-1949 seperti Kjai H. Tahiroedin, Soerodjo, Soewito, R.S. Budhijarto, A. Koesnadi, R. Soetodjo, Imam Soekarto, hingga Letkol. Moch. Sroedji.
Ketika pecah perang berhari-hari di Surabaya antara Indonesia melawan Inggris, semua tenaga kesehatan di Jawa Timur termasuk Jember hingga Malang mengerahkan diri untuk berangkat ke Surabaya. Ia tak hanya terdiri dari tenaga kesehatan ketentaraan saja, dari kesehatan sipil dan swasta pun mengerahkan diri mereka mendekati titik pertempuran. Para pemuda yang di Surabaya tak ada yang keluar kota, sedangkan pemuda dari luar kota berdatangan ke Surabaya.
Foto bersejarah di atas didapat dari album foto keluarga Koesnadi di Kalisat, Jember. Di masa hidupnya (Almarhum) Koesnadi adalah mantan prajurit Brigade III Damarwulan. Repro oleh RZ Hakim dan tim dari Sudut Kalisat pada 2019 atas izin keluarga. Kini hasil repro menjadi koleksi Studi Arsip Sroedji atau kadang disebut Sroedji Museum. Lokasinya menjadi satu dengan kolektif Sudut Kalisat.
Sekian catatan saya tentang Overste Sroedji. Kelemahan dari catatan blog personal tentu tak dilengkapi dengan fitur footnote. Bagi Anda yang memiliki kebutuhan akademis, saya bisa dihubungi melalui email di rzhakim.net@gmail.com
Salam saya, RZ Hakim.







